Risiko Ekonomi dalam Pembangkit Listrik Berbahan Gas

Risiko Ekonomi dalam Pembangkit Listrik Berbahan Gas

Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2040 akan menyebabkan upaya transisi ke energi bersih terhambat. PLTG merupakan pembangkit berbahan bakar fosil.

Di dalam rancangan program
accelerated renewable energy development
(ARED) dijelaskan bahwa PLN merencanakan untuk mengembangkan fasilitas pembangkit listrik dengan menggunakan sumber daya terbarukan hingga 75%. Sementara itu, bagian yang tersisa yaitu 25%, akan diperkuat oleh konstruksi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dengan kapasitas total mencapai 22 Gigawatt.

Data
Global Energy Monitor
Pada bulan Januari 2025 dicatat adanya beberapa proyek pengembangan instalasi energi berbahan bakar fosil oleh PLN yang memiliki kapasitas total 2,68 GW. Proyek-proyek ini mempunyai tahap pelaksanaan mulai dari diumumkan hingga ke fase konstruksi. Studi terkini menunjukkan hal tersebut.
Celios dan Greenpeace
Kandidat penghasil gas fosil ini memiliki potensi untuk menghasilkan emisi CO2 sebanyak 5,97 juta ton serta metana (CH4) hingga 5.332 ton setiap tahunnya.

Berdasarkan rancangan pengembangan fasilitas energi berbahan bakar fosil di bawah proyek ARED sebesar 22GW, hal ini dapat mengakibatkan kenaikan emisi CO2 hingga 49,02 juta ton serta CH4 sampai dengan 43.769 ton setiap tahunnya.

  • INFografis: Peletakan Batu Pertama untuk Pembangkit Listrik Berbiaya Rp72 Triliun Resmi Dilakukan
  • Peta Rencana Perpindahan Energi Menuju Ramah Lingkungan
  • Bursa Karbon Sebagai Salah Satu Rencana PLN untuk Perubahan Energi


Gas Fosil Bukan Solusi Transisi Energi

Pernyataan bahwa pembangkit listrik berbahan bakar gas fosil lebih ramah lingkungan daripada pembangkit batubara harus dipertanyakan. Ada risiko besar terkait emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembangkit bertenaga gas, yakni metana.

Menurut studi
EMBER
Tahun 2023, metana mampu menyerap panas atmosfer hingga 82,5 kali lebih besar daripada karbon dioksida selama masa 20 tahun. Hal ini berpotensi meningkatkan cepat pemanasan global dalam kurun waktu singkat.

Tingginya emisi metana dari pembangkit gas fosil juga disebabkan dari jenis bahan bakarnya yang memang merupakan campuran hidrokarbon dengan komponen di dalamnya seperti metana dan etana. Artinya skema peralihan penggunaan batu bara ke gas fosil sebagai dalih transisi adalah solusi yang problematik.

Ironinya, pemerintah justru mendukung penggunaan gas fosil dalam berbagai lini melalui Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor
249.K/MG.01/MEM.M/2022
tentang penugasan pelaksanaan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur
liquified natural gas
(LNG).

Sebenarnya, secara ekonomi, gas fosil malah akan memberikan beban besar bagi keuangan negara, entah itu dalam jangka waktu singkat atau lama. Hal ini dikarenakan oleh fluktuasi harga gas alam yang signifikan sehingga dapat mengubah kontrak, menyesuaikan alokasi subsidi serta kompensasi dengan cepat, dan meningkatkan tekanan pada laju inflasi apabila kenaikan harga gas fosil diwariskan kepada pengguna akhir.


Ancaman Nyata terhadap Ekonomi dan Kesehatan

Alih-alih memberikan jawaban untuk periode peralihan energi, pembangkit listrik berbahan bakar fosil — yang memanfaatkan teknologi turbin gas serta siklus kombinasi — justru menghasilkan efek samping merugikan bagi ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian oleh Celios dan Greenpeace menunjukkan bahwa perluasan fasilitas listrik berbahan bakar fosil sebesar 22 GW menggunakan teknologi siklus terpadu dapat memicu efek samping yang merugikan.
output
perekonomian merosot sebanyak 280,9 triliun rupiah, serta pertumbuhan ekonomi memiliki risiko jatuh hingga 154,3 triliun rupiah.

Efek berkelanjutan dari pengembangan fasilitas listrik bertenaga gas terhadap perkiraan penurunan laba bisnis global senilai Rp25,3 triliun serta mengurangi jumlah pekerja yang diserap hingga 2,43 juta orang pada tahun 2040.

Sementara pembangkit gas fosil berteknologi turbin gas berpotensi menimbulkan kerugian lebih signifikan bagi
output
Ekonomi negara menyentuh angka Rp941,4 triliun, dengan penurunan pertumbuhan sebesar Rp603,6 triliun, kerugian bagi pelaku bisnis mencapai Rp221,1 triliun, serta berkurangnya lapangan pekerjaan menjadi sekitar 6,76 juta orang.

Kerugian tertentu ini secara khusus diakibatkan oleh efek kerusakan lingkungan yang berdampak negatif pada sektor pertanian, perkebunan, serta nelayan. Pembangkit listrik umumnya membutuhkan air dari danau, Sungai, dan sumber daya air bawah tanah sebagai bagian dari proses pendinginannya.
Komisi Layanan Publik Wisconsin
mengindikasikan bahwa penggunaan air tersebut bisa menurunkan tingkat aliran air di area sekitar pembangkit.

Di Indonesia, penggunaan gas alam untuk sumber tenaga listrik bisa menyebabkan kekeringan yang akhirnya merugikan hasil tanaman, khususnya dalam bidang pertanian dan perkebunan. Selain itu, pelepasan gas metana ke atmosfir justru memburukkan tingkat temperatur udara serta menciptakan musim kemarau yang lebih lama. Akibatnya, produksi petani dan pemilik perkebunan menurun dengan drastis, membahayakan keseluruhan ketahanan pangan dan kondisi ekonomi warga setempat.

Dampak dari penambahan pembangkit listrik bertenaga gas fosil dengan kapasitas 22 GW ini turut memberatkan aspek finansial negara terkait pengeluaran untuk kesejahteraan rakyat yang diperkirakan akan meningkat drastis.
Rp249,8 triliun
Setiap tahun. Penyebab utamanya adalah eksposur terhadap polutan udara yang berbahaya seperti NOx, partikel PM 2,5, dan ozon.

Studi yang dilakukan oleh
health and environment alliances
(HEAL) menyebutkan adanya lebih dari 2.864 kasus kematian prematur yang terjadi di 27 negara anggota Uni Eropa serta Britania Raya pada tahun 2019 disebabkan oleh eksposur terhadap polusi udara berbahaya yang berasal dari pembangkit tenaga gas fosil. Biaya potensial untuk masalah kesehatan akibat kebergantungan pada sumber energi fosil pada tahun itu mencapai sebesar 8,7 miliar euro atau setara dengan Rp137,77 triliun (menggunakan kurs ratarata 2019 yaitu Rp15.836).


Hentikan Mitos tentang Gas Fossil, Berfokuslah pada yang Terkini dan Modern

Penemuan-penemuan itu menunjukkan bahwa pandangan bahwa perluasan bahan bakar fosil bisa menjadi penghubung menuju energi terbarukan adalah semata-mata sebuah kesalahan pemahaman. Malah sebenarnya, Indonesia berisiko terperangkap dalam pola ini.
Fossil Gas Lock-in
, yang pasti akan menghasilkan pencapaian
net zero emission
2060 hanya menjadi utopia.

Justru sebaliknya potensi
stranded assets
Yaitu fasilitas pembangkit listrik bertenaga gas fosil yang menjadi tidak bernilai secara ekonomi sebelum mencapai usia operasional penuh akan meningkatkan beban ini. Hal tersebut bukan saja memberikan dampak finansial bagi negara maupun para investor, namun juga mencegah alokasi dana pada penelitian dan pengembangan sumber daya energi alternatif yang ramah lingkungan serta lestari.

Alih-alih fokus pada pembangkit gas alam, studi
Celios dan 350.org
Menunjukkan bahwa sumber daya energi yang bisa diperbaharui malah memberikan manfaat lebih besar untuk ekonomi dalam kurun waktu 25 tahun. Dalam keseluruhan, sumbangan terhadap perkembangan ekonomi dapat mencapai angka Rp10.529 triliun, laba sektor bisnis senilai Rp9.750 triliun, serta mampu menyediakan lapangan pekerjaan sampai dengan 96 juta orang.

Proses beralih ke energi terbaharui mencakup perubahan ekonomi dengan membuka banyak kesempatan untuk merombak struktur ekonomi dari yang tadinya bergantung pada fosil menuju ekonomi ramah lingkungan yang berkelanjutan, adil bagi semua orang, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup warga negara. Mengutamakan pembangunan teknologi energi terbaharui seperti contohnya model berdasarkan komunitas bisa mendukung distribusi energi lebih merata, menambah ketahanan ekonomi di tingkat daerah setempat, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengatur sumber daya energi mereka sendiri tanpa harus selalu bergantung kepada pihak luar.

Bukan hanya memberikan jawaban teknis atas krisis lingkungan, potensi energi terbarukan berskala masyarakat juga bisa membantu mengatasi kesenjangan ekonomi. Karena alasan tersebut, upaya perluasan instalasi listrik tenaga batubara seharusnya dicabut dari skenario transtisi energi di Indonesia, terlebih lagi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang akan dirilis tahun 2025 nanti.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *