- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
personality types, psychology, psychology of everyday lifepersonality types, psychology, psychology of everyday life - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
19
lowongankerja.asia
– Apakah kau pernah bercakap-cakap dengan orang lain, kemudian mengetahui bahwa mereka seolah “belum datang” atau kelihatan kosong walaupun badan mereka sudah ada di hadapanmu?
Atau jangan-jangan Anda pernah mengalami kondisi ketika sedang ada orang yang bicara tetapi pikiran malah terbang kemana-mana?
Phenomenon ini disebut juga dengan istilah mind-wandering atau berkhayal, serta dari sudut pandang ilmu kejiwaan, hal tersebut tergolong lumrah.
Akan tetapi, jika kebiasaan ini kerap kali muncul, khususnya di lingkungan sosial atau professional, hal tersebut mungkin mengindikasikan adanya aspek yang lebih mendalam.
Psikologi memandang lamunan tidak hanya sebagai bosan singkat, tapi mungkin berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, emosi, atau bahkan karakter individu tersebut.
Berdasarkan laporan dari Geediting di hari Sabtu (26/4), ada tujuh tanda-tanda biasa diperlihatkan oleh individu yang kerap mengalami lamunan ketika orang lain sedang bicara, sesuai dengan analisis ilmu psikologi sebagai berikut:
1. Pertemuan Mata yang Kekurangan Kendali
Salah satu indikasi terkuat bahwa seseorang sedang melamun adalah hilangnya interaksi visual yang berkelanjutan.
Pada interaksi yang proaktif, pertemuan pandangan mata menjadi ungkapan partisipasi.
Akan tetapi, seseorang yang tengah terpaku mungkin akan tampak dengan mata kosong atau memandangi sesuatu di tempat lain.
Psikologi di baliknya:
Kurangnya kontak mata dapat mengindikasikan kurangnya minat atau ketidakpedulian secara mental.
Mereka tengah berkonsentrasi pada pemikiran dalam diri mereka sendiri bukan pada obrolan luar.
2. Tanggapan yang Telat atau Tak Sesuai Context
Seseorang yang sedang terpaku dalam lamunan biasanya akan merespons dengan tertunda, pendek, atau tak sejalan dengan subjek diskusi.
Mereka mungkin perlu “kembali ke realitas” dari dunia khayalan demi menanggapi pertanyaan tersebut.
Psikologi di baliknya:
Hal ini dapat terkait dengan pergeseran kognitif—saat otak beralih dari satu titik fokus ke fokus yang lain.
Seseorang yang kerap bermimpi atau termenung cenderung mengalami kendala dalam mempertahankan konsentrasi pada pembicaraan sebab pemikirannya selalu terbang-bertelekan kemana-mana.
3. Terus Memindahkan Fokus ke Sesuatu yang Berbeda
Sebagai contoh, mereka memainkan objek di tangan mereka, mengintip hp, atau memandang keluar jendela ketika sedang ada yang bicara.
Tindakan tersebut dapat merupakan cara untuk menghindar dari dialog.
Psikologi di baliknya:
Hal ini dikenal sebagai perilaku penenang diri sendiri—yaitu kebiasaan mengatasi rasa jenuh, cemas, atau ketidaknyamanan dalam interaksi sosial.
Merenung dapat berfungsi sebagai cara untuk menghindari stres sosial atau karena kurangnya minat.
4. Terus Mengulangi Pertanyaan yang Telah di Jelaskan
Tanda lainnya adalah mereka sering mengulangi pertanyaan tentang topik yang baru saja dijelaskan.
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa mereka “keluar dari zona fokus” ketika informasi tersebut diberikan.
Psikologi di baliknya:
Berdasarkan studi mengenai rentang perhatian, individu yang mengalami pemikiran menyimpul memiliki tingkat penghafalan informasi yang kurang baik.
Mereka dapat berada dalam satu ruangan bersamaan, tetapi pikiran mereka tak menyimak obrolannya.
5. Ekspresi Muka Netral Atau Tak Cocok dengan Situasi
Merenung bisa menyebabkan orang tersebut tidak menunjukkan ekspresi emosi yang cocok dengan pembicaraan.
Mereka dapat terlihat rata, kosong, atau malah menafsirkan keluhan emosional dengan cara yang salah.
Psikologi di baliknya:
Ini berkaitan dengan pengaturan emosional—mampu menanggapi perasaan orang lain dengan akurat.
Orang yang suka berkhayal cenderung memiliki keterikatan emosi yang rendah, sehingga mereka menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan ekspresi wajah dengan konten percakapan.
6. Hindari Lingkungan Sosial Tertentu
Seseorang yang kerap terdiam sambil membayangkan hal-hal ketika sedang bertukar pikiran umumnya juga lebih condong untuk menjauhi pembicaraan yang memerlukan fokus intens, contohnya debat kelompok atau obrolan yang rumit.
Psikologi di baliknya:
Mereka mungkin cenderung mengalami penarikan sosial atau lelah akibat interaksi dengan orang lain.
Pada sejumlah kasus, hal ini juga berhubungan dengan keadaan seperti cemas sosial, ADHD, atau malah kepribadian introvert yang kuat.
7. Memikirkan Terlalu Banyak (Overthinking) Atau Merasakan Ketakutan Berlebihan
Merenung tak selalu berarti merasa jenuh. Terkadang, seseorang renungan dikarenakan otaknya sedang dipusingkan oleh berbagai urusan—boleh jadi adalah persoalan personal, ketakutan akan masa depan, ataupun bebansik psikis yang mereka tanggung.
Psikologi di baliknya:
Berfantasi kerap kali menjadi indikator dari ruminasi (pengulangan terus-menerus pemikiran negatif) ataupun pola berpikir yang cemas.
Otak seseorang tengah disibukkan oleh “dialog internal” yang jauh lebih intens dibandingkan dengan pembicaraan aktual di depannya.
Kapan Melamun Menjadi Masalah?
Berpuisi-puisi sesekali merupakan hal biasa.
Menurut studi, ternyata daydreaming dapat menjadi metode bagi otak untuk berehat atau mengolah data.
Akan tetapi, apabila lamunan berlangsung secara terus-menerus sampai menganggu interaksi sosial ataupun efisiensi kerja, hal tersebut mungkin merupakan indikator dari suatu kondisi kurangnya fokus, tekanan tinggi, atau permasalahan mental lain yang lebih signifikan.
Cara Menanganai Atau Bertemu Dengan Orang Yang Kebanyakan Berkhayal
gunakan frasa singkat dan sederhana, ini membantu mengembalikan fokus mereka.
Bertanya langsung tentang pendapat mereka, dengan menggunakan kalimat seperti “Bagaimana menurut Anda?”, bisa meningkatkan partisipasi.
Berikan interval istirahat, hindari mendorong diskusi berkepanjangan ketika mereka tengah kurang konsentrasi.
Perhatikan konteks emosional mereka, bisa jadi mereka sedang cemas, sedih, atau lelah secara mental.
Kesimpulan
Merenung ketika orang lain sedang bicara tak hanya menandakan kurangnya kesopanan.
Berdasarkan ilmu psikologi, hal itu mungkin mencerminkan rasa lelah secara mental, kurangnya hubungan emosional, atau bahkan ciri-ciri perilaku yang berhubungan dengan kondisi jiwa tertentu.
Dengan mengenali pola tersebut dengan lebih baik, kita dapat meresponnya dengan lebih cerdas dan menciptakan interaksi yang lebih sehat serta empatik.