- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
government, journalism, news, news media, politicsgovernment, journalism, news, news media, politics - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
7
lowongankerja.asia
, JAKARTA – Deputi Ketua
MPR
Lestari Moerdijat menyatakan bahwa perlu ada pembaharuan dalam hal regulasi, undang-undang serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat mendukung kelangsungan media siaran.
Hal itu perlu dilakukan agar mampu mengimbangi laju pertumbuhan media digital.
Menurut Lestari, dorongan untuk merevisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berasal dari perubahan dinamis dalam industri media yang sedang berkembang saat ini.
“Mekanisme adaptasi yang sesuai perlu dikembangkan untuk mengikuti pertumbuhan teknologi agar berkelanjutananya industri siaran dapat dipertahankan,” ujar Lestari Moerdijat pada pernyataannya, Rabu (8/5).
Pernyataan itu dikemukakan Lestari Moerdijat melalui pesan tulisnya di acara diskusi daring dengan tema ‘Mempertahankan Kelangsungan Media Penyiaran Lewat Rancangan UU Perubahan Undang-undang Penyiaran’, yang diadakan oleh ForumDiskusiDenpasar 12, Rabu (7/5).
Rerie yang lebih dikenal dengan panggilan tersebut mengemukakan bahwa langkah-langkah adaptif perlu diambil guna memperkuat institusi broadcasting, mendobrak batasan bagi media massa serta melindungi hak-hak karyawan sektor ini dan publik secara keseluruhan. Selain itu, dia juga menyatakan pentingnya menciptakan keseimbangan dalam lingkungan siaran.
“Sehingga para pemangku kepentingan dapat mengatasi berbagai tantangan akibat hadirnya media sosial,” tegas anggota Komisi X DPR dari Dapil II Jawa Tengah itu.
Dia menginginkan agar hambatan-hambatan seperti kompetisi antar-platform, pengelolaan pendapatan dari konten, masalah keuangan, pergantian cara pandang tentang penyedia informasi dan penonton, serta efeknya pada bidang periklanan bisa cepat ditangani dengan langkah-langkah yang sesuai.
Diskusi yang dipimpin oleh Luthfi Assyaukanie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR) tersebut melibatkan tiga pembicara utama: Gunawan Hutagalung (Direktur Pos dan Penyiaran di Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi), Amelia Anggraini (Anggota Komisi I DPR), serta Gilang Iskandar (Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia/ATVSI).
Herik Kurniawan (Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia / IJTI) juga hadir sebagai pembicara tambahan.
Sekretaris Jenderal ATVSI Gilang Iskandar menyatakan bahwa situasi industri perteleman pada dasarnya sedang kurang memuaskan.
“Anggaran untuk biaya promosi berkurang, sementara itu
capital expenditure
(Capex) dan
operating expenditure
“Biaya operasional masih perlu dipenuhi,” jelasnya.
Sebagai hasilnya, kata Gilang, stasiun TV menjadi lebih agresif dalam mengimplementasikan penghematan biaya, yang mencakup pemberian tayangan ulang dan pada akhirnya mem-PHK karyawannya demi dapat terus berfungsi dengan normal.
Menurut Gilang, keadaan tersebut menjadi lebih buruk dengan munculnya kompetitor baru, yakni
platform
Digital, sedangkan gambarnya untuk kuenya tetap.
Sebaliknya, stasiun TV harus mengikuti beragam aturan yang dikeluarkan oleh beberapa badan terkait aspek bisnis, kriteria teknis siaran, serta penentuan frekuensinya.
Di sisi lain, menurut Gilang, media digital tidak terikat oleh sejumlah besar peraturan seperti halnya media televisi.
“Dengan demikian, berlakulah peraturan yang tak proporsional,” jelasnya.
Gilang menginginkan adanya peraturan untuk industri siaran yang lebih lentur dan responsif supaya dapat bertahan di era digital.
Anggota Komisi I DPR Amelia Anggraini menyatakan bahwa diskusi tentang perubahan Undang-Undang Penyiaran meliputi aspek teknis dan juga pentingnya memberikan hak kepada publik agar dapat memperoleh informasi yang telah diverifikasi secara tepat.
“Permasalahan kompetisi yang tidak sehat di antara media konvensional dan media digital turut menjadi fokus dalam diskusi mengenai penyempurnaan Undang-Undang tentang Penyiaran,” jelas Amelia.
Amelia mengatakan bahwa kecenderungan masyarakat yang cenderung mempercayai berita-berita yang sedang viral merupakan hal yang patut dicermati oleh para pembuat undang-undang saat mereka melakukan penyempurnaan terhadap regulasi itu.
“Saatinnya, Komisi I DPR RI tengah mengkaji beberapa DIM sebagai bagian dari proses penyusunan ulang Undang-Undang tentang Penyiaran,” jelas Amelia.
Amelia menyatakan bahwa perubahan Undang-Undang tentang Penyiaran seharusnya mampu merespons perkembangan teknologi di masa mendatang dengan cara yang proaktif.
Di samping itu, ia pun menginginkan nantinya akan diterapkannya peraturan yang adil untuk semua media di negeri ini, perlakuan yang seimbang kepada seluruh pemilik siaran, serta pengawasan yang maksimal dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Dewan Pers.
Herik Kurniawan, Ketua Umum IJTI, mengatakan bahwa UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tampaknya mencerminkan ketentuan yang lebih progresif dibanding dengan realitas di masa itu.
Namun, menambahkan Herik, Undang-Undang Penyiaran kini tampak kurang relevan seiring munculnya berbagai media baru yang menggunakan platform digital.
Herik berpendapat bahwa situasi sekarang telah menjadi kurang menguntungkan untuk kelangsungan institusi penyiaran yang ada.
Hendrik mengatakan bahwa para jurnalistik bersama dengan program mereka terkena dampak akibat usaha untuk meningkatkan efisiensi di stasiun televisi, sehingga publik kehilangan sumber informasi berkualitas.
Sebaliknya, lanjut dia, media dengan platform digital tengah mengalami pertumbuhan yang pesat saat ini.
Hendrik mengaku bahwa pekerjaan wartawan TV kini menjadi lebih sulit sebagai ‘penyelamat’ dalam menegaskan kebenaran terhadap informasi yang beredar di platform digital.
Hendrik menginginkan agar dampak dari perubahan regulasi yang berkaitan dengan siaran bisa dirasakan secara jangka panjang.
Dalam kesempatan tersebut, Staf Khusus Wakil Ketua MPR Usman Kansong menyatakan bahwa hampir seluruh perusahaan media siaran tradisional telah menerapkan PHK.
Usman menyebutkan pula bahwa di beberapa wilayah, banyak stasiun televisi dan radio konvensional telah tutup usaha.
Dia menyatakan bahwa di bawah situasi tersebut, komunitas penyiaran serta publik mengharapkan adanya perubahan Undang-Undang tentang Penyiaran yang mendukung kelangsungan hidup dari lembaga penyiaran tradisional dan praktik jurnalistik.
Menurut Usman, mendukung media siaran tradisional dan jurnalisme sama saja dengan mendukung demokrasi.
“Namun, media sosial bukanlah alat yang dibuat khusus untuk mendukung demokrasi,” katanya dengan tegas.
(mrk/jpnn)