UNRWA: Bantuan Terbatas di Gaza Merendahkan Rakyat

UNRWA: Bantuan Terbatas di Gaza Merendahkan Rakyat


Jakarta, IDN Times

– Kepala Badan Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, menegaskan bahwa bantuan yang diberikan kepada Gaza masih jauh dari cukup. Dia menyampaikan hal tersebut seperti sebuah ejekan atas krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung di daerah tersebut.

“Laporan menyatakan bahwa sebanyak 900 truk telah dikirim selama dua pekan terakhir. Ini setara dengan kurang dari sepuluh persen permintaan harian penduduk Gaza. Bantuan yang diberikan saat ini malah akan memperparah krisis besar yang tengah kita saksikan,” tulis Lazzarini di X pada hari Sabtu, tanggal 31 Mei 2025.

Dia menyebutkan bahwa selama gencatan senjata sebelumnya, PBB dapat mengirimkan antara 600 sampai 800 truk bantuan setiap harinya, yang mana hal tersebut cukup untuk mencegah terjadinya kelaparan di waktu itu.

“Misfortune massa yang berlangsung sekarang dapat diakhiri, dibutuhkan tekad politikal,” demikian katanya, seperti dilansir dari
Anadolu.

1. Implementasi sistem pendistribusian bantuan terbaru belum memenuhi keperluan masyarakat di Gaza

Setelah sekitar tiga bulan diberlakukannya pemblokiran, Israel pada akhirnya menyediakan izin untuk membawa bantuan ke Jalur Gaza dengan kuota tertentu karena adanya desakan dari pihak pemerintahan Barat serta badan-badan kemanusiaan global. Meskipun demikian, metode pendistribusion bantuan yang ditangani oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah institusi independen yang mendapat dukungan dari AS dan Israel, belum mampu mencapai semua permintaan warga Gaza.

Pada tanggal 27 Mei, sekumpulan penduduk sipil yang kelaparan menggeledah lokasi penyaluran bantuan humaniter di wilayah selatan Gaza. Tentara Israel merespons dengan membuka api, menyebabkan tiga orang meninggal dunia dan kira-kira lima puluh cedera.

“Apa yang terjadi tanggal 27 Mei – kemelut dan putus asa – merupakan konsekuensi langsung dari sistem yang cacat ini. Warga meninggal karena kelaparan. Ini tak lebih seperti pemberian bantuan, tetapi malah menjadi bentuk penodaan bersama,” ungkap Ajith Sunghay, wakil Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) di daerah diduduki Palestina, demikian diketahui.
The New Arab.

PBB serta organisasi-organisasi bantuan lainnya sebelumnya enggan berkolaborasi dengan GHF dikarenakan dianggap tidak cukup objektif dan cara mendistribusikannya memicu perpindahan penduduk Palestina.

2. Warga Gaza banyak yang kembali tanpa membawa apa-apa.

Dari empat lokasi penyaluran bantuan yang telah dipersiapkan oleh GHF, cuma ada tiga tempat saja yang aktif. Sebagai akibatnya, Layla Al-Masri serta sejumlah besar pengungsi harus kembali ke rumah mereka tanpa mendapat apa-apa karena kurang mudanya akses untuk memperoleh dukungan tersebut.

“Apa yang disampaikan mengenai niat mereka untuk menyediakan makanan bagi warga di Gaza ternyata adalah kepalsuan. Sebenarnya, mereka tak memberikan makan apalagi minuman,” katanya seperti dilansir dari
Al Jazeera.

Abdel Qader Rabie, seorang pengungsi Palestina lainnya, menyampaikan bahwa keluarganya saat ini tak memiliki satupun persediaan makanan di dalam rumah mereka.

“Setiap kali saya datang untuk mendapatkan bantuan, saya selalu membawa satu kotak dan ribuan orang berkumpul di sekelilingku. Dahulu kala, UNRWA akan memberikan informasi agar saya bisa menerima bantuan. Namun saat ini hal itu tak lagi terjadi. Bila Anda cukup kuat, maka Anda diberi bantuan. Sebaliknya, jika tidak, Anda harus pulang tanpa apa-apa,” ungkap Qader Rabie.

3. Gaza menjadi wilayah dengan dampak kelaparan terparah di seluruh dunia.

Berdasarkan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Gaza menjadi wilayah yang paling terdampak oleh krisis kelaparan secara global, dimana semua penghuninya berpotensi menghadapi kekurangan gizi serius. Lebih jauh lagi, upaya organisasi ini untuk mendukung rakyat Palestina di Gaza dinilai sebagai salah satu tugas tersulit mereka dalam catatan sejarah.

“Operasi bantuan yang telah kita persiapkan sekarang terbatas karena hambatan operasional sehingga menjadikannya salah satu operasi bantuan dengan laju kemajuan paling lamban, bukan saja di dunia hari ini, tapi bahkan dalam catatan masa depan yang belum lama ini,” ungkap juru bicara OCHA, Jens Laerke, pada Jumat (30/5/2025).

Dia menyebutkan bahwa dari total 900 truk bantuan yang disetujui untuk memasuki wilayah Palestina lewat gerbang Kerem Shalom di Israel, baru sekitar 600 truk saja yang sudah dikosongan di Gaza. Di sisi lain, kuantitas bantuan yang berhasil disebar kepada publik bahkan masih lebih rendah daripada itu.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *