- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
children and families, culture, lifestyle, recreation and leisure activities, vacationschildren and families, culture, lifestyle, recreation and leisure activities, vacations - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
8
Untuk beberapa individu, berwisata bisa jadi tampak sebagai hal yang lumrah. Namun buat saya bersama dengan famili, perjalanan wisata merupakan suatu kekayaan, entah itu dari segi finansial ataupun peluangnya. Kekayaan tersebut dikarenakan kita jarang melakukan aktivitas ini. Lebih khusus lagi, merencanakannya membutuhkan usaha ekstra dalam mengatur waktu serta dana cuma-cuma demi sekadar ‘menikmati masa istirahat’.
Saya berasal dari sebuah keluarga pemilik warung kelontong. Kedua orang tua saya merupakan individu yang sangat rajin dan hampir tidak pernah beristirahat. Pada masa Lebaran pada tahun 1980-an, ketika biasanya seluruh toko-toko ditutup sebagai bentuk penghargaan atas kesucian hari tersebut, kedua orang tuaku malahan memilih buka bisnisnya. Hal ini dilakukan bukan lantaran kurang menghormati makna penting dari acara itu, melainkan akibat pola pikir kuat bahwa jangan sampai melewatkan setiap kemungkinan mendapatkan rejeki. Menurut sang ayah, “Rejeki dapat muncul sewaktu-waktu. Yang harus kita lakukan hanya bersikap siaga.”
Keadaan tersebut perlahan meredup pada diriku. Saat bertumbuh besar, aku diyakini bahwa setiap harinya membawa kesempatan bekerja. Apabila terdapat waktu senggang, gunakan untuk mencari penghasilan. Mengapa harus malas-malasan di hari Minggu kalau masih dapat berproduktivitas?
Namun, segalanya berubah sejak memiliki anak. Saya menyadari bahwa waktu tidak dapat dibeli dengan apapun. Perasaan sedih selalu melanda ketika anak-anak mulai mengerti bahwa kedua orang tuanya sangat disibukkan oleh pekerjaan. Saya berkutat di kantor dari hari Senin hingga Jumat, dan pada akhirnya, meskipun Minggu tiba, saya malahan bermaksud untuk memanjakan diri sendiri dengan istirahat sepenuhnya. Namun bagi mereka, minggu ini adalah kesempatan emas untuk berinteraksi lebih banyak dengan orangtua.
Kebutuhan untuk menciptakan moment istimewa bagi buah hati sering kali bertabrakan dengan kenyataan finansial: uangnya. Musiman liburan berarti tambahan biaya, sedangkan dalam perencanaan rutin sebulan-sekali, item-item seperti angsuran rumah, upah asisten rumah tangga, pendidikan, tranportasi, serta keperluan dasar telah menelan mayoritas dari dana yang tersedia. Tidak ada ruang khusus di budget untuk ‘berwisata bersama keluarga’.
Selanjutnya, apa cara membuat moment berlibur yang menyenangkan tanpa menguras isi dompet?
1. Ganti Pola Pikir: Perjalanan Wisata Tidak Selalu Bernilai Tinggi.
Sekali waktu, saya berpikir bahwa liburan pasti melibatkan perjalanan keluar kota, berkunjung ke destinasi turis favorit, tinggal di penginapan, serta menyantap hidangan meski hanya fast food seperti fried chicken. Namun, ternyata si anak dapat merasakan kebahagiaan dari sesuatu yang lebih sederhana. Mereka cukup gembira jika diajak mencicipi es teh manis bersama-sama, memainkan diri di lapangan terbuka dalam komplek hunian, atau setidaknya piknik menggunakan permadani pribadi beserta bekal rumahan. Hal yang mereka inginkan bukanlah suasana istimewa, tetapi adanya kasih sayang dan hadirnya kedua orangtuanya.
2. Gunakan Fasilitas Publik yang Harga Terjangkau (Dahulu Kala Tak Ada Acara Gratis).
Pada awal tahun 2000-an, ketika anak-anakku masih kecil, kita tidak memiliki Instagram untuk memberikan informasi tentang acara gratisan, juga tidak ada aplikasi yang mengumpulkan jadwal acara di akhir pekan. Oleh karena itu, kami perlu menjadi lebih kreatif dalam menemukan hiburan dengan biaya rendah. Kami sering kali menggunakan kendaraan umum menuju museum, atau berkelana ke tempat tinggal kerabat yang dilengkapi dengan kolam renang. Terkadang, hanya dengan mendekati pagar Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dan menyaksikan pesawat hendak take off saja sudah membuat mereka sangat senang.
Tidak tersedianya data digital yang dapat dilihat melalui telepon genggam membuat sumber utamanya berasal dari keluarga, kawan-kawan, ataupun pengamatan pribadi. Namun, dari sinilah aku mempelajari bahwa hal terpenting bukanlah tempatnya, tetapi cara kita berinteraksi dan berkumpul bersama-sama.
3. Menghabiskan Waktu Libur di Rumah dengan Gaya ‘Staycation Mendadak’
Mungkin dulu kata “staycation” belum umum digunakan, tetapi kita telah melakukan aktivitas tersebut secara tidak sengaja. Kami membuat pesta piknik mini dengan menutupi teras menggunakan selimut agar tampak seperti kemah, lalu memainkan permainan Monopoly bersama-sama. Selanjutnya, kami menikmati film-film Marvel dengan sajian ringan mirip popcorn bioskop yakni kentang goreng serta minuman soda, kadang juga boleh mandi hujan dan berlarian basah-basan di taman belakang rumah. Semua kegiatan ini sangat seru. Anak-anak merasa spesial karena suasana dirubah menjadi lebih beda daripada hari-hari normal mereka.
4. Tak Terdapat Aplikasi Diskon, Namun Ada Kecerdasan dalam Berhemat.
Pada awal tahun 2000-an, masih jarang ditemukan aplikasi diskon maupun cashback. Namun, kami memiliki cara cerdas untuk menekan biaya pengeluaran. Ketika merencanakan perjalanan sehari penuh, kami selalu menyediakan bekal sendiri di rumah. Membawa nasi, telur dadar, ayam goreng, serta sambal yang sudah dibungkus dengan rapi menjadi rutinitas harian. Untuk minumannya, kami menggunakan botol besar berisi teh manis buatan sendiri. Selain itu, kami juga membawa pakaian cadangan agar tidak perlu membeli yang baru jika anak-anak ikut terkena kotor saat bermain. Cara hemat bagi ibu-ibu pada masa tersebut adalah melibatkan kecerdikan dalam persiapan, kemampuan antisipatif, dan tentunya sikap non-gengsi.
5. Pastikan untuk melibatkan anak dalam perencanaan.
Liburan hemat tidak selalu harus dirancang hanya oleh orangtua. Melibatkan anak-anak dalam proses perencanaannya juga penting. Cobalah tanya kepada mereka, “Kita akan libur minggu depan, apa yang kalian ingin lakukan tanpa mengeluarkan banyak duit?” Terkadang ide mereka sangat unik dan simpel seperti memasak bersama di dapur sembari bermimpi menjadi juru masak profesional. Dengan begitu, masa istirahat itu menjadi lebih menyenangkan karena mereka merasa memiliki kontribusi sendiri.
6. Menabung Lewat Metode Tradisional: Pengumpulan Uang Liburan di Celengan.
Dulunya kami memiliki sebuah toples plastik di atas lemari es. Di situ aku letakkan label bertulis “Untuk Keperluan Perjalanan”. Toples itu berisi uang koin, tetapi tiap kali ada sisa dari pengeluaran belanjaan, kupindahkan ke dalamnya. Cara menabung seperti ini ditujukan agar tersedia sejumlah dana yang dipersiapkan untuk merencanakan pergi piknik bersama seluruh anggota keluaga ke Kebun Binatang Ragunan.
Perjalanan Liburan Bukan Soal Biaya, Melainkan tentang Memori Berharga
Anak-anakku telah tumbuh menjadi remaja. Namun terkadang mereka masih mengingatkan diriku tentang masa lampau tersebut. Mereka sering membicarakan waktu-waktu ketika memetik buah kersen dari pohon yang ada di halaman rumah, berjalan kaki menuju desa tetangga untuk mencari cipluk/cenet, berenang di danau publik sambil membawa bekal seperti nasi atau mi goreng, bahkan pernah bersama-sama menumpang kendaraan umum dengan aku hingga ke pasar pada pagi hari serta singgah membeli hidangan mie ayam setelahnya.
Mereka tak mengingat biaya tiketnya atau lokasi mewah yang kita datangi, tetapi mereka mengingat perasaannya. Perasaaan dihargai, dipedulikan, dan diajak bermain-main.
Liburan tidak sekadar terletak pada tempat yang dikunjungi, tetapi lebih kepada cara menikmatinya. Saya sebagai ayah dari latar belakang keluarga petugas kerja keras, perlu mengambil waktu istirahat secara berkala. Waktu, layaknya modal, seharusnya dikelola dengan baik. Menghabiskan waktu bersama keluarga merupakan bentuk investasi yang tak ternilai harganya dan tidak dapat dipulihkan lagi.