- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
controversies, news, news media, politics, politics and governmentcontroversies, news, news media, politics, politics and government - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
2
,
Jakarta
– Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyerukan kepada Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
untuk membatalkan proyek
penulisan ulang sejarah
yang direncanakan selesai pada Agustus mendatang.
Menurutnya, menyusun ulang sejarah harus menjadi tugas dari kementerian yang menangani pendidikan, bukannya Kementerian Kebudayaan. Selain itu, proyek tersebut dianggap bersifat manipulatif karena mencoba merubah cerita historis di masa lampau.
“Pemerintah harus membatalkan niatannya untuk merombak sejarah perkembangan bangsa dengan cara terselubung dan terlalu cepat,” ucap Hendardi dalam pernyataan tertulis, pada hari Senin, tanggal 16 Juni 2025.
Hendardi menyebutkan bahwa menulis kembali sejarah membutuhkan diskusi yang panjang, matang, mendalam, serta inklusif tentang fakta-fakta yang perlu dimasukkan ke dalam buku pelajaran.
Menurutnya, untuk menjadi lebih baik, proyek ini perlu didukung oleh niat yang tulus dari pemerintah dalam menyelidiki berbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lampau, bukannya hanya merevisi sejarah dengan cara yang paksa dan sewenang-wenang sesuai kemauan penguasa saat itu.
Tanpa disertai dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM, lanjut Hendardi, menulis kembali sejarah sangat berpotensi dimanfaatkan oleh penguasa untuk merubah narasi tentang peristiwa yang telah terjadi di masa lampau.
Langkah tersebut, menurutnya, pernah dicoba pula oleh rezim otoriter Orde Baru guna meredam kebenaran mengenai genosida tahun 1965.
“Apalagi, narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon, semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi, dan muslihat,” ujar Hendardi.
Manipulatif yang dimaksud, salah satunya adalah terkait dengan penyangkalan kasus
pemerkosaan massal
Di tengah kerusuhan pada bulan Mei tahun 1998, Fadli menganggap bahwa kasus itu hanyalah sebatas desas-desus karena tidak mempunyai bukti yang mencukupi.
Menurutnya, mantan Presiden B.J. Habibie sudah memberikan pernyataan resmi tentang kasus perkosaan beramai-ramai pada tahun 1998. Selain itu, ada juga beberapa laporan dari Tim Gabungan untuk Pembeberkan Kasus Pelanggaran Berat HAM Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang diketuai oleh Marzuki Darusman.
Selanjutnya, menurut Hendardi, investigasi dan temuan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan beserta dengan beragam penelitian akademis yang dijalankan oleh para ahli, ditambah dengan laporan-laporan pengawasan yang dikerjakan oleh organisasi non-pemerintah, semuanya mengungkapkan keberadaan kasus pelecehan seksual masif yang dibantahkan oleh seorang politisi Partai Gerindra tersebut.
“Harusnya Fadli Zon mencabut beragam pernyataan penolakannya serta dengan cepat minta maaf ke masyarakat, khususnya pada para korban dan keluarga mereka,” katanya.
Di samping membantah tuduhan tentang pemerkosaan masal selama kerusuhan Mei 1998, proyek penyusunan kembali sejarah yang dikembangkan oleh Kementerian Budaya ini juga bertujuan untuk meminggirkan beberapa kejadian pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau.
Laporan
Tempo
Berjudul “Penghapusannya Pergerakan Reformasi di Buku Sejarah Indonesia”, naskah yang dirilis tanggal 21 Mei 2025 tersebut menyoroti hilangnya berbagai kejadian historis signifikan dari buku penyusunan tersebut.
Pada jilid 9 misalnya yang berjudul “Orde Baru” tak menjamah peristiwa 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei. Padahal, peristiwa itu menjadi peristiwa penting yang menjadi sejarah perjuangan bangsa.
Mantan aktivis 98 Masinton Pasaribu menilai, upaya menghilangkan sejumlah kasus pelanggaran HAM dalam penulisan sejarah ulang ini tak lebih dari suatu upaya membodohi generasi mendatang.
“Pengkhianatan ini terjadi pada upaya negara untuk mendapatkan kemerdekaan serta demokrasi,” ungkap Masinton lewat pesan pendek, Senin, 16 Juni 2025.
Berdasarkan pernyataan tertulis dari Fadli Zon, dia menyampaikan bahwa tidak ada niat baginya untuk membantah adanya kasus pelecehan seksual berkelompok pada tahun 1998.
Dia menjelaskan, fakta sejarah harus bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. Sementara penyebutan kata “massal”, menurut dia, masih menjadi perdebatan di kalangan akademik selama dua dekade terakhir.
“Apalagi masalah angka dan istilah yang problematik,” ujar Fadli, Senin, 16 Juni 2025.