- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
airline industry, flying, health, lifestyle, travelairline industry, flying, health, lifestyle, travel - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
2
,
Jakarta
– Salah satu kekhawatiran utama ketika bepergian jarak jauh menggunakan pesawat adalah
jet lag
Kondisinya dapat sangat menganggu sebab menyebabkan tubuh merasa capek sampai sulit berkonsentrasi pada berbagai urusan.
Jet lag dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti jadwal tidur Anda—entah itu sebelum perjalanan udara atau ketika sedang di dalam pesawat. Namun, antara memilih untuk tidur atau tetap terbangun saat penerbangan, manakah yang benar-benar lebih efektif?
Saat suka berkeliling tempat khususnya ke lokasi yang jauh, menggunakan pesawat adalah pilihan ideal. Akan tetapi, sindrom gelisah akibat perbedaan waktu atau dikenal sebagai jet lag kerap menghadang. Rasanya sulit untuk bergairah mengeksplor tujuan wisata saat badan terasa lelah dan mood tidak baik.
Menurut laman
Cleveland Clinic
,
jet lag
Adalah suatu keadaan yang mencerminkan masalah pada pola tidur—sepeti insomnia—and juga beberapa gejala lainnya yang biasanya timbul akibat perjalanan jarak jauh dalam durasi cepat. Ketika individu tersebut terbang melewati lebih dari tiga zona waktu, “jar jam” alami tubuh (atau disebut juga sebagai ritme sirkadian) memerlukan periode adaptasi agar bisa menyelaraskan kembali rutinitas tidurnya sesuai dengan lingkungan baru di destinasi tujuannya.
Merujuk pada laman
CNA
Jetlag tidak hanya dipicu oleh pergantian siklus biologis akibat perubahan zona waktu, namun juga disebabkan gangguannya pola tidur sehari-hari – misalkan saja ketika harus beranjak lebih awal demi mengejar pesawat subuh. Bisa jadi, individu tersebut merasakan sulit tidur di dalam pesawat walaupun sudah membawa persiapan lengkap seperti bantal leher, headset penyerap kebisingan, bahkan sampai suplementasi melatonin.
Peristiwa itu kemudian menarik minat sejumlah peneliti yang saat ini mencoba menganalisanya dengan lebih mendalam menggunakan informasi dari alat pemantau tidur portabel. Sebuah riset menyeluruh tentang topik tersebut dijalankan tahun 2025, sebuah kerjasama antara
Pusat untuk Kognisi dan Tidur
di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin NUS
Oura
dan dipublikasikan dalam jurnal
Sleep
pada Maret tahun ini.
Riset itu mengevaluasi sekitar 60.000 perjalanan serta 1,5 juta hari data anonim yang dihimpun dari pengguna.
Oura Ring
Ini merupakan penelitian besar pertama yang melihat proses penyembuhan sindrom gelisah waktu setelah terbang dalam kehidupan sebenarnya. Salah satu interpretasi hasil dari studi ini adalah tentang perjalanan udara pada malam hari—which sering kali dikenal sebagai
red eye flight
Ternyata benar-benar lebih mengganggu rutinitas tidur daripada terbang pada waktu siang hari.
Di samping itu, tubuh biasanya memerlukan periode istirahat di malam harinya untuk pulih secara ekstra, khususnya sesudah mengerjakan penerbangan sepanjang malam sampai pagi. Menurut penelitian tersebut, kondisi terburuk yang bisa merusak pola siklus alami tubuh adalah saat bepergian menuju arah timur serta melewati beberapa zona waktu.
Sebenarnya, sindrom gangguan ritme sirkadian cenderung dirasakan lebih parah saat bepergian secara singkat ke timur melewati lebih dari tiga zona waktu. Meskipun demikian, ini bukan berarti perjalanan jarak jauh akan menjadi lebih ringan—entah itu menuju timur ataupun barat; penelitian mengindikasikan bahwa pola tidur dapat digeser sekitar 60 sampai 70 menit lebih cepat atau lebih lambat dibanding rutinitas normal kita.
Pada aspek pemulihan tidur, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bagi sebagian individu, dibutuhkan lebih dari tujuh hari agar pola dan struktur tidur dapat kembali seperti sedia kala—seperti misalnya kurang mampu tidur dengan nyenyak hingga pagi tanpa gangguan. Meski begitu, berita bagusnya ialah lama waktu tidur umumnya sudah mencapai standarnya setelah dua hari saja. Akan tetapi, variasi pada jadwal tidur serta komposisinya mungkin akan memakan masa yang cukup panjang yaitu lebih dari tujuh hari sampai sepenuhnya tertata ulang menjadi normatif.
Berdasarkan temuan riset tersebut, gender ternyata tidak begitu memengaruhi masalah tidur yang disebabkan oleh perjalanan. Dr. Adrian Willoughby, salah satu peneliti tingkat lanjut dari NUS Medicine dan juga pemimpin dalam proyek studi ini, menyampaikan dua alasan mengenai fenomena itu.
“Pertama, efek dari perjalanan melewati beberapa zona waktu—terlebih lagi jika melibatkan jarak yang sangat jauh—mungkin akan berdampak lebih signifikan daripada pengaruh hormon terhadap pola tidur wanita,” katanya.
Kedua, baik laki-laki maupun perempuan mengalami tantangan serupa terkait pola tidur mereka ketika melakukan perjalanan jauh, oleh karena itu tak heran apabila dampaknya pada keduanya cukup mirip.
Di samping itu, penelitian ini malah mendapati bahwa orang-orang berusia lanjut cenderung merasakan efek jet lag yang lebih rendah daripada mereka yang lebih muda.
Dr. Willoughby menyatakan, “Umumnya, individu lanjuk usia memiliki waktu tidur yang lebih pendek daripada mereka yang masih muda. Oleh karena itu, walaupun efek dari masalah tidur akibat perjalanan dapat dialami dengan cara yang serupa, penurunan jumlah total jam tidur cenderung kurang signifikan pada orang berusia lanjut karena sebelumnya sudah terbiasa untuk tidur dalam jangka waktu yang lebih singkat.”
Mengudara Ke Arah Timur Memicu Gangguan Ritme Sirkadian yang Lebih Berat
Untuk diketahui, dalam bagian otak yang disebut hipotalamus, terdapat struktur kecil bernama suprachiasmatic nucleus (SCN). Inilah yang disebut sebagai “jam utama” tubuh—pengatur ritme sirkadian, yaitu sistem biologis yang mengendalikan berbagai fungsi seperti kapan pemilik tubuh akan bangun, merasa lapar, atau mengantuk, sebagaimana dijelaskan oleh
Healthline
.
SCN beroperasi di bawah pengawasan cahaya. Oleh karena itu, saat mata mendeteksi paparan sinar matahari, SCN akan memicu produksi beberapa hormon, mengubah temperatur badan, serta mengontrol proses metabolisme agar tubuh tetap sadar dan siap.
Tiap individu mempunyai ritme sirkadian bawaan yang hampir sejalan dengan siklus harian 24 jam lingkungan,” papar Asisten Dosen Tamahan Sridhar. “Perbedaan antara ritme alami tubuh dan waktu eksternal menyebabkan sindrom jetlag.
Ketika seseorang berada dalam perjalanan menuju timur, tubuh harus menggeser jadwal tidurnya lebih awal untuk sesuai dengan zona waktu yang dituju. Sementara itu, apabila ia bepergian ke barat, dia perlu menangguhkan jam istirahat malamnya.
Sleeper atau Waker di Pesawat?
Menurut saran
Mount Elizabeth Hospital
Aturlah jam tangan sesuai dengan waktu di lokasi tujuan ketika Anda baru saja naik pesawat. Hal ini diklaim bisa memudahkan adaptasi terhadap perubahan zona waktu.
Selanjutnya, ikuti jadwal kegiatan berdasarkan waktu yang berlaku di lokasi tujuan. Bila ketika sampai di sana jam menunjuk ke siang hari, lebih baik tetap stay awake sepanjang perjalanan udara tersebut.
Tetapi apabila sudah masuk malam, cobalah untuk beristirahat di dalam pesawat meski pemandangan dari jendelanya mungkin masih cerah. Kendalikan eksposur terhadap cahaya dengan memakai topi pengaman mata dan juga hooded jacket agar tubuh bisa mengadaptasi siklus biologisnya sesuai dengan jam malam di tempat tujuan.