Semangat Tradisional: Menenun dan Mengayam di Tengah Kemodernan


Laporan Jurnalis oleh Maria Selfiani Baki Wukak


, KUPANG

– Meira Vanessa Kolo Sasi serta Mathildis Una Ustetu, dua pelajar dari SMAN 2 Kefamenanu, memperagakan kemampuan dan keahlian mereka dalam bidang menyulam dan merajut.

Ke dua pelajar tersebut memperlihatkan kemampuan mereka di booth Pameran Besar SMA/SMK yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT. Acara ini akan berlangsung mulai hari ini, Jumat, 2 Mei sampai dengan tanggal 5 Mei 2025 mendatang.

Meira, seorang siswi berumur 15 tahun, mengisahkan tentang perjalanannya ketika pertama kali mempelajari cara menenun dan bagaimana keterampilan tersebut berkembang sampai hari ini.

Ketika bertemu dengan para jurnalis di tengah-tengah proses pembuatan kain tradisional, Meira berbagi cerita tentang pengalamannya dalam menenun sejauh ini.

Meira berkata, ‘Mulai belajar menenun sejak SMP kelas 8 dan juga mendapat pelajaran dari Mama,’

Meira mulai tertarik dengan seni tenun setelah melihat sang ibunya melakukan hal tersebut dan dia pun memutuskan untuk mengajarkan dirinya sendiri cara menenun supaya dapat mendukung kedua orang tuanya.

“Jika kita belajar dengan sungguh-sungguh, maka dalam tiga hari pun sudah cukup dan maksimal hanya butuh satu minggu,” kata Meira sambil menyeringai.

Meira menceritakan hambatan-hambatan ketika menenun kain tradisional yaitu di mana dia perlu ukirkan nama seseorang pada kain tenunan tersebut. Dia juga harus merencanakan motif-motif dengan tepat dan proses ini membutuhkan waktu cukup panjang.

“Di sekolah kami terdapat sekitar dua puluh anak. Sekolah kami mengadopsi kurikulum mandiri dan memiliki mata pelajaran bernama P5. Di dalam pelajaran P5 ini, disisipkan materi lokal dimana para murid dapat memilih antara penenunan dan pembuatan rajutan baik bagi perempuan maupun laki-laki yang bisa mencoba membuat kerajinan dengan menggunakan bahan seperti batok kelapa atau bambu menjadi cangkir atau sendok,” jelas Meira.

Meira pun mengatakan bahwa di awal dia merasa heran ketika mulai belajar cara menenun, tetapi seiring berjalannya waktu dia menjadi terbiasa dengan bantuan dari kawan-kawannya dan respons sekolah yang amatlah mensupport.

Meira pun mengatakan bahwa mereka merasakan hambatan saat mencoba menjual produk tenunan karena kurangnya waktu untuk berjualannya dan sebagian besar waktunya terpakai untuk belajar di sekolah.

Meira menyampaikan harapannya pada Hari Pendidikan Nasional kali ini agar para murid di mana pun dapat melaksanakan aktivitas menganyam.

“Karater para murid beserta keterampilan mereka perlu ditingkatkan sehingga sekolah dapat memasarkan produk-produk buatan murid-murid tersebut. Agar kebudayaan lokal yang kami miliki tetap lestari dan terus berkembang,” ujar Meira dengan antusiasme.

Pada kesempatan lain, Mathildis yang kerap dipanggil Thildis bercerita mengenai kegiatan anyamannya yang telah dilakoninya selama bertahun-tahun. Ia pun merasa sangat bersyukur karena dapat melanjutkan tradisi tersebut.

“Saya tidak peduli dengan apa omongan orang, saya bangga dengan punya niat bisa melakukan beranyam,” kata Thildis sembari terharu menceritakan pengalamannya tentang beranyam.

Thildis mengatakan bahwa kegiatan beranyam yang ia lakukan bukan hanya di sekolah saja tetapi juga dilakukan di rumah dan dibantu sang adik yang mencari bahan-bahan untuk digunakan dalam menganyam.

“Melihat ibuku dapat menganyam membuatku penasaran dan aku pun mempelajari cara menganyam,” ujar Thildis sambil menenun kasuri yang dibuat dari daun lontar.

Thildis pun mengungkapkan rasa kebanggannya pada ibu dan bercita-cita dapat meniru jejak ibunya dalam menjual hasil anyaman di beragam lokasi.

(ria)


Ikuti Berita lainnya di
GOOGLE NEWS

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *