WAISAI,
– Sejarah Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, tidak dapat dipisahkan dari kekayaan alam yang tersimpan dalam tanahnya, yakni nikel.
Eksplorasi nikel pada pulau ini sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda dan melalui serangkaian perubahan kepemilikan lisensi sampai akhirnya keluarnya kontrak karya untuk PT Gag Nikel — sebuah entitas yang merupakan bagian dari PT Antam.
Peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hari Suroto mengatakan bahwa sejak tahun 1920 sampai dengan 1958, Belanda melakukan penjelasan terperinci tentang isi nikel di Pulau Gag. Setelah meninggalkan pulau tersebut, perusahaan pertambangan yang dikuasai Belanda kemudian diserahkan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk nasionalisasi.
Sejak tahun 1960 hingga 1982, PT Pacifik Nickel Indonesia — perusahaan dengan modal asing dari Amerika Serikat — terus melakukan aktivitas pertambangan nikel. Setelah itu, suatu kerjasama antara PT Antam dan QNI meninjau kelayakan operasional tambang nikel di Gag pada periode 1986 sampai 1990.
“Pada tahun 1996 hingga 1998, perundingan berlangsung antara PT Broiling Hill Proprietary (BHP) yang berasal dari Australia dan PT Antam untuk membentuk usaha bersama,” terangnya dalam penjelasan tersebut kepidmedia.
, Minggu (8/6/2025).
Menurut Surotot, tindakan bisnis tersebut menciptakan PT Gag Nikel, perusahaan di mana 75% sahamnya dikuasai oleh Asia Pacific Nickel yang beralamat di Australia, sementara sisanya 25% dimiliki oleh PT Antam. Pada tahun 2008, PT Antam membeli kembali saham dari Asia Pacific Nickel.
Dasar landas pacu dirancang dan dibuat selama era PT Asia Pasifik Nikel. Saat ini area tersebut telah berubah fungsi menjadi ladang untuk penggembalaan hewan, kadang-kadang juga digunakan oleh pesawat yang mendarat bila ada delegasi pemerintahan sedang melaksanakan tugas dinasnya. Sementara itu, daerah tambang sendiri tersebar di sejumlah gunung dengan kondisi tanah yang kurang subur.
“Setelah itu pada tahun 1998, PT Gag Nikel menerima kontrak kerja generasi VII dari pemerintah Indonesia. Kemudian di tahun 1999, perusahaan tersebut berhenti melakukan eksploitasi bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 serta adanya wacana menjadikan Pulau Gag sebagai area perlindungan hutan,” jelasnya.
Menurut Suroto, meskipun tidak dilakukan eksplorasi, perusahaan tersebut tetap beroperasi dan hanya mengumpulkan sampel saja. Sejak tahun 2003, PT Gag Nikel memulai kegiatan eksplorasi nikel yang mencakup area sebesar 9.500 hektar dengan jangka waktu izin operasi tiga tahun.
Suroto menyebutkan pula bahwa sejak tahun 2009, PT Gag Nikel berkolaborasi dengan Golder Associates untuk melakukan estimasi sumber daya, sehingga hasil penghitungan konsentrasi nikel di pulau tersebut memenuhi standar JORC.
“Cadangan nikel yang sudah ditemukan di Gag sampai saat ini mencapai 171.048.843 wmt,” jelasnya.
Pesona alam yang indah
Surooto, seorang peneliti berpengalaman yang telah melakukan studi di Papua, menyebut bahwa Pulau Gag, Raja Ampat, mempunyai keindahan alam yang memesona serta potensi tambang dengan kandungan mineral yang cukup besar, terlebih lagi untuk nikel.
Pulau ini diberi nama Pulau Gag karena pada awalnya, ketika leluhur mereka pertama kali mendarat di sana, melihat banyak tripang di sekitar perairan pulau tersebut. Hewan dengan nilai ekonomi tinggi ini disebut “gag”. Seiring waktu, pulau ini pun akhirnya dikenal sebagai Pulau Gag.
“Topografinya berbukit gelombang dengan lembah-lembah teratur pada Daratan Pulau Gag. Bagian barat didominasi oleh bukit-bukit tinggi yang membentang dari utara hingga selatan. Ketinggian puncak tertinggi ada di Gunung Susu mencapai 350 meter atas permukaan laut,” paparnya.
Surooto menjelaskan bahwa kebanyakan masyarakat Pulau Gag berprofesi sebagai nelayan, petani, penebang sagu, penghasil kelapa dried dan pedagang. Secara umum, penduduk setempat memperoleh sumber daya hidup mereka dari lautan yang ada di sekeliling Pulau Gag.
“Air di seputaran Pulau Gag dipenuhi dengan sumber daya laut seperti ikan tongkol, mackerel, sea cucumber, bawali, kerapu, angelfish, hiu, trepang, kakap, lemoti, teri, udang, serta lobsters,” katanya.
Di luar penggunaannya untuk diri sendiri, produk perikanan juga dipasarkan di Pulau Gag atau pun diserahkan ke pembeli kolektor dari Sorong. Di samping hasil tangkapan laut, penduduk Pulau Gag juga melakukan pertanian, terutama pada area dataran rendah yang cenderung lebih subur.
Biasanya, produk dari kebun publik hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Hanya ketika masih tersisa setelah itu, mereka menjualnya kepada penduduk sekitar yang lain. Beberapa tanaman yang ditanam meliputi sayuran seperti kangkung, terong, serta umbi-umbian seperti singkong dan ubi jalar. Selain itu, tanaman obat seperti sirih dan pinang juga dipanen, bersama dengan rempah-rempah berupa cabai.
“Masyarakat memiliki kebun di tempat yang agak jauh dari pemukiman mereka. Karena itu, pertanian dilakukan saat kondisi cuaca kurang menguntungkan bagi penangkapan ikan,” papar Surooto.
Surooto mengungkapkan bahwa penduduk Pulau Gag juga menanam pohon sago, yang tersebar luas di lahan rawa. Produksi sago digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal serta diekspor keluar pulau.
“Pohon kelapa melimpah di tepi pantai Pulau Gag dan digunakan oleh penduduk setempat dalam produksi kopra,” ujarnya.