- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
culture, government, politics, politics and government, politics and lawculture, government, politics, politics and government, politics and law - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
3
Galeri Nasional Indonesia di Jakarta Pusat terlihat lebih meriah dibanding biasanya pada hari Sabtu (7/6). Berbagai rangkaian bunga dan irama musik tradisional menyambut pengunjung yang berdatangan secara bertubi-tubi.
Siang ini, Galeri Nasional menampilkan potret perjalanan hidup dan sejarah lewat lensa Guntur Soekarnoputra.
Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri—yang merupakan adik dari Guntur—hadir sebagai salah satu undangan istimewa pada peresmian pameran berjudul Gelegar Foto Nusantara 2025: Gambar-Gambar Sejarah dan Kehidupan tersebut.
Megawati menelusuri jejaknya di sepanjang koridor galeri sementara kadang-kadang ia mengamati dengan cermat gambar-gambar yang terpampang.
Pameran tersebut menghadirkan lebih kurang 550 gambar hasil jepretan Guntur, yang terkumpul dari jejak perjalanannya selama 69 tahun. Pesta visual ini juga bertujuan untuk merayakan hari kelahiran Bung Karno, sang Presiden pertama Republik Indonesia.
Sambutan Megawati
Pada pembukaan pameran fotografi karier Guntur Soekarnoputra, Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, menyoroti kurangnya pengetahuan sejarah dalam lingkup publik.
“Negara ini didirikan dengan kesulitan, penderitaan, air mata, dan hal-hal serupa. Bahkan para pendiri negara mengalaminya,” ungkap Megawati di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, pada hari Sabtu (7/6).
“Perlu diingat, jika tak ada yang berani bersuara, maka Proklamasi tidak akan terjadi, dan kalian tetap menjadi budak,” ujar Megawati.
Dia mengatakan dengan tegas bahwa tanpa para pahlawan seperti Bung Karno dan Bung Hatta, bangsa Indonesia kemungkinan besar masih akan berada dalam cengkraman penjajahan.
Pesan Mega untuk Perempuan
Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, memberi pesan kuat kepada wanita. Dia menyarankan agar wanita saat ini tidak terpaku hanya pada penampilan luarnya.
“Cobalah bayangkan, setiap harinya aku membaca media sosial dan berita, hal itu membuatku sangat khawatir. Kebanyakan wanita kita seperti Kartini kini menginginkan apa? Mungkin marilah kita renungkan,” ujar Megawati.
“Perempuan sekarang aku melihatnya, boleh lah mejeng, pakai apa yang namanya itu, glowing-glowing itu masyaallah, aku bilang iya loh, ya boleh lah glowing-glowing, tapi kan juga pintar,” ujar Megawati.
Dia menyebutkan betapa banyak wanita yang cenderung fokus hanya pada penampilan mereka sendiri, namun mengabaikan warisan perjuangan para pahlawan wanita sebelumnya seperti RA Kartini dan Laksamana Malahayati.
“Kenapa? Hanya memulas di luarnya saja. Tapi mana kalau ada seperti Ibu, saya selalu manggilnya Ibu Kita Kartini, Laksamana Malahayati, itu bukannya nama, dia adalah Laksamana Malahayati, yang waktu itu menggantikan bapaknya yang terbunuh. Lihat sejarah, lihat sejarah,” ucap Megawati.
Megawati menggarisbawahi betapa vitalnya wanita di Indonesia memiliki kepintaran, kesopanan, serta rasa hormat kepada negaranya.
Megawati Marah pada Ibu yang Membiarkan Bayi
Megawati mengungkapkan amarahnya terkait dengan perilaku ibu-ibu yang berani meninggalkan bayi mereka sendiri. Dia menantang rasa kemanusiaan dan naluri bermotherhood dari wanita-wanita yang memberikan kelahiran tetapi enggan untuk merawat buah hatinya.
“Saya dulunya menjadi relawan guna memahami kehidupan manusia sebelum terjun ke dunia politik. Ada banyak bayi yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Saya tak dapat membayangkan bagaimana rasanya wanita-wanita pada masa kini,” ujar Megawati.
Dia merasa bingung dengan sikap beberapa ibu yang bersedia hamil namun pada akhirnya meninggalkan anak mereka.
“Kalian ingin hamil tetapi tidak siap untuk merawatnya? Ini tentang apaan? Pancasila,” katanya.
“Oleh karena itu, jika Anda hanya berbicara kosong tentang Pancasila, menurutku, sebaiknya pergi saja. Betul,” ujar Megawati.
Sebelumnya, Megawati juga menyebutkan tentang TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 yang dia anggap sudah menghapus “jiwa kemanusiaan” lantaran sang bapak, Presiden Pertama RI, Soekarno, tak pernah mendapat pengadilan sesuai prosedur hukum.
“Kenapa? TAP ini cuma meredam semangat manusia. Ayahku tak pernah diproses hukum, ironis sekali. Jika dulu banyak yang berkata seperti ini: ‘Tentu saja ibu mendukung ayahnya’, aku menunjuk orang tersebut dan bertanya, apakah kau ingin menggantinya? Karena ayahmu dilemahkan demikian, saya enggan jika kau bisa,” ungkap Megawati.
Menurut dia, anak-anak yang enggan mendefendasikan orangtuanya merupakan sebuah pengecualian. Dia kemudian menautkan hal ini dengan masalah hati nurani seorang ibu yang semestinya menjaga dan melindungi anaknya, bukan malah meninggalkan atau membuang mereka.