- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
agriculture, asia, commerce, indonesia, newsagriculture, asia, commerce, indonesia, news - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
12
Koalisi Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia yang dikenal dengan nama Gakoptindo mengungkapkan bahwa produksi tempe serta tahu kini berkurang sebesar 10% dibanding keadaan biasanya. Penurunan itu dikarenakan adanya peningkatan harga biji kedelai karena perlambatan nilai mata uang Rupiah melawan Dollar AS.
Aip Syarifuddin, Ketua Umum Gakoptindo, menyebutkan bahwa peternak kini menanggung biaya untuk membeli kedelai senilai Rp 10.000 per kilogram. Dia menjelaskan bahwa ini adalah peningkatan sebesar 25% dibandingkan dengan harga ratarata kedelai pada akhir tahun lalu yang berkisar antaraRp 8.000 per kg.
“Sadar atau tidak sadar, beberapa pembuat produk saat ini meningkatkan harganya atau mengurangi ukuran tahu dan tempe. Pendekatannya bervariasi di setiap wilayah,” jelas Aip kepada lowongankerja.asia.co.id, Jumat (25/4).
Bank Indonesia mencatat bahwa nilai tukar Rupiah mengalami pelemahan sebesar 4,66% atau meningkat Rp 752 secara tahunan hingga menjadi Rp 16.884 per dolar AS.
Aip mengatakan bahwa penurunan produksi tahu dan tempe belakangan ini terjadi secara murni disebabkan oleh tingkat pertukaran mata uang. Hal tersebut dikarenakan pasokan dan produksi kedelai dari Amerika Serikat tetap dalam kondisi yang stabil.
Aip mengumpulkan 90,9%, yang setara dengan sekitar 3 juta ton kedelai untuk memenuhi permintaan industri tahu-tempe datang dari penjualan luar negeri. Volume total kedelai yang berasal dari Kanada, Brasil, dan Argentina hanyalah 400.000 ton atau berjumlah 12% dari seluruh keperluan industri tersebut.
Sebagai contoh, kedelai berasal dari Amerika Serikat menyumbang kira-kira 79% dari permintaan industri untuk pembuatan tahu dan tempe. Menurut Aip, alasan utamanya adalah karena produk tempe yang dihasilkan lebih berkualitas serta dalam jumlah besar ketimbang kedelai impor dari negara lain atau bahkan hasil panen para petani setempat.
Perlu diingat bahwa pengurangan produksi itu sesuai dengan perkiraan impor kedelai yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional. Dengan detail, Baponas melacak rencana impor kedelai untuk seluruh tahun ini menjadi 2,42 juta ton. Jumlah tersebut berada 6,73% dibawah tingkat biasa yaitu kisaran 2,6 juta ton.
Aip menyebut bahwa alasan itu hanya karena dampak dari diperkirakan penurunan nilai rupiah terhadap Dolar AS yang bakal berlangsung hingga akhir tahun. Meski demikian, menurut Aip, kemampuan pembelian orang-orang dalam negeri untuk produk tempe dan tahu tetap sama. Ini ditunjukkan dengan kestabilan harga jual bagi para pengrajin, yaitu kisaran Rp 7.500 setiap unit.
Dia pun yakin aspek teknis tak bakal memengaruhi industri tahu-tempe di tanah air. Pasalnya, para pembuat tahu dan tempe mengatakan bahwa prosedur impor kacang kedelai saat ini telah terbilang cukup sederhana.
Aip mengamati bahwa produktivitas kedelai nasional saat ini bisa mencapai 2 ton per hektar. Dia menyebutkan bahwa capaian itu merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya 800 kilogram per hektar.
Oleh karena itu, Aip menilai petani di dalam negeri cenderung memproduksi tanaman pangan lain, yakni beras sekitar 5 ton per hektare atau jagung hingga 4 ton per hektare. Maka dari itu, perlu ada inovasi untuk menggenjot produktivitas kedelai di dalam negeri.
“Kita tak dapat mendesak petani menanam kedelai saat ini karena produktivitas tanaman pangan lainnya lebih tinggi,” ujarnya.