- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, economics, energy sector, news, workforcebusiness, economics, energy sector, news, workforce - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
6
Pemutusan hubungan kerja diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang tahun ini. Keadaan ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun luar perusahaan.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Core, menyebut bahwa aspek dalam negeri dipengaruhi oleh penurunan daya saing berbagai perusahaan pasca pandemi COVID-19. Menurut Faisal, sejak adanya virus corona, kebijakan cenderung lebih mementingkan lapisan bawah masyarakat. Di sisi lain, kelompok tengah yang hampir masuk garis kemiskinan juga merasakan dampak dari perlambatan perekonomian.
“Pekerja yang menerima gaji rendah dan memiliki jam kerja singkat mengalami peningkatan signifikan. Juga, banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja tidak dapat sepenuhnya kembali ke lapangan kerja sektoral formal,” jelasnya ketika diwawancara.
lowongankerja.asia.co.id
, Jumat (23/5).
Di samping itu, jumlah pemutusan hubungan kerja juga terbanyak dipengaruhi oleh keputusan luar negeri semisal, tensi perdagangan setelah diberlakukannya tariff impor dari Amerika Serikat. Sama halnya dengan penurunan nilai komoditas yang nantinya bakal mempengaruhi performa bisnis di bidang tambang serta pertanian.
- Pengangguran Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Diperkirakan Mencapai 280 Ribu Orang Tahun 2025, Inilah Ketiga Alasannya
- Menteri Perindustrian Menyangkal Proyeksi Pemutusan Kerja bagi 280 Ribuan Orang, Ungkapkan Pertumbuhan Investasi di Sektor Manufaktur Meningkat
- Menaker: Angka Pemutusan Hubungan Kerja Meningkat Menembus 26 Ribu Jiwa, Dua Besarnya di Jawa Tengah dan DKI Jakarta
Selama ini, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman menyebutkan bahwa masih ada tekanan struktural yang belum teratasi, termasuk kelemahan dalam kemampuan masyarakat untuk membelanjakan uang mereka, pertumbuhan ekspor yang tidak maju-mundur, serta kurangnya insentif fiskal bertipe counter-cyclical (yang bergerak berkebalikan dengan ritme perekonomian secara umum).
“Bila tidak ada campur tangan kebijakan yang bersifat antisipatif, inklusif, dan didasarkan pada data secara spesifik, dugaan tentang munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja bukan merupakan pandangan negatif, tetapi justru fondasi yang sangat masuk akal,” katanya.
Rizal menyebutkan bahwa beberapa bidang berisiko tinggi menghadapi lonjakan pemutusan hubungan kerja pada tahun ini. Bidang-bidang itu meliputi:
1. Bidang industri yang mengekspor produknya berfokus pada sektor manufaktur
Menurut Faisal, sektor dengan intensitas modal yang tinggi dan fokus pada pasar luar negeri sedang mengalami tekanan paling besar untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebut saja seperti industri tekstil, garmen, alas kaki, serta otomotif. Ketiga sektor ini dihadapkan pada serentetan masalah mulai dari penurunan permintaan internasional, beban dalam negeri, sampai kekakuan struktural tarif upah pekerja yang ada.
2. Bidang yang dirasakan dampaknya oleh efisiensi pemerintahan
Sektor-sektor yang dipengaruhi oleh kesiapan pemerintah dalam hal efisiensi, misalnya infrastruktur, pariwisata, dan penyelenggaraan acara, berpotensi menghadapi peningkatan pengurangan tenaga kerja sepanjang tahun ini.
3. Bidang pertanian serta perikanan
Pada sektor ini, dampak ekonomi terpengaruh oleh fluktuasi iklim yang pada gilirannya bisa mengurangi output produksi. Seperti disebutkan oleh Faisal, beberapa bagian dari sektor tersebut saat ini telah memperlihatkan tanda-tanda peningkatan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja.
” Ini mengindikasikan bahwa tantangan di bidang tenaga kerja kami bersifat multidimensi dan memerlukan tanggapan kebijaksanaan yang tidak hanya proaktif, namun juga strategis dan melintasi berbagai departemen,” katanya.
Perbedaan Antara Data Pemutusan Hubungan Kerja dari Kemnaker dengan BPJS Ketenagakerjaan
Sebelumnya, Dewan Pengawas BPJS menyebutkan bahwa sampai bulan April tahun 2025 sudah ada sekitar 24,36 ribu orang yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja atau PHK.
“Prediksi jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja diperkirakan mencapai sekitar 280 ribu orang pada tahun 2025,” ungkap Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Muhammad Zuhri ketika melakukan pertemuan bersama Komisi IX DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Senin (20/5).
Saat ini, Departemen Tenaga Kerja merangkum data tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berakhir pada tanggal 20 Mei 2025 dan angka tersebut sudah mencapai 26.455 jiwa. Sektor manufaktur menempati posisi sebagai bidang dengan tingkat PHK tertinggi dalam kurun waktu lima bulan awal tahun ini.
Pemutusan hubungan kerja paling besar tercatat di Jawa Tengah yang mencakup 10.695 pekerja. Di tempat kedua dan ketiga, kita temukan Jakarta dengan angka PHK sebanyak 6.279 orang serta Riau yang mengalami PHK pada tingkat 3.570 orang.