- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
commerce, commodities, earnings, economics, indonesiacommerce, commodities, earnings, economics, indonesia - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
7
lowongankerja.asia, JOMBANG –
Lama sudah ubi kayu diabaikan sebagai komoditas makanan, berbanding terbalik dengan beras atau jagung.
Lebih-lebih saat ini, para petani singkong di Jombang merasa cemas karena harga produk tersebut anjlok drastis dalam beberapa bulan terakhir.
Khusus untuk para petani di area Kecamatan Ngoro, penurunan harga singkong tersebut merupakan dampak yang sangat berat. Sebab, mayoritas mereka bergantung pada pendapatan dari tanaman singkong tersebut.
Agus Purwanto, seorang petani dan juga pembeli lokal dari Dusun Bodo, Desa Pulorejo, menyatakan bahwa saat ini harga singkong di pabrik berada pada kisaran Rp 1.100 sampai dengan Rp 1.200 setiap kilogram. Ini adalah angka yang signifikan lebih rendah jika kita bandingkan dengan harga masa lalu yang dapat menembus angka Rp 3.000 per kg.
“Bila dijual ke Pasar Induk Pare, harganya kira-kira Rp 1.600. Sedangkan jika langsung kepada pembeli akhir, bisa mendapatkanRp 2.000 per kg. Namun demikian, hal ini masih belum mencapai tingkat harga pada tahun lalu,” jelas Agus ketika ditemui di kebunnya, Selasa (3/6/2025).
Menurut dia, harga yang paling pas untuk ubi kayu adalah setidaknya Rp 2.500 per kg supaya para petaninya bisa untung. Jika harganya kurang dari itu, mereka bakal susah buat bayar biaya produksinya dan makin parah kalau jualannya juga murah ke pabrik.
“Bila saya menjual hasil produksi kepada pabrik, justru akan merugi karena biaya untuk penanaman, pemupukan, dan transportasi cukup tinggi. Oleh karena itu, lebih baik saya menjual secara langsung kepada konsumen walau saat ini jumlah pembeli sedikit,” terangnya.
Agus mengira bahwa penurunan harga ubi kayu ini disebabkan oleh kondisi perekonomian masyarakat yang tengah suram. Kekuatan daya beli yang menurun menyebabkan permintaan terhadap ubi kayu berkurang secara signifikan.
Sekarang ini Agus hanya mampu menjual antara 300 sampai 400 kilogram singkong per kali panennya, sementara dulu ia berhasil menjual mencapai satu ton. Dia mengatakan, “Banyak orang saat ini telah kehilangan pekerjaannya. Pengeluaran mereka pun berkurang. Pasarnya juga menjadi lebih sepi dari biasanya. Sehingga akibatnya adalah penumpukan stok dan turunnya harga.”
Sebab tambahan yang membuat situasi semakin sulit ialah iklim. Sesaat musim hujan panjang dapat mengakibatkan mutu ubi kayu merosot dan lebih gampang terserang penyakit, terlebih pada area tanam yang memiliki tekstur pasir di dalam tanahnya.
“Bila hujan tak berhenti, singkong dapat membusuk. Penyakit gaya pun kerap timbul. Hal ini menyebabkan produksi panen merosot secara signifikan. Idealnya jika cuaca cerah, kita bisa mendapatkan hasil panen mencapai 5 ton. Namun saat ini hanya sekitar 3 ton atau kurang,” paparan Agus.
Agus yang umumnya mengambil ubi kayu dari para petani di area Ngoro, saat ini juga mulai mencakup wilayah lain seperti Wonosalam sampai Kasembon di Kabupaten Malang guna menjaga persediaannya. Akan tetapi, dengan harga penjualan yang semakin anjlok, usaha itu menjadi lebih berat baginya.
Pernahnya, dia sempat menawarkan ubi kayu berkualitas premium dengan harga mencapai Rp 3.500 tiap kilogram, yang biasanya digunakan sebagai bahan utama untuk membuat tape dan keju. Namun sekarang, angka itu hanya menjadi hal dari masa lalu.
“Bila mutu ubi kayu baik, tetap dapat dipasarkan dengan harga lebih tinggi. Namun saat ini, selain harganya merosot, kualitasnya pun banyak yang buruk akibat kondisi cuaca,” tandasnya.
*****