- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
economics, global economy, international economics, news, politicseconomics, global economy, international economics, news, politics - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
6
Jakarta, IDN Times
– Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengestimasi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia bakal merosot menjadi 2,9% pada tahun ini. Ini adalah penurunan dibandingkan perkiraan sebelumnya yang mencapai 3,1%.
OCDE mengkritik peningkatan hambatan dagang, khususnya karena kebijakan tariff dari Amerika Serikat di era kepemimpinan Presiden AS Donald Trump. OCDE mencatat bahwa prospek ekonomi yang memburuk bakal memiliki dampak signifikan secara luas. Kecemasan dunia semakin bertambah dengan gaya mendekati masalah yang dipandang sebagai kurang dapat diprediksi oleh Trump.
“Diperkirakan akan ada pengurangan bagi hampir seluruh orang,” ujar kepala ekonom OECD, Alvaro Pereira, sebagaimana dilaporkan oleh media tersebut.
BBC
, Selasa (3/6/2025).
Grup tersebut juga menggarisbawahi bahwa kebanyakan negara saat ini menjadi target untuk biaya tambahan yang dikenakan oleh Amerika Serikat. Dampaknya dapat diamati melalui penurunan jumlah pekerjaan yang diciptakan di berbagai daerah. OECD mencatat bahwa perlambatan ini hampir merata dan berskala global.
1. Pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat diperkirakan akan terus melambat sampai tahun 2026.
OCDE menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun ini dari angka sebelumnya yaitu 2,2% menjadi 1,6%. Organisasi tersebut juga mengantisipasi bahwa perlambatan ini akan bertahan sampai tahun 2026. Berbagai alasan dikemukakan sebagai penyebab hal itu terjadi antara lain adalah kebijakan tariff milik Trump, peningkatan ketidakstabilan dalam aspek ekonomi, kurangnya migrasi netto, serta jumlah pekerja pemerintah yang semakin berkurang.
Organisasi tersebut mengingatkan bahwa Amerika Serikat berpotensi mengalami inflasi di atas estimasi. Tingkat inflasi mungkin mencapai hampir 4% menjelang akhir tahun 2025. Mereka mengatakan bahwa peningkatan tariff akan meningkatkan biaya dalam transaksi perdagangan; walaupun demikian, hal ini dapat dikompensasi dengan penurunan harga barang-barang komoditi.
Pereira juga menggarisbawahi pengaruh teknologi pada Produktivitas Ekonomi Amerika Serikat.
“Kapasitas produktif di Amerika Serikat sungguh luar biasa, dan kita meyakini bahwa hal ini dapat menghasilkan peningkatan perbedaan antara Amerika Serikat [dan] global secara menyeluruh, persis karena interaksi kecerdasan buatan dengan berbagai sektor di AS cukup intens,” katanya, demikian dilaporkan.
CNBC Internasional
, Selasa (3/6/2025).
Dia menyebutkan pula bahwa peluang untuk meningkatkan produktivitas kembali sangat tergantung pada pengurangan rintangan dalam perdagangan bersama dengan pertumbuhan investasi dan konsumsi.
2. Trump menyatakan bahwa ekonomi sedang ‘berkembang’ meskipun ada data mengenai penurunan.
Sebelum laporan OECD dirilis, Trump sempat mengklaim di media sosial bahwa tarif membawa dampak positif bagi perekonomian. “Karena Tarif, Ekonomi kita sedang BOOMING!” tulisnya. Namun, data resmi menunjukkan sebaliknya.
Perekonomian Amerika Serikat dilaporkan mengalami penurunan sebesar 0,2% secara year-on-year di triwulan pertama tahun 2025. Hal tersebut merupakan perlambatan untuk kali pertama sejak tahun 2022. Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat bahwa angka tersebut semakin memperkuat ketakutan tentang jalannya kebijakan ekonomi yang sedang berlangsung di AS.
Beberapa pekan belakangan ini ditandai dengan sejumlah pergantian tarif perdagangan yang signifikan. Sebagai contoh, ada putusan Pengadilan Perdagangan Internasional AS yang awalnya menarik tarif pembalasan untuk negara tertentu, namun kemudian dibatalkan lagi melalui jalur kasasi. Selain itu, Trump juga menyatakan niatannya untuk meningkatkan dua kali lipat tariff atas produk besi dan baja hingga mencapai 50%.
3. Bahasa Inggris juga dipengaruhi oleh tensi perdagangan global.
Di luar Amerika Serikat, Inggris pun mengalami dampak akibat tensi dagang dunia. OECD meredam perkiraan pertumbuhan ekonomi Inggris dari 1,4% menjadi 1,3%. Sementara untuk tahun 2026, ramalan ini jatuh lagi dari 1,2% hingga mencapai 1%.
OECD mengatakan bahwa tantangan bagi pertumbuhan Inggris berasal dari adanya ketidakpastian dan melambatkannya perdagangan dunia. Mereka pun merujuk ke peningkatan tajam dalam perekonomian Inggris di awal tahun 2025 dengan laju pertumbuhan sebesar 0,7%. Meski demikian, mereka memperingatkan tentang lesunya daya dorong ekonomi saat ini.
“Momen saat ini mulai menurun, sementara sentimen bisnis semakin merosot,” ungkap OECD. Mereka pun mengamati bahwa kepercayaan konsumen masih terus ditekan sejak paruh kedua tahun 2024.
Pemerintah Britania Raya sedang menghadapi periode di mana mereka harus membuat keputusan finansial yang rumit. Menteri Keuangan Rachel Reeves telah menyatakan bahwa ada serangkaian tindakan dengan nilai total 14 miliar euro (kira-kira Rp259 triliun) yang mencakup potongan pada tunjangan sebanyak 4,8 miliar euro (setara dengan kurang lebih Rp89 triliun), guna merestorasi fleksibilitas fiskal. Disebutkan pula bahwa pemerintah cenderung menekankan alokasi dana kepada bidang pertahanan serta layanan kesehatan nasional NHS.