- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
human rights, news, regulation, social issues, societyhuman rights, news, regulation, social issues, society - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
15
lowongankerja.asia
Profesor dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), yaitu Prof Hadi Shubhan, juga memberikan komentarnya mengenai insiden pengambilalihan izajah pekerja oleh sebuah perusahaan di Surabaya, yang baru-baru ini menjadi pembicaraan hangat masyarakat.
Menurut Hadi dari sudut pandang hukum, penahanan ijazah merupakan bentuk paksaan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan dalam berkarir. Ini memberi dampak negatif pada status administratif pekerja dan menginjak-injak hak-hak dasar seseorang.
“Pekerja diharuskan bekerja karena situasi yang sangat urgent dan adanya permintaan untuk tenaga kerja. Apabila enggan memenuhi harapan majikan, mereka berisiko dicopot dari posisi mereka. Hal ini mencerminkan ketidakequatan dalam dinamika hubungan antara karyawan dan pemilik usaha,” ungkap Prof Hadi pada hari Jumat, 25 April.
Sayangnya, walaupun praktek penghentian sementara ijazah sering kali terlihat dalam dunia pekerjaan di Indonesia, belum ada peraturan nasional resmi seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, atau bentuk aturan lainnya yang dengan jelas melarang tindakan tersebut.
Hanya terdapat beberapa area, seperti Jawa Timur, yang telah menetapkannya melalui peraturan daerah. Namun, bersifat jelas bahwa hal ini hanya berlaku secara lokal dan tidak melebihi batasan masing-masing wilayah.
Dia cemas bahwa absennya peraturan yang melarang penahanan ijasah dalam konteks kerja dapat membuka kesempatan bagi pemilik usaha tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan dan memperbudak karyawan.
“Jika mengacu pada peraturan tingkat nasional, seperti yang tertera dalam UU, PP, atau PERMEN, sebenarnya belum tersedia. Akan tetapi, spesifik untuk wilayah Jawa Timur, ada ketentuan dalam Perda Nomor 8 tahun 2016,” jelas Prof Hadi.
Menurut Pasal 42 dalam peraturan itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melarang para pengusaha untuk menyimpan dokumen pribadi karyawan mereka. Apabila diketahui melakukan pelanggaran, dapat menerima hukuman kurungan selama lima tahun atau denda sebesar Rp 50 juta.
Di luar hukuman kurungan dan denda tersebut, ada berbagai jenis sanksi hukum lainnya yang bisa ditujukan pada perusahaan menahan ijazah. Sanksi ini mungkin datang melalui tuntutan pribadi atau upaya pemenuhan hukum oleh negara.
“Hukumannya bisa mencakup tindakan perdata, dimana karyawan memiliki hak untuk menuntut majikannya di Pengadilan Hubungan Industri (PHI). Di samping itu, pengawas dari Dinas Tenaga Kerja Propinsi ataupun Departemen pun berhak memberikan hukuman administratif,” jelasnya.
Untuk melengkapi poin tersebut, Prof Hadi menekankan bahwa tindakan menyimpan atau menahan ijazah bisa berdampak negatif pada pergerakan sosial para pekerja. Terlebih bagi mereka yang bercita-cita untuk memajukan karir serta meningkatkan taraf hidupnya.
“Dampaknya dapat sangat besar bagi para pekerja. Mereka menjadi terbatas dalam perusahaan yang sekarang mereka jalani dan kesulitan untuk pindah kerja ke lokasi lain,” jelas Prof Hadi.