- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
education, educational systems, psychology of everyday life, society, teachingeducation, educational systems, psychology of everyday life, society, teaching - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
12
Pastinya kita kerap kali mendengar frasa paradigma serta menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, jika diminta untuk memberikan penjelasan yang komprehensif tentang definisi paradigma, mungkin jawaban kita akan sedikit terbatas. Di lingkungan tempat tinggal kita, berbagai bentuk paradigma dapat diamati baik dari sudut pandang individu, kelompok keluarga hingga aspek sosial lebih luas di tengah masyarakat.
Agar memperdalam pemahaman tentang makna paradigma ini, mari kita uraikan definisinya. Dari segi etimologi, paradigma merujuk pada pola, teori, persepsi, atau kerangka referensi. Sementara itu, dalam konteks tertentu, paradigma adalah suatu cara untuk menafsirkan realitas di sekitar kita yang berhubungan erat dengan bagaimana kita menyaksikan dan menjelaskan fenomena, yaitu sikap seseorang dalam bertindak atau bersikeras bahwa apa yang mereka lihat sebagai hal yang tepat menjadi dasarnya.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa paradigma bisa berasal dari observasi suatu fenomena, setelah itu dikaji secara mendalam menggunakan daya nalar sehingga tercipta tindakan tertentu. Akan tetapi, paradigma belum tentu tepat mencerminkan realitas sepenuhnya seperti yang kita amati. Maka untuk mengevaluasi persepsi kita tentang hal yang benar, diperlukan keterampilan dalam berfikir analitis serta diselingi oleh intuisi atau firasat.
Pandangan seseorang tentang suatu hal dapat timbul dalam beragam bentuk seperti melalui ucapan, pikiran, atau tindakan. Berikut adalah salah satu ilustrasi pandangan yang sering terlihat di tengah masyarakat. Mari kita ambil kasus Andi yang sedang menempuh lari jarak jauh. Tentunya usaha ini memerlukan pengeluaran tenaga besar dan nafas pun menjadi tidak tertahan, sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Andi. Setelah merasa letih, Andi mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas sebuah mobil yang ditempatkannya di pinggir tebing. Tak disangka kemudian ada orang lain yang secara spontan melakukan dorongan pada mobil hingga akhirnya roda putarnya masuk kedalam jurang.
Dari insiden ini, kita dapat menarik sebuah pelajaran. Seseorang yang berusaha mendorong mobil ke tebing karena berniat membantu Andi memindahkan kendaraannya justru keliru dalam penafsiran situasi. Yang dimaksud Andi hanyalah istirahat di samping mobil sebagai cara meredakan rasa letihnya. Dengan demikian, bukan selalu hal-hal yang tampak adalah kenyataan sebenarnya; itulah contoh pemahaman yang kurang tepat yang timbul dari sudut pandang individu tentang segala sesuatu. Sebagai hasilnya, paradigma memiliki potensi untuk memberikan dampak baik atau buruk, bisa berkembang dengan cepat maupun bertahap, serta boleh saja menjadi benar ataupun salah.
Pernah suatu kali seorang murid kerap tertidur sewaktu les privat saya tiap Senin pagi. Awalnya, saya menduga ia tidak berminat dalam studinya dan biasanya memberikan teguran hingga cemoohan kepada dirinya. Murid itu cuma diam saja sementara kadang tampak sedih di matanya. Suatu malam, dia mengirim pesan pendek padaku. Inti dari obrolan kami ialah permintaan maafnya atas kelakuannya yang sering tertidur saat pelajaran. Ia pun bercerita tentang masalah pribadinya; menjadi yatim piatu tanpa ibu kandungnya. Bapaknya telah menikahkan lagi sehingga membuat hubungan tak kondusif antara si anak dengan ibu tiri-nya. Karena hal ini, setiap Minggunya, ia harus mencari nafkah sebagai tenaga kasir acak demi membayar uang saku sekolahnya. Hal ini menyebabkannya lelah berkepanjangan dan akhirnya pulas tidur pada hari Senen. Aku merasa tersentuh oleh ceritanya dan sadar akan kesalahanku sendiri karena sudah banyak marahi dia. Maka aku turut minta maaf atas perlakukan burukku kepadanya.
Maka dari itu, sebagai guru, kita tak boleh memberikan paradigma yang keliru. Jangan sekali-kali meremehkan kemampuan siswa hanya karena mereka belum paham materi atau berisik di kelas. Tidak pantas bagi kita untuk menuduh bahwa murid-murid tersebut bodoh, bandel, malas, atau ugal-ugalan tanpa alasan. Sebaiknya kita teliti lebih dulu penyebab utama perilaku seperti ini pada diri para peserta didik. Dengan demikian, sebagai tenaga pengajar profesional, kita dituntut agar cermat serta peka saat menerima informasi baru supaya bisa menjauhkan kesalahpahaman baik melalui ucapan, pikiran maupun tindakan.
Siswa merupakan anak-anak atau remaja yang masih membutuhkan arahan serta dukungan dari orang-orang lebih tua agar bisa mencapai kematangan, sehingga mampu menjalankan perannya sebagai ciptaan Tuhan, seorang individu dan personal. Dengan demikian, guru yang ideal ialah mereka yang terus-menerus menyampaikan pengetahuan pada siswa-siswanya tanpa henti, bersama-sama dengan panduan demi pencapaian tingkat ke Dewasaan tersebut. ***
Syalma Hendri SPdI
, Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Pekanbaru