- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
public transportation, railway systems, train travel, transportation, travelpublic transportation, railway systems, train travel, transportation, travel - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
5
Pada tahun ini, saya akhirnya mengalami lagi pulang ke kampung halaman menggunakan kereta api. Saya tidak naik kereta eksekutif seperti Argo Bromo Anggrek atau Gajayana yang umumnya memiliki pendingin udara dan jarang dijejali suara penjaja barang, tetapi memilih untuk menumpang pada kelas ekonomi. Meskipun sesak dan lambat, namun pengalaman itu dipenuhi dengan banyak cerita dramatis dan malah menjadi momen yang sangat menyentuh hati. Saya sudah memesan tiket tersebut sejak dua bulan lalu—setelah berperang dalam pertarungan mencari tiket secara daring tepat pukul 00:01 yang rasanya sama tegnernya dengan saat menonton final Liga Champions.
Kereta yang saya tumpangi diberi nama Jayakarta. Saya berangkat dari Stasiun Senen menuju Surabaya melalui rute selatan, ini berarti saya akan menyusuri satu per satu stasiun yang dipenuhi kenangan: Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Madiun, sampai pada akhirnya mencapai Bojonegoron, di mana kedua orang tuaku sudah menantiku dengan secawan teh tubruk dan hidangan kesukaanku, yaitu ketupat tahu.
Stasiun Senen: Pesta Miniatur Indonesia
Pada hari keberangkatan, saya datang lebih cepat ke Stasiun Pasar Senen. Disana suasana terlihat seperti sebuah pasar malam daripada stasiun biasa. Banyak orang berkumpul, pengumuman bergema kesana-kemari, anak-anak bermain bebas, dan bagasi digeret kesini kemari. Hal ini mencerminkan Indonesia secara mini — mulai dari cara berpakain sampai dialek mereka. Terdapat beberapa individu yang memiliki aksen kuat ala Medan, para wanita lanjut usia asal Jawa Timur sedang asik bertukar cerita menggunakan Bahasa campuran, serta ada juga pria-pria yang mengenakan blangkon dan batik tradisional.
Walaupun bising, justru membuatku merasa hangat. Ini merupakan gambaran mudik yang sebenarnya: dipadati orang, berisik, dan diisi dengan kerinduan.
Di dalam Kereta: Cerita 11 Jam tanpa Adegan Televisi
Saat baru saja naik kereta, saya segera merasakan kombinasi wangi dari nasi bungkus, minyak kayu putih, serta keringat. Namun jangan tertipu oleh baunya; disinilah letak keseruan perjalanan. Saya memilih tempat duduk di samping jendela, dan bersebelahan dengan seorang ibu muda bersama kedua buah hatinya. Anak pertamanya penasaran banyak bertanya, “Paman, apakah gerbong ini dapat melaju tanpa pengemudi?” Di saat yang sama, sang adik asyik bernyanyi lagu ‘Balonku Ada Lima’ namun dengan nada yang cukup unik.
Di sisi lain saya, beberapa mahasiswa sedang antusias menceritakan tentang topik tesis mereka serta impian di masa depan. Di bagian belakang saya, sepasang suami istri tengah asyik membicarakan mengenai pilihan nama untuk calon anak mereka yang konon kabarnya akan lahir tak lama lagi. Sementara itu, saya berniat untuk menidurlan diri namun justru tidak bisa menghindari rasa penasarannya sehingga ikut memperhatikan dan tersenyum sendirian. Rupanya, kereta api bukan cuma alat tranportasi, tetapi juga menjadi arena bagi orang-orang untuk saling bertukar kisah dan perasaan satu sama lain.
Di tengah malam, sementara kereta melintasi Yogyakarta, salah satu penumpang mendadak merasa cemas lantaran kehilangan dompetnya. Seluruh bagian gerbong pun terpengaruh oleh situasi tersebut. Namun, usai dilakukan pencarian, diketemukan bahwa barang berharga itu tersisa di kamar mandi. Kehebohan ini bahkan lebih besar daripada pertunjukkan penyelidikan televisi; namun begitu ditemukannya lagi, semua orang akhirnya bisa bernafas lega. Sekali lagi, sebuah peristiwa manusia yang tidak dituliskan tetapi akan selalu mengena dalam ingatan.
Edukasi dari Sebuah Perjalanan
Dari petualangan kali ini, ada beberapa poin yang saya temukan sangat signifikan. Yang pertama adalah bahwa melakukan pulang kampung menggunakan kereta tidak hanya tentang seberapa cepat atau mewahnya perjalanannya, tetapi lebih kepada bagaimana merasakan rasa persaudaraan serta mengumpulkan banyak cerita. Di tengah ruang duduk yang terbatas dan kurangnya fasilitas hiburan modern, malahan membuat kita menjadi semakin pandai dalam berkomunikasi, menunjukkan kesabaran, serta dapat lebih peka terhadap pemahaman akan orang di sekitar kita.
Kedua, hal ini berkaitan dengan efisiensi. Berdasarkan aspek lingkungan, kereta api jauh lebih baik dibandingkan kendaraan pribadi. Coba bayangkan, satu kereta dapat membawa ratusan penumpang dengan polusi yang lebih sedikit. Selain itu, tarif tiketnya pun cukup terjangkau, khususnya untuk mahasiswa ataupun rombongan keluarga besar.
Ketiga, kereta mengajar kita tentang disiplin dan rapi. Jadwal keberangkatan serta kedatangan biasanya akurat, dan para penumpang perlu berbaris sesuai urutan seat mereka. Hal ini bertolak belakang dengan situasi di terminal bis yang cenderung kacau dan dipenuhi ketidaktentuan.
Tetapi, tentunya tidak selalu menyenangkan. Kadang-kadang toilet kurang bersih seperti yang diharapkan, dan sistem pendingin dapat mengalami masalah pada siang hari. Namun, bukankah hal itu juga terjadi dalam kehidupan? Semua tidak pernah sempurna, dan malahan disinilah kita belajar.
Sampai ke Rumah: Kehilangan yang Teralihkan
Saat kereta berhenti di Stasiun Bojonegoro, pandangan saya segera tertuju pada sosok sang ibu. Di kejauhan, dia mengayunkan tangannya sembari senyum merekah, membawa tas plastik yang penuh dengan buah-buahan sebagai oleh-oleh bagi saya. Kelelahan, rasa sakit tubuh, serta kantuk akibat perjalanan panjang langsung hilang begitu saja. Seluruh pengalaman melewati 11 jam dalam gerbong kereta—baik tawa maupun air mata—terbayarkan saat merengkuh hangatnya pelukan dari orangtua.
Kesimpulan: Tidak Salingkereta yang Perlu Dipertanyakan, Pertanyakilah Motivasi Pulangnya Anda
Pada zaman yang semakin serba instan ini, banyak individu lebih memilih naik pesawat atau menggunakan kendaraan pribadi karena alasan kenyamanannya. Namun, saya yakin bahwa mudik sesungguhnya bukan hanya soal berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ini merupakan sebuah perjalanan batin menuju rumah, dan kereta api menjadi salah satu sarana transportasi yang sangat tulus untuk mencapainya. Kereta api tak menjamin kemewahan, tetapi membawa rasa hangat. Tak menawarkan kecepatan, namun memberikan kesempatan untuk merenungi hal-hal penting dalam hidup.
Jadi, di tahun mendatang, jika Anda berencana untuk pulang kampung dengan pengalaman lebih dari sekedar hingga ke rumah, coba gunakan moda transportasi kereta api. Bisa jadi, Anda akan menemukan petualangan pribadi Anda sendiri — sesuatu yang tidak dapat dibeli, tetapi hanya bisa dirasakan.
Apakah Anda memiliki kisah perjalanan pulang yang menarik untuk diceritakan tahun ini?