- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
government, government regulations, laws and regulations, news, politics and governmentgovernment, government regulations, laws and regulations, news, politics and government - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
9
lowongankerja.asia
,
Jakarta
– Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menasihati masyarakat yang mempunyai
sertifikat tanah
fisik terbitan tahun 1961 hingga 1997 untuk segera memperbarui sertifikatnya ke bentuk elektronik atau Sertipikat-el. Imbauan ini disampaikan menyusul tingginya potensi penyerobotan lahan akibat ketidakjelasan batas kepemilikan dalam sertifikat lama tersebut.
Pada pertemuan dengan jurnalis yang terjadi pada 19 Maret 2025, Rabu,
Nusron Wahid
menggarisbawahi bahwa sebagian besar sertifikat lahan dari tahun 1961 hingga 1997 belum disertai dengan peta kadastral, yaitu gambaran detail tentang tepi dan posisi tanah. Kondisi tersebut menyulitkan untuk mengetahui di mana tepatnya lokasi tanah, termasuk bagi orang yang memiliki hak atas tanah itu sendiri.
“Ada sertifikatnya, di belakangnya tidak ada peta kadastral sehingga itu potensi tidak diketahui dimana lokasinya dan potensi bisa diserobot orang,” kata Nusron dalam diskusi bersama awak media di Jakarta, Rabu, 19 Maret 2025, yang dikutip Antara.
Meminimalisir Perselisihan dan Penggelapan
Persoalan lahan di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jabodetabek, sering kali disertai konflik akibat adanya kemelutan dalam kepemilikan hak atas tanah. Menurut Nusron, hal tersebut terjadi lantaran banyak warga kota kurang memahami asal-usul dari properti yang mereka miliki, sedangkan pada masyarakat pedesaan cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang sejarah serta batas-batas tanah.
Digitalisasi sertifikat tanah diharapkan bisa menjadi jawaban jangka panjang untuk menghindari perselisihan hak milik dan sekaligus meminimalisir risiko penipuan yang umumnya terjadi pada dokumen berbentuk kertas.
Selain itu, Nusron menilai sertifikat konvensional atau fisik justru lebih rentan dipalsukan mafia tanah yang bekerja sama dengan pegawai pemerintah. Dia juga menyebut orang-orang yang tidak setuju dengan digitalisasi ini adalah orang yang anti-transfomasi. “Inginnya Indonesia tetap seperti jadul kayak dulu. Gampang diakalin,” kata Nusron saat ditemui di Jakarta Barat, Senin, 31 Maret 2025.
“Kayak dulu, waktu mau daftar ke rumah sakit, ketika masih jadul kan pakai orang dalam, cepat jadinya. Tapi dengan adanya digitalisasi kan enggak mungkin, siapa cepat dia yang duluan masuk,” kata Nusron memberikan perumpamaan.
Dia mengatakan bahwa jumlah sertifikat KW-456 sekarang telah mencakup 13,8 juta lahan pertanian, dengan berbagai konflik kepemilikan sering muncul di wilayah Jabodetabek. Ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan penduduk tentang batas serta sejarah tanah mereka.
Mengatasi Ketakutan Masyarakat Mengenai Digitalkan
Namun begitu, banyak juga orang dalam masyarakat yang meragukan keberadaan sistem digital tersebut.
sertifikat elektronik
Karena cemas tentang kerahasiaan informasi, Nusron menegaskan bahwa platform elektronik Badan Pertanahan Nasional sudah diinstal dengan lapisan perlindungan tambahan, seperti penghalang api yang dirancang untuk menghentikan serangan maya.
“Semua sistem sudah ada
firewall system
-nya. Termasuk terhadap
cyber attack
“, tentu saja ada,” katanya.
Dia juga menggarisbawahi bahwa digitalisasi sebenarnya meningkatkan keamanan dan efisiensi. Misalnya saja, sertifikat digital tak kan terkena kerusakan karena bencana semacam banjir dan sulit untuk diutak-atik.
Tujuan 50 Persen Peningkatan Digitalisasi Tahun ini
Proyek perubahan digital ini direncanakan rampung dalam kurun waktu lima tahun dan bertujuan mencapai setidaknya 50% dari seluruh 124 juta lahan di negara ini pada tahun ini. Aturan ini disusun berdasarkan Permendagri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021, yang menetapkan bagaimana implementasi transformasi digital dalam manajemen pertanahan secara nasional.
Walaupun telah ditandatangani hampir empat tahun yang lalu, sampai saat ini masih banyak warga yang enggan mendukung keputusan tersebut. Mereka khawatirkan ketidakmumpukan sistem pengamanan data pemerintah, sehingga proses digitalisasi sertifikat dapat membuka peluang baru bagi tindak penipuan, bahkan ada kemungkinan mengalami nasib serupa seperti program e-KTP.
Dede Leni Mardianti
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.