Kopi dan Detik yang Berharga: Kisah di Balik Setiap Gelas

Kopi dan Detik yang Berharga: Kisah di Balik Setiap Gelas

Perasaan mengantuk tiba-tiba datang sementara inspirasi untuk menulis membutuhkan respons. Saat asap kopi menerpa hati, saya pun bangkit ke arah kedai kuno yang sudah melepaskan aroma kopi sampai telinga bergoyang. Kopi dan Minset: Pelopor Inspirasi Tulisan

Kopi sudah mempengaruhi cara pandang, membuat minuman yang bisa memberikan semangat untuk menulis dan menciptakan karya. Untuk para penulis, itu menjadi teman setia yang memberikan dorongan agar kata-kata dapat lahir dengan mudah. Laptop dinyalakan, jendela di halaman digital dibuka, lalu jarinya mulai bergerak lancar mengetik kata, kalimat, hingga paragraf. Dia meracau tentang kesendirian, meledakkan ketidaksenangan, mengeluarkan emosi marah, dan akhirnya mendalam dalam pemikiran reflektif.

Terkadang seorang penulis perlu mengintip, memandangi panorama yang terhampar di luar, baik itu lewat jendela atau loft tinggi guna merasakan hembusan udara segarnya.

Beragam fenomena muncul secara spontan pada layar digital mereka. Beberapa berasal dari imajinasi didorong oleh pengalaman pribadi, sementara yang lain datang dari informasi berita di media sosial atau TV. Semua ini dipenuhi dengan keinginan untuk dianalisir, dieksplorasi sampai akhirnya menjadi cerita populer yang diminati ratusan ribu hingga jutaan orang.

Akan tetapi, terdapat kalangan pembicaraan yang sungguh sunyi dan kurang diperhatikan akibat kompleksitas persoalan yang dihadirkan. Pikiran tidak dapat memahami baris-baris pemikiran filosofis tersebut dengan mudah. Namun, saat membaca kutipan dari seorang penulis senior (Buya Hamka) tentang bagaimana menyerahkan karya pada alur takdir atau aturan-Nya, suatu pencerahan tiba-tiba hadir. Biarkan sastra mengalir seperti kehendak semesta.

Kopi bersama pemikiran sang penulis menghasilkan karya sastra ataupun tulisan lainnya yang dapat menyampaikan suatu pengalaman emosional, menjadi sebuah petualangan dalam membaca, serta sejumput pertimbangan mendalam. Ironinya di negara kita sendiri, banyak penyair dan penulis yang setelah berjuang keras untuk meneliti ternyata dipaksa berkutat pada realita bahwa mereka tak akan cukup hanya bergantung pada pendapatan dari hasil karier seni mereka.

Tiada apresiasi untuk penulis sastra yang sudah menyulut khayalan, meningkatkan selera keindahan, dan menyingkap wawasan peradaban. Kini dia hanya selembar koran usang yang pada akhirnya berfungsi sebagai pembungkus makanan di gerai-gerai pinggir jalan.

Daftar tulisan-tulisannya tak pernah dihirup, tetapi semata-mata menjadi objek statis yang menimbulkan ilusi kebersihan, mengambil alih posisi plastik, atau dipersepsikan sebagaimana wadah kelas ekonomi rendahan.

Bisa jadi para pedagang tersebut membeli surat kabar atau kertas dalam jumlah besar per kilonya. Kemudian, mereka disimpan di gudang selama beberapa waktu dan dipotong-potong menjadi tas-tas kecil agar lebih praktis dibawa. Meskipun demikian, plastik masih digunakan untuk membantu menggantung tas pada stang motor, atau dilekatkan dengan penyangga plastik yang dirancang khusus untuk menahan beban bawaan.

Jika diubah ke rupiah, hal tersebut tidak memiliki arti karena tidak adanya jumlah spesifik; hanya bertujuan untuk menghindari makanan atau gorengan tersebar kemana-mana. Meskipun demikian, kertas ini berasal dari sebuah perusahaan media ternama yang memberikan harapan kepada para pegawainya dalam mencapai status jelas demi menjalani hidup dengan lebih banyak warna serta tantangan.

Menurut sahabat yang terkenal suka bercanda: “Benar sekali, demikianlah kehidupan berjalan. Jika kehidupan dipenuhi tantangan serta kadang membuat kita meneteskan air mata dari rasa sakit, mari lewati saja dengan harapan. Selalu ada jalan menuju kesuksesan dan kesejahteraan, asalkan kita tetap bekerja keras.”

Kopi, Sastra dan Cinta

Bagaimana sastra dapat membangkitkan semangat keluarga ketika banyak orang di negara kita cenderung meremehkan persoalan, mengejar hasil secara instan tanpa bersedia melewati tahapan kreatif yang panjang? Banyak pihak lebih bergantung pada konten viral sementara perlindungan hak cipta untuk karya-karyanya sering kali dikesampingkan. Hal tersebut mencetuskan sikap pesimisme sehingga mereka hanya bertumpu pada keberuntungan saja.

Bagaimana dapat fokus pada penelitian dan berbagi informasi sementara rasa lapar terus-menerus datang saat mencoba menyusun kata-kata dalam sebuah puisi? Perasaan cemas pun timbul, memohon adanya rejeki turun dari langit atau harapan mendapat kesejahteraan singkat dari mereka yang murah hati.

Sastra terus menghasilkan pemikiran cemerlang, namun ironisnya banyak orang telah meremehkan budaya membaca buku. Sebaliknya mereka lebih tertarik pada berita gossip dan konten populer yang menyebar luas tetapi hanya menciptakan ketidaktahuan, sebab pembicaraannya seringkali fokus pada hal-hal ganjil dalam dunia politik yang dipenuhi oleh tipu muslihat. Sungguh sia-sia jika kopi di depan kita cuma akan dibuang begitu saja sambil mendiskusikan masalah-masalah yang membangkitkan emosi tanpa menyumbangkan ide-ide baru untuk karya-karya sastra masa depan yang bernilai.

Kopi menciptakan cinta dan cinta menghasilkan kepedulian serta perhatian, oleh karena itu cintai kopi agar dapat memupuk kesadaran sosial dan kelembutan hati, jangan gunakan hal ini sebagai alasan untuk merendahkan atau berkomentar sinis.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *