- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, government, government regulations, news, politicsbusiness, government, government regulations, news, politics - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
7
Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari, menyokong tindakan pemerintah yang memutuskan penundaan aktivitas beberapa perusahaan pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Bagian Selatan, serupa dengan apa yang telah diterapkan pada PT Gag Nikel, sebuah cabang dari PT Antam Tbk.
“Pastinya saya menghargai tindakan cepat pemerintah yang telah menangguhkan kegiatan PT Gag Nikel, walaupun hanya bersifat sementara,” ujar Ratna melalui pernyataan tertulis pada hari Minggu (8/6).
Dia juga mengomentari tiga perusahaan lain yang merusak ekosistem di Raja Ampat dan seharusnya mencabut izin mereka.
Berikut ini adalah 3 perusahaan tambahan yang dicurigai terlibat dalam pelanggaran di kawasan Raja Ampat: PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Dia menyebutkan bahwa PT ASP menggelar aktivitas penambangan di Kepulauan Manuran yang mencakup area sebesar 746 hektare, tanpa adanya sistem manajemen lingkungan atau proses pengolahan cairan buangan.
KLH telah menyampaikan hasil pemantauan yang mencatat adanya kolam.
settling pond
Runtuh karena hujan lebat deras. Drone menunjukkan pantai menjadi kotor dan berkerut akibat endapan sedimen. Hal ini yang menghancurkan Raja Ampat,” ujar Ratna.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), yang terkenal dengan penambangan nikel di luar izin mereka sebanyak 5.922 hektar, juga menjadi perhatian.
Namun, permasalahan dimulai pada tahun 2024 ketika penambangan biji nikel dilakukan dengan area pertambangan mencapai 89,29 hektare. Tambang tersebut berada di luar batas izin lingkungan serta melebihi kawasan PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) sebesar 5 hectare di Pulau Kawe dan sudah menyebabkan sedimentasi hingga ke daerah tepian pantai termasuk akar dari vegetasi mangrove,” jelas Ratna.
Setelah itu ada PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), kata Ratna. Menurut penjelasannya, perusahaan ini memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang meliputi area seluas 2.194 hektare, mencakup Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele di Distrik Waigeo Barat dari Kepulauan tersebut.
Namun dalam dokumen KLH, perusahaan PT MRP tersebut ternyata tak mempunyai PPKH. Justru mereka telah melakukan pengeboran pada tanggal 9 Mei 2025 di kawasan Pulau Batang Pele, kabupaten Raja Ampat, menggunakan sepuluh buah mesin bor coring guna mengumpulkan contoh sampel coring,” jelas Ratna.
Oleh sebab itu, dia mendorong pihak berwenang untuk menghapuskan lisensi dari ketiga bisnis tersebut lantaran penambangan nikel di luar batas yang ditentukan oleh izin operasi mereka.
“Tetapi untuk perusahaan-perusahaan lain, harap juga diberhentikan, apalagi seharusnya izin mereka mencabut berdasarkan laporan dari KLH,” ujarnya.
Kata Kementerian ESDM
Saat ini, Kementerian ESDM menggaransi bahwa semua operasional tambang di Raja Ampat dipantau dengan cermat dan jujur. Pantuan tersebut meliputi segi legitimasi, perlindungan alam, serta kesesuaian dengan zona pelestarian dan hutan pelindung. Penilaian pun dikerjakan sebagaimana Peraturan Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang mensyaratkan reklamasi harus dibuat sambil memperhitungkan faedah teknikal, lingkungan, dan sosial.
Kementerian ESDM sudah mengirimkan regu pengawas tambang ke daerah Raja Ampat guna melaksanakan penilaian teknikal atas semua Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Laporan hasil pemeriksaan ini nantinya bakal jadi landasan bagi pembentukan regulasi serta putusan akhir oleh Menteri ESDM. Pihak pemerintahan menyatakan bahwasanya walaupun setiap firma pertambangan sebelumnya sudah mendapatkan persetujuan formal, proses audit tetap harus diteruskan dalam waktu yang panjang agar bisa memelihara harmoni antara pelestarian alam dengan aktivitas bisnis.