- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
marriage, relationships, religion, social issues, societymarriage, relationships, religion, social issues, society - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
5
Warta Bulukumba
– Di sebuah dusun terpencil pada waktu matahari mulai tenggelam, seorang lelaki lanjut usia beranjak pasti menuju kediaman jandanya yang sudah lama dipuja hatinya. Tak disebabkan oleh penampilannya, juga tidak atas dasar hartawan atau populer. Melainkan gara-gara kekuatan mentalnya. Dia adalah ibunda bagi dua orang anak, bertugas meramu dedaunan tebu untuk mencari nafkah, menempati posisi sang suami yang meninggalkannya dengan terburu-buru tanpa waktunya.
Desa berbisik dan menyebarkan gosip, tetapi lelaki tersebut mengerti: cintanya tidak terletak di masa lalunya si wanita ini, melainkan pada keberaniannya dalam bertahan hidup.
Menurut perspektif Islam, gerak sang pria ini tidak dapat dianggap rendahan. Sebaliknya, dia sedang mengamalkan sunnah nabi yang mulia, yaitu perilaku cinta yang mendapat balasan baik. Dalam iklim sosial yang masih menempatkan cap negatif pada istilah “janda”, Islam muncul untuk meninggikan martabat mereka. Lebih dari hanya menyediakan tempat, tetapi juga memberikan posisi yang bermartabat dalam struktur sosial dan rohani.
Islam dan Janda: Satu Cerita Yang Terabaikan
Islam, sejak diterimanya wahyu pertamanya, tak pernah menganggap janda sebagai individu yang harus didiskriminasi. Nabi Muhammad SAW, teladan terbaik bagi umat manusia, bahkan mencitrakan hal ini melalui perkawinan beliau dengan beberapa wanita yang memiliki status janda. Salah satunya ialah Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya raya yang ternyata menjadi penopang kuat dalam menyebarkan pesan agama pada saat-saat penuh tantangan untuknya.
Perkawinan Nabi Muhammad dengan Khadijah, Ummu Salamah, dan Zainab binti Khuzaimah tidak hanya berdasarkan kasih sayang semata, tetapi juga merupakan wujud konkret dari rasa empati dan keprihatinan.
Beberapa di antaranya dinikahi karena kehilangan suami dalam jihad atau karena keadaan ekonomi yang sulit. Pernikahan itu dilakukan bukan atas dasar nafsu, tapi karena niat mulia: memberi perlindungan, mendampingi yang lemah, dan mengangkat harkat seorang perempuan.
Literatur hadis: Menyulam keutamaan
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan janda-janda dan kaum fakir mirip dengan seseorang yang berperang dalam jalannya Tuhan. Ia pun seperti orang yang puasa pada waktu siang dan mendirikan salat di tengah malam.” (Riwayat Bukhari nomor 5353 dan Muslim nomor 2982)
Hadis tersebut menggariskan bahwasanya setiap individu yang mendukung serta membantu janda ternyata tak sekadar melakukan kebaikan—tetapi juga tengah berperang demi Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu merupakan sebuah perjuangan sosial yang nilai pahalanya sama besarnya dengan ibadah puasa atau melaksanakan salat pada malam hari. Ia menjalankan suatu tindak mulia tanpa riya’, meski kemungkinan besar hal tersebut belum tentu dikenali oleh banyak orang; namun catatan atas usahanya pasti tersimpan rapi di surga.
Melindungi kehormatan, menjaga marwah
Menikah dengan seorang janda tidak sekadar menggabungkan dua jiwa. Ini juga berarti melindungi martabatnya. Di lingkungan kita, janda sering menjadi target cacian, tuduhan tak beralasan, bahkan perlakuan buruk. Oleh karena itu, dengan mempersunting mereka, kita turut bertindak sebagai pelindung terhadap ketidakadilan sosial yang dialami oleh para janda tersebut.
Karyaan klasik semisal Ihya Ulumiddin karangan Imam Al-Ghazali turut menggariskan kepentingannya merawat martabat wanita yang ditinggalkan oleh pasangannya. Di bahagian Etika Sosialisasi dan Perkahwinan, Al-Ghazali mendakwa bahawa kebesaran seseorang lelaki boleh dinilai daripada cara dia mentadbir dan membaktikan diri kepada wanitanya apabila berhadapan dengan cabaran hidup, tidak sahaja pada masa mereka sihat atau sempurna.
Menyentuh yatim, menyentuh surga
Widow seringkali mengajak serta anak-anak mereka dalam kesehariannya. Apabila seorang pria menikahi widow, dia bukan saja menikahi wanita tersebut, namun juga harus siap mencintai dan merawat anak-anaknya sebagai tanggung jawab bersama.
Rasulullah SAW bersabda:
“Posisiku dan mereka yang mengasuh anak yatim di surga seperti ini.” (Dia menyatukan jarinya yang mana?). (HR. Bukhari no. 5304)
Hadis ini merupakan janji langsung dari Rasulullah SAW: orang yang merawat anak yatim akan ditempatkan bersama-Nya di surga. Oleh karena itu, saat seorang pria memutuskan untuk menikahi janda dan mencintai anak-anaknya, dia secara tidak langsung sedang membentuk jejak langkah menuju surga seperti yang telah dijanjikan.
Kematangan emosional, buah dari pengalaman
Berbeda dari perempuan yang belum pernah menikah, janda umumnya telah memiliki pengalaman dalam kehidupan rumah tangga. Mereka lebih matang, tahu bagaimana menghadapi konflik, dan sering kali lebih siap dalam menjalani kehidupan berumah tangga secara realistis. Mereka tidak hanya mencari cinta, tapi juga stabilitas dan kedamaian.
Ini diperkuat oleh teori-teori keluarga dan hubungan sosial sebagaimana dijelaskan dalam buku The Psychology of Marriage karya Marion Solomon, dimana tingkat kecerdasan emosi merupakan elemen penting untuk kesinambungan perkawinan.
Kesimpulan: Satu Pilihan Yang Mulia
Mengawini seorang janda tidak harus menjadi opsi terakhir, namun bisa jadi salah satu pilihan terbaik yang diberkahi oleh agama Islam. Ini tak hanya merupakan suatu bentuk ibadah, tapi juga mencerminkan rasa belas kasihan serta empati sosial yang mendalam.
Di era di mana orang-orang semakin suka mengukur nilai berdasarkan label dan status, agama Islam hadir dengan pesan keseimbangan: cinta, belas kasihan, serta kehormatan tak pernah ditetapkan oleh sejarah seseorang.
Dan seperti langkah si pria di awal kisah tadi, barangkali ada banyak pria yang sedang menimbang hal yang sama—menikahi janda dengan niat yang tulus. Jika niatnya adalah ibadah dan perlindungan, maka langit pun akan bersaksi: itu adalah pilihan yang mulia.***