Keistimewaan Coelacanth: Ikan Legendaris Purba dari Laut Maluku Utara

Keistimewaan Coelacanth: Ikan Legendaris Purba dari Laut Maluku Utara

  • Diposting oleh:
  • Diposting pada:
  • Kategori:
    fish, history, indonesia, newsfish, history, indonesia, news
  • Sistem:
    Tidak diketahui
  • Harga:
    USD 0
  • Dilihat:
    5


TERNATE,

– Belakangan ini, dunia digegerkan oleh pelaporkan tentang temuan sebuah ikan prasejarah di perairan Maluku Utara yang disebut sebagai coelacanth (Latimeria menadoensis). Sebenarnya, spesies ikan langka tersebut diprediksi sudah musnah bersama zaman dinosaurus.

Eksplorasi yang bertujuan menemukan ikan tersebut akan dijalankan pada bulan Oktober tahun 2024. Temuan mengenai ikan prasejarah itu pun sudah dipublikasikan ke dalam jurnal saintifik dengan judul “First Record of a Living Coelacanth from North Maluku, Indonesia”, terbit tanggal 23 April 2025.

Para peneliti dari Universitas Pattimura (Unpatti) di Ambon, Maluku, bekerja sama dengan Underwater Scientific Exploration for Education (UNSEEN), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, serta Udayana telah sukses merekam dokumentasi tentang satu eksemplar ikan coelacanth dewasa yang masih aktif dalam habitatnya.

Inilah gambar dan rekaman dalam-situs pertama yang dihasilkan langselves sendiri oleh seorang penyelam.

Seorang peneliti dari Universitas Khairun Ternate bernama M. Janib Achmad, yang turut serta dalam ekspedisi tersebut, menyebutkan bahwa ikan ini diyakini telah punah selama masa Kapur sekitar 66 juta tahun silam, hingga akhirnya berhasil ditemukan kembali.

Fosil coelacanth termuda yang pernah tercatat memiliki umur lebih dari 410 juta tahun. Spesies ikan kuno ini muncul kembali dan berhasil ditemukan pada tahun 1938 di kepulaun Komoro (Samudera Hindia).

Ikan ini dikenali mempunyai dua spesies yang masih bertahan sampai sekarang, yakni Latimeria chalumnae dan L. menadoensis.

Ikan koelakant merupakan jenis ikan besar, tebal, dengan sirip seperti kuping yang mampu berkembang hingga lebih dari 5 meter dalam panjangnya serta mencapai bobot kira-kira 90 kilogram (atau 200 pon).

Sirip ikan koalakant berbeda dari kebanyakan ikan lainnya, sebab mempunyai delapan sirip. Terdiri atas dua sirip punggung, dua sirip dada, dua sirip perut, satu sirip dubur, serta satu sirip ekor.

Ekornya nyaris memiliki ukuran yang sama besarnya dan dipisahkan oleh satu deret sirip yang membentuk lobus.

Menurut dia, orang jarang mengenal jenis ikan ini sebab menurut mereka ikan tersebut tidak cocok untuk dimakan.

“Daging coelacanth kaya akan lemak, urea, ester lilin, serta berbagai zat kimia lainnya yang menjadikannya memiliki rasa yang sangat tidak sedap, sulit untuk dicerna, dan bisa menimbulkan diare. Karena itu, ikan tersebut jarang menjadi hasil tangkapan insidental para nelayan,” jelas Profesor Senior dalam bidang Kelautan dan Perikanan dari Universitas Khairun Ternate pada hari Kamis, 29 Mei 2025.

Selanjutnya kata Janib, sekarang para nelayan telah memahami tentang keberadaan ikan purba. Karena alasan tersebut, di berbagai daerah di Indonesia, spesies ikan ini pun mulai dieksplorasi untuk tujuan komersial.

Dia mengatakan bahwa jumlah total ikan coelacanth di planet ini hanyalah kira-kira 500 ekor, dengan angka tersebut sedang dalam keadaan penurunan saat ini.

Akibatnya, spesies ikan yang jarang terlihat ini menjadi incaran beberapa individu untuk dijadikan hewan peliharaan, atau dikeringkan dan dipajang sebagai koleksi.

“Tetapi, sampai saat ini kami tidak menerima informasi tentang penjualan ikan tersebut di Maluku Utara,” ungkap Profesor Janib.

Walaupun panjang ikan ini dapat menggapai 1-5 meter, coelacanth tidak termasuk pemangsa utama di lingkungan alaminya. Hewan air ini bertahan di lautan jauh dengan kedalaman lebih dari 80-155 meter serta beradaptasi pada temperatur sekitar 14-18 derajat Celsius.

Terjadi kadang-kadang bahwa ikan tersebut meningkat ke permukaan di waktu malam untuk mengonsumsi ikan bentik kecil serta bermacam-macam cephalopoda.

Mereka merupakan jenis ikan “pemakan pasif” yang berenang pelan mengikuti aliran air sambil menggunakan minimal energi aktif, serta menelan makanan apapun yang ditemuinya sepanjang jalan.

Ikan jenis ini bersifat piscivora dan nokturnal, artinya mereka aktif di malam hari sementara pada siang hari digunakan untuk istirahat.

Tempat tinggalnya terletak di area-area bertekstur karang dan mempunyai lobang besar mirip gua.

Kehadiran ikan ini pun dapat menunjukkan kualitas air di wilayah tersebut dengan baik.

“Ikan ini merupakan jenis ikan demersal dengan migrasi terbatas. Oleh karena itu, jika lingkungan hidupnya terancam, kelangsungannya tentu akan ikut terpengaruh. Coelacanth yang ditemui di perairan Maluku Utara berada pada ketinggian 144 meter dari permukaan laut,” jelas Janib.

Janib menceritakan pada awal ekspedisinya, beberapa peneliti asing berkunjung ke Maluku Utara.

“Saat mereka mengatakan berencana mencari ikan besar untuk penelitian, saya menjawab bahwa ada. Dalam pikiran saya, Roto adalah ikan yang mereka maksud. Sebab itulah mereka melancarkan ekspedisi ke tempat ini dan berhasil menemukannya,” ujarnya.

Selanjutnya Janib, legenda tentang ikan tersebut telah lama berkembang dalam masyarakat setempat dan disebut sebagai Roto.

Menjadi ketakutan bagi para ibu sebagai cara mengancam anak-anak agar tidak terus menerus berenang di pantai.

Mengintimidasi anak-anak jika mereka menghabiskan waktu terlalu lama bermain air di pantai, memastikan mereka sudah kembali sebelum waktu Maghrib, dan mencegah mereka untuk mandi di laut pada siang hari.

Menurut Janib, ikan koelakant hampir sama dengan ikan kerapu macan. Oleh karena itu, seringkali masyarakat setempat mengenalnya sebagai ikan goropa yang berukuran besar.

Penampilannya identik, tetapi perbedaannya adalah coelacanth seolah memiliki kaki dan tangan. Saat berenang, coelacanth tampak seperti sedang terbang.

Dia menyebutkan bahwa pada mulanya hal itu hanyalah legenda. Tetapi sekarang telah terbuktikan tidak lagi sekadar cerita rakyat. Faktanya, berdasarkan observasi langsung, ikan tersebut benar-benar hidup di laut bagian utara Maluku.

“Kemungkinan besar dahulu, kira-kira puluh hingga ratus tahun yang lampau, ikan ini sempat muncul tetapi tak pernah terlihat lagi sejak saat itu. Maka dari itu, hal tersebut berubah menjadi sebuah legenda hingga hari ini,” jelasnya.

Janib menyebutkan bahwa ikan coelacanth yang ditemukan di perairan Maluku Utara sekitar panjangnya 1,2 meter dengan bobot mencapai 29 kilogram.

Ikan ini sebelumnya telah tercatat ada di Sulawesi Utara, Papua, serta berbagai daerah pesisir di Afrika, sebelum akhirnya ditemukan di perairan Maluku Utara.

Disebutkan bahwa perairan Maluku Utara merupakan area transisi, sehingga apapun yang dapat ditemukan di Manado maupun di Papua pasti juga akan ditemui di Maluku Utara.

Hanya tetapi, ikan coelacanth yang ditemukan di Indonesia merupakan tipe L. menadoensis, yang berbeda dari spesies yang terdapat di Afrika Selatan.

Di Indonesia, ditandai oleh titik-titik putih. Sedangkan coelacanth (Latimeria chalumnae) yang ada di Afrika Selatan memiliki warna biru, meskipun morfologi keduanya mirip.

Dia menyebutkan bahwa rincian penemuan ikan tersebut terdapat di beberapa lokasi di Maluku Utara. Namun, hingga saat ini, tempat-teplok tersebut masih dirahasiakan demi alasan pelestarian.

Selain itu, ikan coelacanth pertama kali ditemukan di Indonesia pada tanggal 28 September 1997 oleh Arnaz dan Mark V. Erdmann di Pasar Lama, Manado, Sulawesi Utara.

“Ketika mereka berbulan madu di Manado, mereka melihat ikan tersebut dipasarkan di pasar tradisional. Setelah itu, mereka merekamnya dan mengunggah gambar ke dunia maya. Peneliti-peneliti pun percaya bahwa spesies ini adalah coelacanth, sama seperti yang pernah ditemukan di Comoros, Africa Selatan,” jelasnya.

Menurutnya, Habitat ikan tersebut tersebar luas di Indonesia, khususnya di Maluku Utara yang dikenal akan kekayaan hayati nya yang melimpah.

Oleh karena itu, mungkin saja nantinya akan ada penemuan spesies atau flora dan fauna endemik yang baru. Dia menginginkan agar ekosistem di Maluku Utara tetap dilestarikan dengan baik.

Maka hal ini dapat menjadikan penelitian global dan berpotensi mengembangkan pariwisata bahari di Maluku Utara.

Tak ada yang menduga bisa menjumpai (ikan purba) di wilayah Maluku Utara. Oleh karena itu, upaya konservasi skala besar menjadi penting bagi pihak berwenang. Selain itu, kesadaran publik perlu ditingkatkan melalui pendidikan untuk memupuk rasa hormat terhadap spesies tersebut. Salah satu hambatan dalam proses konservasi adalah penurunan jumlah populasi ikan ini, saat ini diprediksi hanya tersisa sekitar 500 individu di seluruh dunia. Jika para nelayan berhasil menangkap jenis ikan langka ini, mereka wajib melepaskannya kembali ke lautan dan tak boleh membawanya pulang,” tegas sang pejabat.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *