- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
health, health risks, illness, medical conditions and diseases, newshealth, health risks, illness, medical conditions and diseases, news - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
6
Angka kasus kanker paru-paru pada mereka yang bukan perokok semakin meningkat.
Tidak seperti kanker paru-paru yang berhubungan secara langsung dengan kebiasaan merokok di mana kenaikannya tidak begitu mencolok.
Peristiwa pada kasus kanker paru-paru tersebut memunculkan banyak tanya tentang asal-usul dari hal itu.
Mengapa jumlah pasien dengan kanker paru-paru pada orang yang tidak merokok semakin bertambah?
Alasan mengapa jumlah penderita kanker paru-paru pada perokoh bukan meningkat
Sebagaimana diberitakan
BBC
, Jumat (6/6/2025), seorang pasien internasional bernama Martha (59) mulai meragukan kesehatannya saat batuknya berbeda dan dahaknya makin pekat.
Pada awalnya, dokter mengira kondisi tersebut disebabkan oleh peradangan paru-paru kronis yang dideritanya. Akan tetapi, gambaran darihasil rontrgen memperlihatkan adanya bayangan yang mencurigakan pada paru-parurnya.
Setelah serangkaian pemeriksaan, Martha didiagnosis menderita kanker paru-paru stadium IIIA, dengan tumor yang telah menyebar ke kelenjar getah bening.
Dia menyatakan bahwa dia hanya merokok secara sporadis pada kesempatan sosial dan tidak pernah menganggap dirinya seorang perokok.
Kenaikan cepat dalam masalah pernikahan dapat menambah peluang terkena kanker.
Dengan peningkatan jumlah kasus kanker paru-paru di kalangan non-perokok, pakar medis menggarisbawahi kebutuhan untuk membuat taktik preventif tertentu bagi mereka.
Beberapa faktor risiko telah mulai dikenali. Studi mengungkapkan bahwa eksposur terhadap gas radon serta asap tembakau dalam area sekeliling dapat memperbesar kemungkinan terserang kanker, bahkan bagi mereka yang tidak merokok secara langsung.
Di samping itu, asap yang berasal dari proses memasak atau pemakaian kompor yang menggunakan bahanbakar kayu serta arang batu bara, khususnya dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang tidak baik, juga dapat membahayakan.
Wanita dikatakan lebih rawan karena umumnya mereka lebih sering berada di dalam rumah dan terkena langsung jenis polusi tersebut sesuai dengan perannya yang tradisional.
Namun, para peneliti juga menggarisbawahi bahwa pencemaran udara di luar ruangan dapat memberikan kontribusi risiko yang justru lebih tinggi terhadap pemicuan kanker paru-paru.
Polusi udara luar ruangan
Sebenarnya, polusi udara di luar ruangan berada pada urutan kedua sebagai faktor risiko terbesar untuk mengembangkan kanker paru-paru setelah kebiasaan merokok.
Studi mengindikasikan bahwa orang-orang yang bertempat tinggal di daerah berpolusi intensif mempunyai peluang lebih tinggi terkena kematian karena penyakit kanker paru-paru jika dibandingkan dengan mereka yang hidup dalam kondisi lingkungan sejuk dan segar.
Partikel halus dengan ukuran kurang dari 2,5 mikron, kira-kira satu per tiga diameter sehelai rambut manusia, yang sering ditemukan dalam polusi hasil pembakaran kendaraan dan sisa pembakaran bahan fosil, dipercaya memiliki kontribusi signifikan dalam fenomena tersebut.
Menariknya, tingkat partikel PM2.5 yang tinggi juga sangat berhubungan dengan peningkatan risiko kanker paru-paru pada non-perokok, terutama bagi individu yang memiliki genetika tertentu seperti modifikasi dalam Gen EGFR.
Epidermal Growth Factor Receptor
).
Pencemaran mengaktifkan sel paru yang telah memiliki perubahan genetik EGFR
Polusi udara bisa menyebabkan kanker paru-paru pada individu non-perokok dengan mutasi gen EGFR menjadi pusat studi di Institut Francis Crick, London.
William Hill, seorang peneliti pascadoktoral dari Laboratorium Evolusi Kanker dan Ketidakstabilan Genom di lembaga itu, menyatakan bahwa mayoritas orang berpikir karsinogen lingkungan bekerja dengan cara merangsang perubahan pada struktur DNA.
Sebagai contoh, asap rokok dapat menghancurkan materi genetik dan menyebabkan kanker paru-paru.
Akan tetapi, studi terkini mereka di tahun 2023 mengungkapkan bahwa butiran polutan udara halus (PM2.5) berperan secara tak serupa seperti dugaan sebelumnya.
Sebaliknya dari menghasilkan mutasi baru, partikel-partikel tersebut malah merangsang sel-sel paru-paru yang telah memiliki mutasi EGFR tetapi belumaktif, sehingga memulai tahap awal terbentuknya kanker.
Pada percobaan mereka, para ilmuwan mengamati bahwa butiran PM2.5 dihisap oleh makrofag, yaitu sel kekebalan tubuh yang berfungsi menjaga paru-paru agar bebas dari serangan infeksi. Setelah terkena zat pencemar tersebut, makrofag akan membebaskan molekul kimia yang dikenal sebagai sitokin.
Komponen ini kemudiannya memicu sel-sel dengan mutasi EGFR untuk bermultiplikasi.
“Keberadaan polusi udara serta mutasi EGFR keduanya dibutuhkan supaya tumor bisa berkembang,” terangkan Hill.
Dia menyebutkan bahwa dengan mengerti cara kerja PM2.5 terhadap lingkungan mikroskopis di mana sel-sel tersebut bermutations, kita dapat membuka jalan baru untuk mencegah kanker paru-paru.
Sesungguhnya, hubungan yang diduga antara pencemaran udara dan kanker paru-paru tidaklah menjadi sesuatu yang baru.
Pada artikel bersejarah pada tahun 1950 yang menunjukkan hubungan antara merokok dan kanker paru-paru, ilmuwan juga mendiskusikan potensi dampak pencemaran akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Akan tetapi sepanjang bertahun-tahun, pendekatan kesehatan masyarakat cenderung fokus lebih banyak pada pencegahan konsumsi rokok.
Sekarang, setelah 75 tahun, polusi udara pada akhirnya mulai mendapat perhatian yang sungguh-sungguh sebagai penyebab utama masalah.
Jadi penyebab kematian kelima
Dilansir dari
The Guardian
, Kamis (3/2/2025), menurut Organisasi Dunia untuk Riset Kanker (IARC), kanker paru-paru pada mereka yang belum pernah menghisap rokok diproyeksikan sebagai sebab utama kelima terkait kematian karena kanker secara global.
IARC juga menyebutkan bahwa jenis kanker paru-paru yang dialami oleh orang-orang non-perokok cenderung merupakan adenokarsinoma, subkelompok yang saat ini menjadi tipe paling banyak ditemui dalam kasus kanker paru-paru, baik pada laki-laki ataupun perempuan di berbagai penjuru dunia.
Menurut penelitian yang dirilis dalam jurnal Lancet Respiratory Medicine, IARC mengestimasi bahwa kira-kira 200.000 kasus adenokarsinoma terjadi pada tahun 2022 dan hal ini berhubungan erat dengan eksposur terhadap pencemaran udara.
Studi itu mengungkapkan bahwa masalah utamanya adalah peningkatan kasus adenokarsinoma disebabkan oleh pencemaran udara yang paling besar ada di wilayah Asia Timur, khususnya China.
Dalam wawancara dengan
The Guardian
Dr. Freddie Bray, sang penulis utama dari studi ini dan juga kepala cabang surveilans kanker di IARC, menggarisbawahi kebutuhan untuk memperketat pantauan atas perkembangan risiko penyakit kanker paru-paru.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya melakukan riset tambahan untuk menemukan penyebab potensial lainnya, termasuk pencemaran udara, terlebih lagi di daerah yang tidak banyak dikaitkan dengan masalah perokokan dalam kasus kanker paru-paru.
“Seperti yang dialami di Inggris dan Amerika Serikat dengan penurunan jumlah perokok, ternyata persentase kasus kanker paru-paru pada mereka yang belum pernah menghisap rokok malah semakin naik,” kata Bray.
Dia menyatakan pula bahwa peningkatan persentase dari adenokarsinoma akibat pencemaran udara sangat tergantung pada keberhasilan tindakan internasional untuk membatasi penggunaan tembakau serta mengurangi tingkat polusi udara di waktu mendatang.