- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, commerce, economics, online shopping, shoppingbusiness, commerce, economics, online shopping, shopping - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
1
, PURWOKERTO
– Di salah satu sudut lantai dasar blok A Pasar Wage Purwokerto, Priyo (52) terlihat lesu duduk di hadapan lapaknya yang berjualan.
Koleksi pakaian bertumpuk dan gaun yang tergantung masih belum ada pembeli yang berminat untuk mendaftar minatnya atau menyimpannya.
Berjualan baju di pasaran sejak tahun 1993, untuk pertama kalinya ia merasakan penjualannya sungguh menurun dan tidak bersemangat seperti biasanya.
Dia masih menata segalanya dengan rapi, berharap seorang atau dua orang pembeli mungkin akan tiba.
Tetapi, selama tiga hari ini, tidak ada satupun pakaian yang berhasil dijualnya.
Pedagang baju di Pasar Wage Purwokerto semakin tertekan oleh marabaya pembelian daring.
Beberapa orang tetap bertahan dengan tekad kuat walaupun pendapatan sehari-hari tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan pokok.
“Seringkali dalam tiga hari tidak ada penjualan sama sekali. Bahkan paling banyak hanya mendapatkanRp20 ribu per harinya,” katanya pada Sabtu (7/6/2025).
Dia menawarkan beragam jenis pakaian, terdapat yang masih baru dan juga yang sudah pernah dipakai.
Harga dari pakaian-pakaian tersebut beragam, dengan yang termurah adalah baju bekas masih bagus seharga Rp15 ribu tiap potongnya.
Pakaian-pakaian baru dengan harga antara Rp50 ribu sampai Rp100 ribuan.
Pakaian yang diperolehnya berasal dari penjual yang secara langsung mempromosikan produk mereka serta dari pemasok.
Agar dapat mendukung perekonomian keluarga, istrinya menjual makanan melalui internet, seperti nasi goreng, langsung dari dalam rumah.
Belanja online semakin menjadikan pasaran sebagai tantangan tersendiri untuk para penjual.
Kelancaran dalam mengaksesnya, harga yang terjangkau, ditambah dengan kampanye pemasaran intensif melalui media sosial telah menyebabkan pasar tradisional semakin tidak diminati.
“Semua hal kini dilakukan secara daring, semua barang semakin terjangkau. Kami yang berada di pasaran menjadi semakin sepi,” ujar Priyo kepada , sementara memandangi hasil dagangnya.
Situasi yang sama pun dirasakan oleh pedagang lain bernama Lilis (50). Dia telah berjual beli sejak masih menemani kedua orang tuanya di pasar lama.
Lama sebelum Pasar Wage dipindahkan ke tempatnya saat ini pada kurun waktu 1970-an, pasar tersebut ada di lokasi yang berbeda.
Dia menyatakan pendapatannya tak teratur.
“Hanya ada satu atau dua pembeli per hari saja. Sekarang sangat sepi,” katanya dengan kesedihan.
Dia merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan model penjualan online sebagaimana generasi muda.
“Online shop itu gak bisa dilakuin nih, ga paham sama caranya. Usia udah seperti ini,” katanya.
Selanjutnya terdapat pula Yance, seorang pedagang lain yang telah menjual barang sejak era 1980-an dan mengomentari masalah tata letak pedagang yang kini menjadi lebih rumit.
Dia mengatakan bahwa banyak pedagang yang memilih untuk menjual barang dagangan mereka di lorong-lorong pasar karena letaknya yang lebih dekat dengan para pembeli, akibatnya area di dalam pasar menjadi semakin lengkaip.
“Semua orang yang berada di lorong Pasar Wage seharusnya dimasukkan ke area dalam pasar agar para pembeli dapat memasuki tempat tersebut dan melihat barang dagangan kita. Para pedagang dari lorong itu mengatakan bahwa jika mereka dipindahkan ke dalam, penjualan akan menurun,” ungkapnya.
Sebagian pedagang kini mencoba bertahan dengan mengikuti event luar pasar, seperti Sunday Morning di GOR Satria, Purwokerto.
“Sekarang cukup banyak pembelinya disini, lebih baik dari pada menunggu di pasar yang semakin sepi,” kata Yance.
Meski tergerus zaman, masih ada pembeli setia seperti Bu Harni (40) yang sesekali datang membeli pakaian langsung di pasar.
“Kalau lihat langsung kan bisa lihat ukuran, bisa pegang bahannya. Tapi memang ya tetap di online lebih murah,” ujarnya sambil memilih baju.
Menanggapi keluhan pedagang, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, Gatot Eko Purwadi, mengatakan berencana mengadakan pelatihan digitalisasi kepada para pedagang dan paguyuban pasar.
“Anggaran untuk tahun ini tetap diajukan karena bupati kita baru saja memulai jabatan. Namun di masa mendatang, akan ada pelatihan supaya para pedagang tidak seluruhnya tradisional,” jelasnya.
Gatot mengatakan bahwa salah satu jawabannya adalah dengan memberikan administrator media sosial tersendiri untuk setiap pasar.
“Kami mendidik serta memeluk pemuda-pemudi berbakat. Nantinya akan ada pembimbingan, sehingga tiap pasar memiliki paling tidak satu administrator guna membantu para pedagang yang kurang familiar dengan teknologi,” lanjutnya.
Harapannya langkah ini bisa mendukung para pedagang menyesuaikan diri dengan kebiasaan pembelanjaan yang semakin digital.
Akan tetapi, betapa efisien pun rencana tersebut di hadapan persiapan yang kurang memadai dari para pedagang berpengalaman, menjadi suatu tantangan tersendiri.
Cerita lain berasal dari penjual dan juga affiliate di TikTok bernama Rina Oktarina (52). Dia mengatakan bahwa berjualan secara online sungguh memberikan janji yang baik bagi dirinya.
Mengambil pelajaran dari cerita berhasil berjualan secara daring.
Sebelum beralih ke bisnis online, ia merupakan pedagang konvensional.
“Saya sebelumnya menjual pakaian secara online, tetapi kemudian saya berjualan barang bekas untuk acara pernikahan. Setelah itu, saya merasa perkembangan usaha saya tidak maksimal dan sering menggulirkan aplikasi TikTok sambil mempelajari cara berjualan di internet,” ujarnya.
Ia memulai pembelajaran dengan membuat akun dan mengunggah konten di TikTok.
“Dia membuat dua profil, satu untuk penjual dan lainnya untuk marketer yang berfungsi sebagai affiliate,” jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa salah satu kelebihan berjualan secara online adalah adanya pasar di seluruh Indonesia dengan cakupan yang lebih luas.
“Menentukan waktu kerja sendiri tidak seperti membuka sebuah toko. Yang terpenting adalah menjalankannya. Cara ini lebih praktis dan memungkinkan untuk mengatur diri kita sendiri. Paling sedikit satu hari dalam seminggu harus dilakukan, pasti akan ada transaksi. Terutama setelah tanggal 25, biasanya sangat sibuk. Bahkan bisa mencapai pendapatan hingga Rp200 ribu dalam sehari,” jelasnya.
Biasanya ia menawarkan berbagai macam kemeja kaos, hijab, serta peralatan untuk rumah tangga.
Oleh karena usahanya yang gigih, minimal saat ini dia sudah dapat mencicil sepeda motor.
“Bisa dimaksimakan di platform marketplace lain atau gabung sekali live 2 platform. Kalau hanya memgandalkan orang datang ke kita atau ke toko saya kira susah. Apalagi kalau ibu rumah tangga sangat peduli dengan promo beda Rp1000 sampai Rp2000 itu mempengaruhi dibanding harga normal,” jelasnya.
Menurut dia, berjualan secara langsung itu mudah selama bersedia bekerja keras dan terus belajar. (jti)