- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
complaints, habits, health tips, lifestyle, psychology of everyday lifecomplaints, habits, health tips, lifestyle, psychology of everyday life - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
17
Melaporkan keluhan merupakan hal biasa. Karena itu, kenyataan hidup tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Mengherankan, untuk sebagian orang, keluhan dapat menjadi kebiasaan bawaan yang susah dibendung atau dirubah.
Satu di antaranya adalah tetangga Regina (30).
“Dia selalu rajin mengeluh di grup WhatsApp warga perumahan. Pada awalnya dia mengeluh untuk mencegah penghuni parkir mobil di area terbuka dekat dengan rumahnya. Kemudian, dia juga protes tentang pemangkasan rumput di halaman hunian tetangga serta soal dana kontribusi perumahan yang berkelanjutan,” jelas Regina.
“Menurutnya, di matanya hampir tak pernah ada hal yang positif. Komentarnya selalu negatif,” katanya.
Berlawanan dengan Regina, Hanny (32) malah menyatakan bahwa dia sering kali merengek.
“Sebelumnya, saya selalu mengeluh tentang kejadian-kejadian harian. Saat tertimpa kemacetan, secara otomatis langsung merengek. Menerima pekerjaan ekstra dari atasan yang membuatku harus overtime, aku pun mulai mengeluh. Bahkan, saat cuaca tiba-tiba berubah menjadi hujan,” ungkap Hanny.
Akan tetapi, pelan-pelan, Hanny mulai menekan kecenderungan untuk selalu mengeluh sesudah mempelajari sebuah buku yang mendalam tentang filsafat Stoa dan paham Stoikisme.
Pengetahuan yang diperoleh Hanny dari pengalaman tersebut mendorongnya untuk lebih terfokus pada aspek-aspek yang dapat dia kontrol, seperti melatih kemampuan menenangkan dirinya sendiri.
Merengek merupakan hal biasa selama tidak terlalu sering, demikian katanya.
Arida Nuralita, S.Psi, MA., Psikolog
Dari Rumah Sakit Internasional Jogja (JIH) di Surakarta.
Saat menemui seseorang yang gemar mengeluh, kita mungkin juga penasaran tentang penyebab dari kebiasaan itu.
Arida menyebutkan bahwa berbagai faktor dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk mengeluh.
“Bisa jadi alasannya adalah ketidaknyamanan mereka, ingin mendapatkan pengakuan, mencari perhatian, supaya orang lain sependapat dan mengerti perasaan mereka, mencari dukungan emosional serta empati dari orang lain untuk merasa lebih kuat,” jelaskan Arida kembali.
Mengacu pada founder serta psikoterapis di
Invited Psychotherapy and Coaching
Lauren Farina menyatakan bahwa mengeluh adalah “ungkapan lisan atas rasa sakit atau ketidaknyamanan”.
“Untuk jumlah yang moderat, keluhan dapat membantu melepaskan emosi, menyediakan pengurangan tekanan akibat penekanan emosional,” jelas Farina seperti dikutip dalam sebuah artikel di
Very Well Mind
.
Di samping itu, hasrat untuk mengungkapkan amarah ternyata didasari oleh dasar evolusi. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Mary Poffenroth, seorang biopsikolog dari Universitas San Jose State.
“Penting bagi kita untuk dapat mengidentifikasi dan mendeskripsikan potensi ancaman atau hambatan yang ada di lingkungan kita, hal ini telah menciptakan tingkah laku semacam itu,” kata Poffenroth.
“Keberlanjutan kehidupan manusia serta kolaborasi dalam masyarakat melalui sejarah spesies kita tergantung pada kemampuan kita untuk menyuarakan ketidaksukaan,” tambahnya.
Jeffrey Bernstein Ph.D., pada tulisannya yang terbit di
Psychology Today
menguraikan ketiganya jenis keluhan utama yang sering kali kita ungkapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, keluhan terkait dengan tingkah laku orang lain—misalnya, rekan kerja yang kurang pemahaman, kebiasaan mengganggu dari anggota keluarga, atau sikap pasangan yang membuat kesal.
Kedua, berkaitan dengan kompleksitas tugas-tugas sehari-hari, misalnya berurusan dengan kemacetan lalu lintas, antrian yang panjang, atau pelayanan pelanggan yang kurang menyenangkan.
Ketiga, keluhannya berkaitan dengan penyebab stres pribadi. Beberapa contohnya adalah ketakutan terhadap situasi finansial yang tidak stabil, tekanan akibat beban kerja, hingga permasalahan kesehatan.
Benar sekali, ada rasa kelegaan ketika kita menceritakan berbagai hal tersebut.
Namun demikian, jika sudah terbiasa, mengeluh dapat membawa kita menuju lorong yang dipenuhi energi negatif.
Sebuah sisi, cara pikiran kita berfungsi tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan terhadap prasangka negatif.
Cleveland Clinic
.
Selanjutnya, apa sajakah langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk meminimalkan keluhan?
Berdasarkan pendapat dari Cleveland Clinic, satu poin penting lainnya adalah mengambil waktu untuk memikirkan betapa besar dampak dari hal-hal yang membuat kita kesal pada masa mendatang. Bagaimana efeknya terhadap hidup kita di menit-menit berikutnya, atau bahkan beberapa tahun kemudian?
Kedua, luangkan waktu untuk mencatat semua keluhan yang ada. Jelaskan pula penyebab-penyebab utama dari setiap keluhan tersebut.
Ketiga, pertimbangkan dengan cermat bagaimana menyampaikan permasalahan tersebut dengan tepat dan efisien. Bisa jadi masalah itu diselesaikan dengan berbicara langsung pada orang yang bersangkutan, melalui pesan tertulis, atau menelepon mereka.
Tidak kalah penting pula adalah mengasah rasa bersyukur, betapa pun kecilnya.
Bila tingkah laku buruk telah menjadi suatu rutinitas, mencatatnya
gratitude journal—
Jurnal rasa syukur—tiap malam bisa meningkatkan kondisi kita. Tindakan itu membantu kita mengkonsentrasikan perhatian pada aspek-aspek yang patut disyukuri dalam hidup, kata Bea sekali lagi.
Demikian yang diungkapkan oleh Arida. Tingkat keluhan bisa diteken dengan mengerahkan usaha untuk selalu mencari sudut pandangan positif dalam setiap situasi yang ada.
Bila rutinitas harian di tempat kerja tampak melelahkan, cobalah catat hal-hal yang mengundang rasa syukur pada hari tersebut. Sebagai contoh, mungkin Anda telah sukses menyajikan hidangan sarapan lezat bagi anggota keluarga.
Arida pun mengusulkanah agar fokus pada pencarian solusi.
Bila menemui kendala, fokuskan tenaga untuk memecahkannya. Ingatlah, hanya merengek tak akan membantu menuntaskan permasalahan.
Terakhir, terapkan
mindfulness
, kesadaran pada saat ini dan di tempat (
here and now
).
Merengeut bisa disamakan dengan virus yang cepat tersebar.
Tinggal di sebuah komunitas tempat orang-orang sering merengekan dan memiliki pandangan pesimis, lama-kelamaan akan mulai mempengaruhi cara pikirmu juga.
Arida merekomendasikan bahwa ketika kita mendeteksi gejala-gejala teman sekerja akan mengeluh, cobalah alihkan arah percakapan ke topik-topik yang lebih positif atau bersifat membangun.
“Hindari pembicaraan tentang hal-hal yang bisa menimbulkan keluhan, misalnya mengenai atasan yang terlalu tuntutan atau klien yang susah diajak kerja sama. Aturlah pemikiran dan kata-kata Anda untuk menjaga atmosfer tetap optimis,” tutup Arida.