- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
government, news, politics, politics and government, politics and lawgovernment, news, politics, politics and government, politics and law - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
5
.CO.ID, JAKARTA – Dalam hal ini negara diharapkan menerapkan batasan waktu bagi posisi ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik sebanyak satu kali masa jabatan atau selama lima tahun saja. Menurut penulis dari buku “Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara” Sri Harjono, langkah itu dilakukan sebagai pencegahan agar tidak ada individu tertentu ataupun kelompok keluarga yang mendominasi kepemimpinan dalam sebuah partai politik.
Pada periode reformasi mulai tahun 1999 sampai sekarang, ironisnya telah menghasilkan partai-partai politik yang umumnya dikendalikan oleh keluarga. Fenomena ini dinilai berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia.
Ketika melakukan diskusi tentang buku “Gerakan Maju untuk Membangun Nusantara” yang diselenggarakan di gedung Universitas Cendekia kawasan kampus UGM Yogyakarta pada hari Minggu, 1 Juni 2025, Sri Harjono mengeluarkan pernyataannya. Turut hadir dalam acara ini dua narasumber lainnya yaitu Wasingatu Zakiyah seorang aktivis wanita serta Profesor Agus Supriyanto.
Harjono menyampaikan bahwa implementasi sistem partai di Indonesia sebenarnya sudah melenceng dari ideologi negara yang demokratis. Hal ini terjadi lantaran partai politik kini lebih banyak dimanfaatkan sebagai properti kepribadian oleh pemimpin utama mereka guna memperoleh bagian kekuasaan dalam administrasi negeri, baik itu pada bidang eksekutif, legislatif ataupun yudisial.
Maka dari itu, ia melanjutkan, apabila seseorang memasuki ranah politik praktis, jalur paling aman ialah dengan menunjukkan kesetiaan mutlak pada ketua umum partai politik sehingga dapat dipercayakan mengisi suatu posisi spesifik. Ketua umum partai politik juga akan lebih cenderung memilih individu-individu yang setia padanya guna melestarikan kedudukannya dalam kekuasaan.
“Pada akhirnya tidak terjadi penerapan sistem meritokrasi dalam partai politik. Bahkan para politisi yang dipilih untuk mengambil posisi dalam jabatan publik sekalipun, misalnya sebagai menteri, nantinya juga gagal melaksanakan prinsip meritokrasi di kalangan birokrat mereka,” ungkap Harjono.
Menurutnya demikianlah, praktek suap menyusup ke dalam manajemen dana pemerintahan yang melanda seluruh institusi nasional baik pada skala sentral ataupun lokal. Dana publik yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tak sepenuhnya difokuskan bagi kesejahteraan masyarakat dikarenakan penyaluran budgeting belum optimal.
Menurut Harjono, arah tersebut perlu diperbaiki supaya eksistensi partai politik bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembaruan negeri Indonesia mendatang dan tidak jadi sumber kemunduran bangsa di waktu yang akan dating.
“Masa jabatan untuk Ketua Umum partai politik, Sekretaris Jenderal serta Ketua di tingkatan provinsi dan kabupaten/kota harus dibatas pada satuperiode saja. Ini bertujuan agar tidak ada pengendalian tunggal atas partai politik oleh individu atau kelompok famili,” jelasnya dengan tegas.
Harjono menyatakan bahwa umur negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang kini mencapai 79 tahun, masih termasuk belia dan oleh karena itu perlu reformasi berkelanjutan guna mengoreksi arah pencapaian tujuan bernegara sebagaimana dijabarkan dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945. Salah satunya adalah dengan melakukan pembaruan pada sistim partainya.
Terlebih partai politik sudah mendapatkan bantuan keuangan dari negara yang mana bantuan tersebut diberikan kepada partai politik yang memiliki kursi di DPR atau DPRD. Bantuan keuangan tersebut 60 persen digunakan untuk pendidikan politik dan sisanya untuk biaya administrasi, sewa kantor, gaji staf dan kegiatan rapat internal.
“Bantuan finansial untuk partai politik memang memiliki niat baik, tetapi mengingat struktur partai politik saat ini, hal itu mirip dengan menyuburkan partai-partai yang dikendalikan oleh individu dan kelompok keluarga,” ujar Harjono.
Salah satu hal penting yang memerlukan pembaruan adalah pelaksanaan hukum. Profesionalisme anggota aparatur penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan harus ditingkatkan untuk lebih efektif dalam menerapkan hukum. Sementara itu, komisi pemberantasan korupsi berperan mengawasi anggota-anggotanya termasuk polisi, jaksa, dan hakim guna menjamin bahwa mereka akan dituntut jika melakukan pelanggaran hukum terkait dengan kasus-kasus korupsi.
“Sering kali kita temukan dalam praktik sehari-hari bahwa implementasi penegakan hukum mengalami overlapping di antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Sebaiknya KPK lebih fokus pada pemberantasan hukum bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melanggar perundangan,” jelasnya.