- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
indonesia, movies, news, news media, politicsindonesia, movies, news, news media, politics - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
1
Menteri Budaya Fadli Zon mengatakan bahwa jumlah layar bioskop di Indonesia belum cukup. Sekarang, negara hanya memiliki kira-kira 2.500 layar, sementara angka yang ideal diperlukan adalah sekitar 10.000 layar agar bisa menjangkau semua daerah serta mendorong perkembangan industri film dalam negeri.
Pernyataan itu dikemukakan Fadli ketika penutupan acara Festival Film Balinale di Denpasar, Bali, pada hari Sabtu. Menurutnya, situasi tersebut memberi tantangan signifikan untuk industri perfilman lokal; meskipun demikian, film adalah alat penting yang bisa digunakan untuk mempromosikan budaya Indonesia ke kancah internasional.
“Menurut Fadli, saya mengamati bahwa potensi industri film di Indonesia cukup besar. Akan tetapi, tantangannya adalah keterbatasan jumlah bioskop saat ini. Secara optimal, kita membutuhkan kurang lebih 10 ribu layar, namun yang ada hanya sekitar 2.500,” jelas dia.
Fadli mengundang seluruh pemain industri perfilman, termasuk para investor dan sutradara indie, untuk bersama-sama mendukung pertambahan jumlah bioskop di Tanah Air. Dia juga menyetujui perlunya adanya kolaborasi yang lebih dekat dengan pihak pemerintah lokal demi memperluas jaringan tayangan film ke beragam wilayah.
Film Sebagai Alat Perlindungan dan Perkenalan Kebudayaan
Fadli mengatakan bahwa film bukan sekadar untuk hiburan saja. Dalamnya ada banyak elemen budaya seperti sastra, musik, tarian, dan juga masakan. Menjadi media peragaan budaya yang kuat, film bisa memperkenalkan nilai-nilai setempat kepada publik secara lebih luas, termasuk di tingkat global.
“Dalam film terdapat berbagai elemen budaya yang dapat dipaparkan. Dimulai dari narasi, percakapan, lagu daerah, sampai makanan khas setempat. Film memiliki kemampuan besar untuk menjadi sarana pengembangan kebudaraan,” jelasnya.
Di samping pembatasan fasilitas bioskop, Fadli Zon juga mengomentari masalah di bidang isi atau konten, terlebih pada penyusunan skenario. Menurut dia, banyak film dari Indonesia mempunyai konsep cerita yang bagus, namun lemahnya penggarapan naskah menyebabkan mutu film tersebut tidak sepenuhnya optimal.
Salah satu tugas utama kami adalah meningkatkan kemampuan menulis naskah. Memiliki cerita hebat namun dengan skenario yang lemah dapat mengakibatkanhasil akhir dari film menjadi kurang optimal. Inilah yang ingin kami dukung melalui berbagai kursus dan seminar,” ungkapnya.
Film Indonesia Kian Dilirik, Namun Tetap Membutuhkan Dukungan Berkelanjutan
Fadli pun mengabarkan berita positif yang mana semakin banyak orang tertarik pada film buatan dalam negeri. Di sepanjang tahun 2024, jumlah penonton untuk film-film Indonesia telah mencapai angka 81 juta, atau setara dengan 67% dari keseluruhan pertunjukan di bioskop tanah air. Kendati demikian, dia merasa perlu meningkatkan dukungan lebih lanjut bagi pembuatan serta pendistribusian karya-karya lokal.
Dia mengakhiri pidato tersebut dengan menekankan betapa pentingnya memanfaatkan film sebagai alat diplomasi soft power (kekuatan budaya). Seperti halnya negara-negara lain seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, dan India yang sudah sukses menerapkannya untuk membentuk persepsi tentang budayanya di kancah internasional.
“Potensial cerita kita sungguh menakjubkan serta para sutradara bertalenta kami memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Yang perlu sekarang adalah mendorong pengembangan infrasturktur dan kemampuan secara bersama-sama. Melalui film, kita bisa mengenalkan kebudayaan Indonesia kepada dunia global,” tutupnya.