Ekonom Bank Permata: Butuh Langkah Baru untuk Menghidupkan Kembali Perekonomian Dalam Negeri

Ekonom Bank Permata: Butuh Langkah Baru untuk Menghidupkan Kembali Perekonomian Dalam Negeri


lowongankerja.asia

Defisit neraca perdagangan Indonesia untuk bulan April 2025 sebesar USD 160 juta ternyata berada di bawah perkiraan para ahli. Hal ini menunjukkan adanya beban baik dari luar maupun dalam negeri yang mempengaruhi performa ekspor impor negara tersebut.

Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menyebutkan bahwa walaupun eksportasi meningkat sebesar 5,76% secara tahun-ke-tahun (Year-on-Year/YoY), pertambahan tersebut belum mampu mengimbangi kenaikan impor yang mencapai 21,84% YoY. Penyebab utama kenaikan impor ini adalah peningkatan substansial dalam hal impor bukan minyak dan gas bumi (non-migas). Terlebih lagi, emas dan perhiasan juga turut meroket dengan angka 253,6% YoY.

“Menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan simpanan emas di saat ketidaktentuan dunia, termasuk khawatirnya pasar akan keputusan tariff balasan yang disuarakan ulang oleh Pemerintahan Trump. Kenaiakn harga emas internasional juga semakin mengeraskan beban biaya impor,” jelas Josua dalam wawancara dengan Jawa Pos pada hari Senin (2/6).

Pada waktu yang sama, ia melanjutkan, bahwa beberapa produk unggulan seperti bahan bakar mineral (batubara) dan logam mulia malah mengalami penurunan dalam hal ekspornya. Keduanya berkurang sebesar 18,5% dan 7,85%, sehingga menyempitkan kesempatan untuk mencapai defisit perdagangan yang lebih besar.

“Maka demikian, walaupun sektor manufaktur dan pertanian berkembang pesat, ketagihan terhadap ekspor bahan mentah serta fluktuasi harga dunia menyebabkan neraca perdagangan menjadi lebih rawan,” tambahnya.

Pada saat bersamaan, Indeks Harga Konsumen (IHK) di bulan Mei tahun 2025 tercatat mengalami deflasi sebesar 0,37 persen secara month-to-month (MtM), hal ini mencerminkan adanya tekanan inflasi yang rendah. Fenomena tersebut tetap berlanjut bahkan pasca masa perayaan Lebaran.

Alasannya terutama disebabkan oleh penyesuaian harga komoditas pertanian penting seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, serta ikan segar. Harganya telah dikoreksi setelah naik drastis pada bulan April tahun 2025.

Namun begitu, Josua menganggap bahwa deflasi ini merupakan indikator kelemahan pada sisi permintaan. Hal itu terbukti dengan tetap rendahnya pengaruh inflasi dalam kategori pangan dan minuman. Justru beberapa sektor lain seperti informasi dan komunikasi malah memperlihatkan deflasi tahunan sebesar 0,28% YoY.

“Menunjukkan bahwa konsumsi keluarga secara umum belum sepenuhnya membaik. Lebih rinci lagi, ini terkait dengan masih lesunya daya beli publik setelah lebaran serta ketidakefektifan dampak pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di semua segmen,” jelas dia.

Walau inflasi dasar terus meningkat sebesar 2,4% per tahun, angka itu menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri belum benar-benar menguat.

Akibatnya, tekanan deflasi ini memiliki karakter campuran. Hal tersebut disebabkan oleh sisi pasokan yang masih kuat seiring perbaikan jaringan logistik dan rendahnya permintaan konsumen dikarenakan pembatasan kemampuan untuk berbelanja. Kondisi ini terlihat lebih dominan pada segmen golongan menengah hingga bawah yang belum sepenuhnya mendapatkan dukungan dari aspek fiskal.

Secara umum, PIER melihat bahwa penurunan surplus neraca perdagangan di bulan April 2025 dan deflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2025 menunjukkan bahwa perekonomian dalam negeri masih menghadapi hambatan terkait dengan permintaan internal, serta berisiko terkena dampak ancaman global yang berkaitan dengan aktivitas ekspor impor.

“Perlu diwaspadai dalam kebijakan fiskal serta moneter mendatang agar dapat menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berbelanja,” tegas Josua.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *