Dua Matahari: Cerita Kembar Yang Bersinar

Dua Matahari: Cerita Kembar Yang Bersinar

Berapakah jumlah perselisihan antara dua sahabat seperti Donald Trump dan Elon Musk? Berapa kegembiraan merayakan kemenangan tim nasional sepak bola kita melawan Tiongkok? Saat ini, saya perlu menyusun tulisan mengenai seorang teman saya bernama Junaini KS. Dia telah tiada pada hari Sabtu pagi lalu di daerah asalnya yaitu Pontianak.

Ia dilahirkan pada tahun yang sama denganku: 1951. Dia datang ke dunia empat bulan lebih cepat dariku. Di Pontianak, dia adalah jurnalis tertua. Merokok menjadi hobinya dan ia jarang sakit. Namun, ketika akhirnya terkena penyakit, itu sangat serius: kanker paru-paru. Penyakit tersebut langsung mencapai tahap empat saat didiagnosis.

Pada awalnya dia hanya merasakan nyeri di bagian perut. Bulan lalu itu terjadi. Hingga kini belum juga pulih.

Setelah hasil pemeriksaan darah yang diminta oleh dokter menunjukkan adanya kanker, pasien sempat dievakuasi menggunakan mobil menuju rumah sakit di Kuching, Serawak. Perjalanan dari Pontianak ke Kuching memakan waktu enam jam melalui jalur perbatasan Entekong dan dilakukan dengan kendaraan pribadi.

Memang di Kalbar terdengar kabar bahwa kanker stadium empat telah berhasil disembuhkan di RS Kuching. Setelah Junaini tiba di Pontianak dari Kuching, ia segera dirawat di rumah sakit setempat. Rencananya minggu depan, dia akan dikembalikan lagi ke Kuching. Sayangnya, kematiannya datang lebih cepat daripada yang diprediksi.

Saya bertemu dengan Junaini melalui majalah TEMPO. Kami sama-sama berperan sebagai wartawan lapangan. Sementara Junaini bekerja di Kalbar, saya aktif di Kaltim. Setelah saya dipromosikan menjadi kepala biro TEMPO di Surabaya, Junaini masih menetap di Pontianak.

Oleh karena itu, saya menunjuk Junaini untuk menggantikan posisi saya di Pontianak. Ini terjadi ketika diberi tugas untuk merestrukturisasi dan menyelamatkan koran lokal yang sedang berada dalam kesulitan di sana: Akcaya (baca: Aksaya).

Junailalah yang saya minta agar ia menjadi kepala redaksi koran tersebut. Saya juga mengubah frekuensinya dari mingguan menjadi harian.

Junaini terkenal karena keras kepala dan tak suka berunding. Baik itu dalam hal prinsip ataupun kehidupan sehari-hari. Dia adalah jurnalis yang menentang pemberian uang atau bahkan apa pun di dalamnya yang lebih bernilai daripada uang tersebut.

Saya tak pernah menanyakan makna singkatan KS dibelakang namanya. Hanya beberapa hari lalu saya berhasil menebaknya. Yaitu berdasarkan surat pengumuman kematian yang menyebutkan: Junaini bin Kasimin. Ternyata, Kasimin diringkas menjadi KS.

Mengapa nama bapak Anda terdengar seperti nama orang Jawa?

“Iya benar, kakek adalah seorang Jawa,” balas Iqbal, sang anak bungsu Junaini.

Saya tentu tak pernah mengira bahwa Junaini adalah anak orang Jawa. Cara berbicaranya sungguh sangat Melayu-Kalbar. Terkadang saya merasa kesulitan memahami maksudnya.

Bapanya tidak merupakan seorang transmigran dari Jawa di Kalimantan Barat. Dia adalah seorang Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan dialihkan ke Pontianak. Hal ini terjadi ketika ibukota Kalbar sedang mengembangkan Pontianak Convention Center, dimana dia turut serta dalam proyek tersebut.

Di Pontianak lah kakeknya bertemu dengan pasangannya yang berasal dari Pidie, Aceh. Dari pernikahan itu lahir Junaini dan kemudian menjadi seorang jurnalis.

Seorang jurnalis berjumpa dengan seorang mahasiswi jurusan kedokteran yang menumpangkan diri di sebuah kos dekat tempat tinggal Kasimin. Keduanya saling merasakan kasih sayang. Namun terdapat penghalang dalam hubungan mereka. Wanita tersebut keturunan Tiongkok dan mempunyai latar belakang agama Katolik serta bergelut nama keluarga Tan. Ia berasal dari kawasan Mempawah, kurang lebih 50 kilometer dari Pontianak.

Dinding tersebut retak. Sesuatu yang menembusnya. Terlahir lah sang keturunan pertama: Qadhafy. Kemudian mereka menjadikannya sebagai anak asuh, seorang bayi berasal dari famili Cina. Setelah itu tak berapa lama si pria kedua pun dilahirkan: Iqbal.

Anak angkat tersebut masih mengikuti agama orang tuanya yang sebenarnya yaitu Konghucu. “Kami tetap bersaudara. Kami masih memandangnya sebagai kakak,” ungkap Iqbal.

Tiap kali menuju Pontianak, aku selalu makan bareng dengan Junaini. Kebiasaannya kami pergi ke restoran masakan Tiuchu yang populer itu di Pontianak. Yang terakhir adalah pada akhir tahun kemarin. Saat itu baru saja aku tiba dari kunjungan ke Chaozhou, sebuah wilayah tetangga kota Shantou.

Mengomentari tentang perjalanan saya: tadi malam kembali dari Chaozhou. Saya merasa bahwa cuma orang-orang tertentu seperti saya yang mampu mencapai tempat tersebut. Kemudian, saya bercerita mengenai bagaimana enaknya hidangan Chaozhou di sana.

“Junaini mengatakan bahwa dia telah pergi ke Chaozhou sebanyak dua kali,” demikian katanya.

Hah? Kenapa ke Chaozhou?

“Menuju ke makam buyah. Buyah istrinya,” ujarnya.

Junaini yang menikahi seorang wanita bernama Chen mempunyai latar belakang etnis Tiuchu. Dia asli dari Chaozhou. Nama Chaozhou disebut sebagai Tiuchu di tempat ini. Dapat dibilas bahwa setengah populasi Tionghoa di Kalbar merupakan etnik Tiuchu. Sebagian lainnya beretnis Haka. Jadi, orang Haka di Kalbar dapat berbicara dalam bahasa Tiuchu dan begitu pula sebaliknya. Sayangnya, saya belum mampu menguasai keduanya.

Di Tiongkok, asal-usul orang Haka (Meixian/Meizhou) berada sekitar tiga jam perjalanan kendaraan dari tempat asal-usul orang Teochew di Zhaozhou.

Saya tentu sudah pernah mengunjungi rumah Junaini. Lokasi rumahnya berada tak jauh dari pasar yang ada di sisi barat Sungai Kapuas. Dahulunya, jika ingin menuju Pontianak, kita harus menggunakan perahu kecil untuk menyeberangi sungai tersebut.

Tentu saja Junaini tidak akan selalu ada di harian Akcaya. Pada suatu hari dia mengeluh bahwa membangun tim yang kokoh di Akcaya sangatlah sulit. Dia bercerita tentang apa yang terdalam dalam dirinya: keinginan untuk memiliki wewenang lengkap.

Tidak mungkin itu terjadi. Pendiri Akcaya, Pak Tabrani Hadi, masih menjadi pemilik saham di perusahaan tersebut. Dia adalah orang yang baik hati. Lembut dan tenang. Cara berbicaranya halus, lunak, dan penuh pertimbangan. Setiap kali menyampaikan sebuah kalimat, dia seolah harus menyeleksi kata-katanya dengan cermat layaknya ibuku memisahkan butiran garam dari pasir dalam ayakan gabah.

Saya dapat merasakan perasaan Junaini yang bergejolak. Oleh karena itu, dia menyarankan supaya saya mendirikan surat kabar baru di Pontianak dan memberikan pengelolaannya secara penuh padanya.

Oleh karena itu muncullah surat kabar baru bernama Equator. Ia bersaing dengan Akcaya dan juga berkompetisi secara sengit. Saya ingin memastikan para kolega di Akcaya bahwa ini bukan masalah besar. Adanya persaingan adalah hal yang wajar. Entah cepat atau lambat, kompetitor pasti akan hadir. Lebih baik lagi jika sebelum kompetitor dari luar muncul, kita menciptakan kompetitor dari dalam organisasi sendiri.

Keduanya melangkah maju. Meskipun Junaini tak pernah bisa mengungguli Akcaya dalam pengembangan Equator, ia tetap sukses merancang bangunan di jalur utama kota tersebut.

Belakangan ketika zaman koran sudah lewat gedung itulah yang masih tersisa sebagai peninggalan kerja kerasnya. Setidaknya Junaini telah berjasa ”menyehatkan” internal Akcaya: tidak lagi ada matahari kembar di dalam manajemen Akcaya.

Duo matahari semacam itu senantiasa menciptakan dinamika pengelolaan yang kurang sehat. Namun, membuang duo matahari tersebut bukan perkara sederhana. Terlebih lagi keduanya sama-sama memiliki kontribusi penting. Kedepannya tak ada satupun dari mereka yang bersedia mundur. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan mentransfer salah satu matahari tadi.

Dari kasus Akcaya muncullah Equator.

Di Jambi, muncullah Jambi Ekspres yang berdiri di luar Jambi Independen. Tambahkan juga ada dua stasiun televisi lokal di tempat tersebut.

Di beberapa kota lain juga begitu. Membagi dua matahari tidak berarti mengekang satu dianya. Dua matahari tersebut dapat terpisah dan berkembang menjadi dua matahari di bumi yang berlainan.

Dunia masih membutuhkan lebih banyak cahaya Matahari — asalkan tak saling menghanguskan satu sama lain. Junaini adalah cahaya Matahari yang memilih untuk bersinar di bumi yang berlainan — agar terhindar dari menjadi sosok serupa di tanah air yang sama. (Dahlan Iskan)

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *