Di Balik Kisah Papan Tulis dan Tong Sampah 7 Miliar


Frida Pigny SI IP MCom

, Spesialis pendidikan rumah, advokat keragamansaan, pembicara publik, anggota Aliansi Alumni Aceh Australia (AAA), dan pendiri SuperSchool.ing


DI

Aceh, para guru setia melawan tantangan dalam urusan administrasi dan semakin terpatahkan oleh keputusan-keputusan tidak rasional. Coba bayangkan menjadi seorang guru di daerah pedalaman. Tempatnya jauh dari tengah kota, mereka harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), mengoreksi pekerjaan siswa, merumuskan laporan tentang Dana Operasional Sekolah (BOS), serta berjuang dengan konektivitas internet yang buruk agar bisa melakukan pelaporan daring. Semuanya ini dilakukan sambil tetap bersungguh-sungguh menyiapkan bahan pengajar berkualitas. Waktunya untuk pendidikan sesungguhnya? Sudah hampir lenyap karena upaya mematuhi sistem yang tampaknya lebih peduli pada dokumen daripada anak didiknya sendiri.

Dalam situasi tersebut, beberapa guru berusaha mencari tempat istirahat, memakai seragam sekolah, lalu duduk-duduk di kedai kopi untuk merancangkan strategi terhadap sistemnya. Beberapa orang bahkan merekomendasikan kepada pemilik kedai untuk menambahkan tenda supaya lebih nyaman “berteduh” tanpa perlu khawatir akan digeledah oleh petugas. Apakah hal ini ironis? Iya. Namun tetap saja wajar. Sebalikannya, ada pula guru-guru lain yang mengeluh bahwa tidak memiliki cukup waktu luang karena harus beralih dari kantor ke rumah. Sistem seperti ini sudah membuat mereka jenuh, bukannya menjadi enggan melaksanakan tugas.

Kemudian muncul berita yang mengejutkan. Dinas Pendidikan Aceh mengeluarkan dana sebesar 7 miliar rupiah khusus untuk membeli tempat sampah HDPE di beberapa SMA Negeri. Antara kualitas pendidikan yang masih tertinggal, langkah ini melukai logika dan nalar. Hal ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merupakan penyalahgunaan dari tujuan utama.

Selama siswa-siswa dalam kelas membutuhkan pengajar yang benar-benar hadir dengan penuh perhatian. Namun, para tenaga pendidik kita lebih banyak disibukkan oleh berbagai urusan administrasi seperti melengkapi data, mencari sertifikat, ikut pelatihan serta acara formal lainnya, bahkan menyusun laporan tentang program-program yang mungkin tidak ada gunanya. Proses pembelajaran sudah dipersingkat hanya pada tugas-tugas mekanikal saja. Seorang guru yang semestinya sebagai penuntun malah akhirnya berganti fungsi menjadi petugas dari suatu sistem.

Di luar sana, banyak kepala sekolah lebih memilih untuk bungkam. Mereka sadar bahwa mengekspresikan pandangan kritis dapat membawa akibat panggilan ke dewan. Para guru juga harus belajar bagaimana bertahan dengan menyembunyikan prinsip-prinsip mereka dalam lemari pribadi, dan merubah antusiasme pengajaran menjadi hanya melaksanakan rutinitas pekerjaan saja. Banyak dari mereka yang mencuri waktu sendiri selama jadwal kerja, tidak karena rasa males, tetapi disebabkan oleh tekanan yang tak ada habisnya.

Warga juga tidak selalu mendukung sepenuhnya. Beberapa orang berkomentar, “Seru banget jadi guru, penghasilan stabil dan cuti panjang.” Namun, sangat jarang yang paham kalau pendapatan tersebut hanyalah cukup untuk hidup sehari-hari saja, kebanyakan waktu luang mereka terpakai untuk membuat laporan atau mengikuti pelatihan lebih lanjut guna meraih sertifikasinya.

Apa dampaknya? Murid-murid menjadi korban terdiam. Mereka kekurangan sosok guru sejati. Para pengajar tidak memiliki cukup ruang untuk mengenal kepribadian siswa, memberikan dukungan individual, atau merangsangkan rasa ingin tahu mereka. Kini, para guru lebih mirip pencatat informasi daripada pendidik. Hal tersebut merupakan sebuah kegagalan struktural, bukannya kesalahan perorangan.

Namun, perubahan tersebut mungkin terjadi. Yang kita butuhkan hanyalah berani mengungkapkan realitas dari kesalahan persepsi ini.

Apabila kita ingin melihat ke luar negeri untuk mengambil pelajaran, mari perhatikan negara-negara seperti Finlandia yang sukses mereformasi sistemnya. Di sana, saat birokrasi dikurangi dan mutu pendidikan malah naik, tidak ada lagi beban terkait pengumpulan data RPP secara berlebihan. Mereka fokus pada satu hal saja: siswa-siswa mereka.

Perhatikan Jepang yang telah menerapkan budaya lesson study, di mana para guru bertukar pikiran dan meningkatkan teknik pengajaran mereka tanpa harus bersaing satu sama lain. Hal ini membentuk lingkungan yang mendukung pertumbuhan kolektif dalam profesi pendidikan.

Di Kanada, evaluasi para guru tidak hanya didasarkan pada seberapa banyak pelatihan yang telah mereka ikuti, tetapi juga berfokus pada efek langsung terhadap siswa. Para guru mendapatkan kesempatan untuk melakukan refleksi serta memberi dan menerima umpan balik, bukannya sekadar memerlukan daftar ceklis. Di Singapura, kebutuhan kesejahteraan guru dipenuhi dengan upah bersaing, insentif pembinaan pribadi, dan izin pekerjaan profesional. Akibatnya, profesion mengajar di tempat ini menjadi sangat dihargai dan diminati oleh banyak pemuda.

Di Brasil, Escola da Ponte mengubah peran guru; bukannya menjadi penyalur informasi, tetapi sebagai mediator pembelajaran yang merancang aktivitas berdasarkan ketertarikan siswa. Guru disini tak terpaku pada tujuan kurikulum tertentu, melainkan bertindak sebagai stimulator keinginan untuk mengetahui lebih banyak lagi. Sedangkan di beberapa sekolah di Eropa Barat, kesejahteraan para guru diberdayakan dengan prioritas utama. Terdapat sesi bimbingan dan dukungan psikologis reguler bagi guru-guru tersebut, sebab mereka menyadari bahwa guru yang senang hati merupakan fondasi penting dalam perkembangan peserta didiknya.


Generasi gagap

Sistem pendidikan kita mirip dengan gedung besar yang kelihatan kuat dari luar tetapi berlubang di dalamnya. Sistem ini tidak stabil bukan hanya disebabkan oleh sebagian yang rapuh, namun juga karena seluruh komponen, mulai dari atas sampai bawah, mengalami kekurangan struktural yang telah diturunkan dari masa industrialisasi.

Pada tingkat tertinggi organisasi, terdapat pemimpin departemen yang mengeluarkan peraturan tanpa peduli pendapat dari lapisan bawah. Dana bernilai miliaran dapat diberikan begitu saja untuk pembelian tempat sampah berbahan dasar HDPE, seperti halnya ini adalah masalah utama saat mutu pendidikan belum juga meningkat. Mereka membicarakan tentang misi besar, namun apa yang nyata terjadi hanyalah penyempurnaan aturan demi penyempurnaan aturan, supaya penampilannya masih baik padahal kondisi faktanya sangat buruk.

Kemudian ada kepala sekolah. Sebagian besar sudah bukan lagi sebagai guru penggerak belajar, tetapi lebih mirip manajer sistem. Mereka memilih untuk bungkam sambil menghirup asap rokok dalam ruangan kerja ber-AC. Ini bertentangan dengan memberi teladan kepada murid-muridnya tentang ‘kebiasaan hidup bersih’. Alasannya bukan karena ketidak tahuan atau apatis, malahan disebabkan oleh pengetahuan tersebut. Suaranya sendiri cukup kuat untuk melawan sistem ini. Namun mereka memilih kesenonohan, menaati instruksi dan merawat jabatan masing-masing demi keamanan diri.

Pada tingkat dasarnya, terdapat para guru. Sebuah profesi yang seharusnya diwarnai dengan antusiasme saat ini dipenuhi oleh rasa lelah secara psikologis. Energi mereka perlahan hilang dalam proses membuat laporan, mengisi formulir elektronik, serta memenuhi standar ukuran yang kadang-kadang tampak begitu kontradiktif. Peran pokok mereka sebagai pendidik pun akhirnya hanya menjadi tanggungan ekstra. Antara kesibukan tersebut, beberapa guru mencari tempat pelarian singkat seperti kedai kopi, obrolan di grup WhatsApp, hingga area tenang tanpa tekanan penginputan data atau angka. Namun, kita tak dapat langsung menyalahkan saja atas hal ini. Siapa lagi yang akan merawat nyala semangat mereka jika struktur sistem malah ikut padamkannya?

Kemudian datanglah para orangtua. Banyak di antara mereka yang serahkan seluruh aspek pembelajaran kepada sekolah dan menganggap bahwa tugas mereka berakhir saat anak keluar dari gerbang rumah. Orangtuanya meminta hasil namun enggan ambil bagian dalam perkembangan tersebut. Namun, anak-anak tak cuma belajar hal-hal baru melulu dari pengajaran gurunya saja; mereka juga menerima banyak pelajaran lewat interaksi sosial, metode ditegur atau dipujia, serta contoh-contoh perilaku baik lainnya—semuanya bermula dari lingkungan tempat tinggal. Tetapi apabila orangtua yakin sudah cukup membimbing sang buah hatinya hanya dengan meletakkannya pada perhatian pihak sekolah, artinya kita telah hilangkan separuh pondasi penting untuk masa depan si anak.

Penumpukan segala hal tersebut menjadikan lahirnya generasi yang kesulitan menavigasi zaman pada abad ke-21. Generasi anak-anak yang hanya dipenuhi dengan materi namun tidak pernah mendapat ruang untuk menebak atau bertanya. Siswa-siswa yang telah hafal akan jawabannya tetapi kurang paham tentang proses pencarian maknanya. Mereka berkembang dalam sebuah sistem yang selalu fokus pada capaiannya sendiri tanpa menyisihkan waktu untuk membentuk karakter mereka, rasa empatinya serta keterampilan berfikir analitis di tengah persaingan dunia digital saat ini.

Dan apa yang lebih menusuk hati lagi?

Ini semua terjadi secara normal, seolah-olah semuanya baik-benar saja. Namun, apa artinya memiliki visi yang luas jika dilaksanakan menggunakan pemikiran sempit dan sistem rusak? Bila kita mendambakan anak-anak bangsa yang kuat, tinggalkan Dinas Pendidikan, karena pada dasarnya perubahan dimulai dari para guru serta orangtua di rumah. Perubahan itu bermula dari bawah. Transformatif tidak akan hadir dari puncak. Ini muncul dari keteguhan kita untuk mengaku kekalahan dan memilih jalur alternatif, walaupun hal tersebut membawa rasa sakit.

Fungsi pendidikan adalah melatih seseorang agar dapat berfikir dengan mendalam serta berpikiran kritis. Intelektualitas dikombinasikan dengan moral, itulah yang menjadi tujuan dari sebuah pendidikan sesungguhnya. — Martin Luther King Jr.

JOIN CHANNEL KAMI

Dapatkan Notifikasi Update Info Lowongan Terbaru Melalui :

  1. CHANNEL WHATSAPP
  2. CHANNEL TELEGRAM
  3. POSTINGAN INSTAGRAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *