- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
laws and regulations, news, politics, politics and government, politics and lawlaws and regulations, news, politics, politics and government, politics and law - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
4
, JAKARTA — Pihak pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah mendiskusikan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana alias KUHP. Penyempurnaan aturan tersebut bakal memengaruhi sistem tatacara peradilan serta mekanisme penegakan hukuman dalam kasus pidana.
Puan Maharani, Ketua DPR, mengatakan bahwa lembaga legislatif tidak akan buru-buru merundingkan perubahan pada Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP). Ia berkomitmen untuk memastikan segala saran yang datang dari berbagai pihak di masyarakat mendapat perhatian sepenuhnya.
Pemimpin dari Dewan Pusat PDIP tersebut menyebut bahwa anggota parlemen kemudian juga akan mengevaluasi RUU terkait Penyitaan Harta jika perubahan pada KUHAP telah selesai.
“Sesudah itu, kita baru akan melangkah ke tahap penyerahan harta. Cara berikutnya, kami pun akan mengumpulkan saran dan pendapat dari semua pihak,” jelasnya di komplek parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).
Pada bulan Maret 2025 yang lalu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan bahwa mereka bertujuan untuk menyelesaikan revisi dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam jangka waktu kurang dari atau sama dengan dua periode sesi dewan.
Komisi III DPR bertujuan agar proses diskusi terkait perubahan pada Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP selesai dalam batas dua periode sidang saja.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut mengatakan bahwa Komisi Hukum DPR yakin pembahasan revisi KUHAP dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Terlebih lagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru akan diberlakukan pada tanggal 2 Januari 2026.
“Bila memungkinkan, sebaiknya tidak melebihi dua kali masa sidang. Jadi jika hanya dalam dua kali masa sidang Insyaallah semuanya akan siap, teman-teman,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, pada hari Kamis, 20 Maret 2025.
Masukan KPK
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, mengajukan beberapa saran terkait Rancangan Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP.
Instansi anti-korupsi tersebut masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun juga menaati UU No 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menerapkan prinsip lex specialis saat melaksanakan proses penyelidikan, penyidikan hingga pengajuan perkara di pengadilan.
Johanis mengatakan bahwa ada berbagai aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, aturan untuk melaksanakan hukum acara pidana tersebut berasal dari masa Orde Lama dan masih digunakan di zaman pasca-reformasi.
“Kini di masa perubahan Reformasi, kemajuan pada segala bidang kehidupan terus bertambah. Oleh karena itu, sudah waktunya kami merevisi Undang-Undang KUHAP agar sesuai dengan dinamika jaman yang kian berkembang,” katanya ketika ditemui oleh para jurnalis, seperti dilaporkan pada hari Minggu (1/6/2025).
Johannis mengatakan bahwa minimal ada lima elemen yang perlu dimasukkan dalam penyempurnaan tersebut.
Pertama,
Syarat pendidikan minimum untuk penyelidik dan penyidik di KPK memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan persyaratan bagi seorang jaksa atau hakim. Menurut pimpinan KPK yang berasal dari kalangan jaksa, terdapat ketidakseimbangan dalam standar pendidikan minimal antara kedua posisi tersebut dengan profesi seperti advokat, jaksa, maupun hakim. Untuk penyelidik dan penyidik—biasanya latar belakangnya adalah kepolisian—nota bene mereka tidak dianjurkan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hukum.
Karena itu, dia menganggap bahwa inspektur dan investigator di berbagai institusi penegak hukum setidaknya harus memiliki pendidikan minimal gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Hukum.
“Maka semua pegawai penegak hukum yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Ilmu Hukum. Sekarang ini, penyelidik dan penyidik sebaiknya bukan berasal dari jurusan S1 Ilmu Hukum, sementara itu advokat, jaksa, serta hakim diwajibkan untuk telah menyelesaikan studi mereka dalam bidang S1 Ilmu Hukum,” jelasnya.
Kedua
, menghilangkan penyidik pembantu.
Ketiga,
petunjuk rinci tentang masa tunggu penyelidikan untuk memastikan kejelasan hukum.
“Demikian pula dengan batas waktu untuk proses pemeriksaan persidangan, perlu ditentukan secara jelas dan tegas sehingga memberikan kejelasan hukum bagi para pencari keadilan,” imbuhnya.
Keempat
, aturan yang jelas dan kuat tentang batas waktu untuk menangani kasus pada fase penuntutan.
Kelima
Pengaturan tentang proteksi bagi penyaji dugaan kasus kriminal kepada aparat penegakan hukum.
“Sementara itu, ada banyak hal tambahan yang harus disusun,” terangnya.
Sorotan AJI
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyatakan keprihatinan terkait adanya usulan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai bisa merugikan kebebasan pers.
Menurut dia, pasal tersebut merujuk pada peraturan yang mengizinkan persidangan berlangsung tertutup, artinya tanpa siaran langsung atau apabila disiarkan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan.
“Kami merasa hal tersebut menggangu pekerjaan jurnalistik yang seharusnya bersifat transparan; kami perlu mengetahui apa saja yang terjadi di dalam pengadilan,” ungkapnya setelah berpartisipasi dalam rapat dengan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, di komplek parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Selasa (8/4/2025).
Oleh karena itu, Nany beserta anggota-anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk perubahan Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP) menyerukan kepada DPR agar menghilangkan atau paling tidak mencegah proposalmaksud tersebut.
Menurutnya, kasus-kasus di pengadilan mulai dari suap hingga pembunuhan terpilih adalah masalah publik yang penting, dan karena itu masyarakat memiliki hak untuk mengetahui bagaimana jalannya persidangan tersebut.
“Selain jika kemungkinan besar persidangan mengenai kekerasan seksual bisa bersifat tertutup dan kita memiliki kode etik terkait hal tersebut. Saya kira para jurnalis tentu memahami ini dan tidak akan melakukan peliputan. Namun, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik, kami pastinya tetap harus menyiarkan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Sura Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang menyarankan untuk menyertakan pasal tentang larangan peliputan langsung dalam sidang saat merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Juniver menyarankan pada Pasal 253 ayat 3 untuk memberikan klarifikasi tentang penerbitan proses pengadilan. Menurutnya, seharusnya dilarang siaran langsung selama sidang dan hal tersebut penting untuk disahkan.
“Mengapa perlu kita sepakati hal ini? Karena dalam sidang pidana yang diliputi secara langsung, para saksi memiliki kesempatan untuk mendengarkan satu sama lain, berpotensi memberi pengaruh dan bahkan mencontek. Oleh karena itu, kita setujui,” katanya saat berada di gedung DPR RI pada hari Senin (23/3/2025).