- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, leadership, politics, social issues, teachingbusiness, leadership, politics, social issues, teaching - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
5
Lebih banyak hal hilang karena ketidakputusan daripada keputusan yang salah – Marcus Tullius Cicero
Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan diri dan berkembang sebagai individu yang lebih baik. Salah satunya adalah dengan belajar dari alam; seperti halnya air, yang selalu mengalir ke arah rendah, mirip dengan pelajaran bagi kita agar tak lupa akan mereka yang ada dibawah kendali atau kepemilikan kita—orang-orang tersebut bekerja secara tenang tanpa perhatian khusus namun mendukung kesuksesan kita. Atau dapat juga dipelajari dari lilin, yang bersedia menyumbangkan dirinya hanya untuk memberikan cahaya kepada sekelilingnya. Sejatinya, kepemimpinan mencakup aspek pengorbanan ini.
Ingatan saya melayang kepada suatu narasi biasa namun penuh dengan arti yang mendalam. Narasi tersebut selalu terngiang-ngiang dalam benakku lantaran mengandung pengajaran berharga perihal nilai-nilai, pertimbangan, serta dampak lingkungan. Kisah itu berkisar tentang seekor nenek dan cucunya yang bermukim di sebuah dusun di lereng bukit.
Setelah kedua orangtuanya meninggalkannya karena kecelakaan, seorang anak kecil itu dirawat oleh kakeknynya. Keduanya hidup secara sederhana di daerah pegunungan. Agar bisa memenuhi keperluan harian, si kakek mengumpulkan hasil dari alam terbuka serta merakit kerajinan kayu yang kadang ia jual di pasar yang berada di dasar bukit.
Saat cucunya tumbuh dewasa, si nenek berniat mengirimnya untuk belajar di suatu tempat. Akan tetapi, hal ini dihadang oleh kendala finansial. Harta satu-satunya yang dimiliki keluarga tersebut hanya sebuah keledai. Karena itu, sang nenek memilih untuk menjual binatang tersebut.
Pada pagi hari tersebut, mereka merencanakan pergi ke pasar. Sebab jalannya yang turun sangat curam, sang kakek mengusulkan cucunya duduk di atas keledai sambil dia sendiri berjalan dan mendorong dari belakang.
Setelah melangkah sebentar, mereka menemui rombongan pemburu.
Halo, anak tidak tahu malu! Umur masih muda sudah menjadi tuan. Bukankah lebih baik jika engkau sendiri yang berjalan sementara leluharmu yang telah tua dapat istirahat dengan tenang? teriak seorang pemburu.
Si cucu merasa bertanggung jawab. Dia lalu turun dan menyuruh kakeknya untuk naik menggantikan posisinya.
Perjalanannya dilanjutkan. Ketika di sisi Sungai itu, mereka bertemu dengan sekumpulan wanita yang sedang melakukan pencucian pakaian.
“Astaga, seperti apakah engkau ini, cucuku dikawal oleh anak kecil yang mengenali ternak sementara engkau malah dengan nyaman duduk di atasnya!” seru seorang wanita marah.
Kakek tersebut menceritakan bahwa sebelumnya si cucu lah yang mengendarai keledai itu, tetapi setelah mendapat teguran dari beberapa orang pemburu, mereka menukar tempat. Seorang ibu kemudian memberi saran, “Mengapa kalian tidak berdua saja yang naik keledai ini?”
Kakek tersebut setuju juga. Keduanya naik keledainya lalu melanjutkan petualangan mereka.
Tetapi, tidak jauh dari situ, mereka menemui seorang biarawati. Orang tersebut kelihatan heran menyaksikan kedua-duanya berada di atas keledai.
Apa hatimu telah berhenti berkibar? Sebuah keledai muda diperintah untuk membawa dua orang dewasa? Dimanakan perasaan prihatinmu?
Kakek dan cucunya hanya diam saja.
Mereka kembali turun dan memilih untuk pergi berjalan bersama sambil menggendong keledainya.
Mendekati tempat tujuan di pasar, mereka bertemu dengan seorang penjual.
Hahaha! Kalian benar-benar gILA Ini. Memiliki seekor keledai tapi malah dijinjing. Jika tidak digunakan, untuk apa memiliki keledai?!
Kakek melihat cucunya, diam beberapa saat kemudian mengucapkan, “Naik sendiri itu salah. Tidak naik pun salah. Kalau ditunggangi satu orang itu salah. Bahkan kalau ditunggangi bersama-sama juga salah.”
Kemudian dia menyatakan, “Bisa jadi… satu-satunya cara untuk terhindar dari kritikan adalah dengan membawa beban unta ini bersama-sama.”
Benar sajalah, ketika berada di pasaran, semua orang yang menyaksikan mereka memikul seekor keledai pun ikut tertawa terbahak-bahak kepada mereka.
Kisah ini tampaknya lucu. Namun dibalik lelucon tersebut tersembunyi pelajaran berharga untuk siapapun yang tengah menempuh perjalanan menjadi seorang pemimpin:
Tidak setiap kritik pantas untuk diikuti.
Apabila Anda berusaha untuk membuat setiap orang senang, justru dapat hilang fokus dan tampak konyol. Seorang pemimpin yang efektif mengerti kapan sebaiknya mendengarkan, mengevaluasi, serta lebih penting lagi—kapan perlu bertahan pada pendirian mereka sendiri.
Terkadang, orang-orang yang memimpin berdasarkan hati nurani dan prinsip malah menjadi bahan cemoohan bagi mereka yang tidak mengerti situasinya. Oleh sebab itu, lebih baik berkonsentrasi pada tujuan Anda dibanding mencoba merespons setiap kritik. Pada dasarnya, bukan pendapat orang lain yang menetapkan tingkat keberhasilan kita—melainkan keyakinan kita terhadap nilai-nilai dan visi kami sendiri. Sebagaimana kutipan yang telah saya tuliskan: seringkali kesalahan atau kerugian datang dari ragu-ragu, bukan hanya dari membuat keputusan yang keliru.
Kisah ini bisa saja tampak menggelikan. Tetapi bahkan lebih menghibur ketika aku menanyakan pendapat sahabatku tentang isi kisah ini. Dia menjawab: “Kalau ingin melepas aset, jangan lelang keledainya!”. Sungguh merepotkan!
Salam Tegas,
Freddy Kwan