- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
ecology, environmental science, environmentalism, politics, sustainabilityecology, environmental science, environmentalism, politics, sustainability - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
20
Paus Fransiskus merupakan Paus ke-266 bagi Gereja Katolik Roma dan juga menjadi kepala dari Negara Vatikan (2013—2025). Dikenal akan gayanya dalam kepemimpinan yang sederhana, maju, serta memberikan nasehat dan karya menulis dengan dampak besar di tingkat internasional untuk aspek hidup rohani maupun praktis. Ide pentingnya mengenai kasih sayang kepada alam semesta, menjaga lingkungan, serta tanggap terhadap pemanasan global telah mendalam pengaruhnya di seluruh penjuru dunia.
Paus Fransiskus terkenal sebagai pemimpin yang tajam dan memiliki keprihatinan besar akan masalah lingkungan. Ia bahkan memilih nama tersebut ketika menjadi seorang paus, mengambil inspirasi dari Santo Fransiskus dari Assisi, seorang biarawan pada masa Abad Pertengahan ke-13 yang dianggap sebagai patron ekologi. Paus ini sudah lama aktif untuk mendorong upaya pelestarian alam serta pencegahan perubahan iklim global.
Berikut adalah beberapa warisan yang ditinggalkan oleh Paus Fransiskus terkait masalah lingkungan, dikumpulkan dari berbagai referensi:
1. Encyclical “Laudato Si’”
2. Menyuarakan pentingnya tindakan iklim dan keberlanjutan ekologis.
3. Mendirikan Komisi Diktum Perempuan untuk membahas peranan wanita dalam Gereja.
4. Menggalakkan pemikiran tentang “Ekologi Integral”.
5. Melakukan kunjungan ke tempat-tempat seperti Pulau Besar di New York City sebagai simbol dukungannya kepada komunitas-komunitas pinggiran kota.
Warisan ini mencerminkan pendekatan holistik Paus Fransiskus terhadap tantangan global saat ini termasuk kerusakan lingkungan.
1. Merilis ensiklik Laudato Si’ di tahap awal kepemimpinannya
Paus Fransiskus diangkat menjadi paus pada tahun 2013. Setelah dua tahun memegang tampuk kepalangan, tepatnya pada tahun 2015, beliau merilis ensiklik pertama yang bertajuk “Laudato Si’, On Care For Our Common Home”.
Fyi
Ensiklik adalah salah satu jenis dokumen kepausan yang memiliki tingkat kedudukan paling tinggi.
Laudato Si’ membahas tugas manusia dalam menciptakan bumi pada masa ketika bahaya lingkungan semakin memburuk. Di dalam dokumen ini, Paus Fransiskus merumuskannya sebagai tinjauan singkat dari gagasan dan pengajaran Katolik terkait persoalan-persoalan sosio-lingkungan serta menyajikan perspektif moral dan etis bagi Gereja dan masyarakat global mengenai pemanasan global, keruntuhan biodiversitas, polusi, serta hambatan-hambatan lain yang dialami oleh Bumi dan warganya. Dia turut mengomentari “kebiasaan boros” dan beban “hutang ekologis” yang harus ditanggung oleh negeri-negeri maju karena penyalahgunaan sumber-sumber alam dengan cara kasar.
Karyanya di dalam ensiklik tersebut sukses mengundang respon dunia secara luas. Ensiklik Laudato Si’, yang dikeluarkan tak lama sebelum Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim COP21, memiliki pengaruh besar terhadap hasil perjanjian pada Kesepakatan Paris tahun 2015. Tambahan lagi, gagasan ini pun tampak jelas dalam bagian awal dari Rencana Aksi Global untuk Keanekaragaman Hayati Kunming-Montreal 2022.
Bukan hanya itu saja, pandangan Paus Fransiskus dalam dokumen Laudato Si’ telah berperan besar dalam membawa gereja-gereja Katolik untuk melakukan introspeksi dan bertindak secara lebih mendalam terhadap masalah seperti perubahan iklim, keragaman biologi, pencemaran, hak-hak suku asli, serta isu-isu lingkungan lainnya. Hal tersebut bahkan mencetuskan gelombang baru dalam aktivis pelayanan lingkungan yang dikenal dengan nama “Gerakan Laudato Si”. Gerakan ini melibatkan sekitar 900 organisasi Katolik bersama dengan 10.000 individu yang dipandang sebagai ‘pembimbing’ atau “animators” dari Laudato Si’, yakni para pemimpin di setiap komunitas mereka.
2. Meluncurkan “Querida Amazonia” sebagai ungkapan cintanya terhadap lingkungan dan komunitas asli.
Paus Fransiskus menjadi paus pertama asli dari Benua Amerika Selatan. Dia dilahirkan dan dibesarkan di Argentina, anak dari para imigran Italia. Karena latar belakangnya sebagai imigran, dia dengan keras menegaskan pentingnya hak untuk komunitas lokal dan mereka yang tertindih atau merasa dikesampingkan. Tak sekadar itu, Paus ini tak henti-hentinya berbicara tentang dampak negatif pada lingkungan, khususnya masalah-masalah lingkungan yang ada di daerah tempat dirinya tumbuh, yaitu Amerika Selatan.
Demi mengadvokasi perlindungan lingkungan serta kesejahteraan penduduk lokal, Paus Fransiskus meluncurkan sebuah buku berjudul “Querida Amazonia” (Amazon Yang Dihargai) pada tahun 2020. Karya ini mencakup seruan mendesak kepada global untuk bekerja sama dalam pemulihan hutan Amazon, area hutan tropis terbesar yang ada hari ini. Di samping itu, tujuan lain dari rilisan buku tersebut adalah untuk menjamin bahwa kelompok-kelompok asli yang tinggal di sekitarnya dapat menjalani kehidupannya dengan layak dan aman.
Artikel ini memiliki pengaruh signifikan pada skala global pula. Menyambut dukungannya, Program Lingkungan PBB bekerja sama dengan beberapa grup ekologi bertema keagamaan guna mendirikan lembaga perjuangan demi melindungi lingkungan serta hak-hak komunitas asli. Sampai sekarang, badan tersebut sudah aktif di banyak negara di seluruh penjuru bumi, termasuk Brasil, Peru, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia.
3. Meluncurkan sekuel dari Laudato Si’, yang berjudul Laudate Deum
Setelah delapan tahun sejak rilis Laudatu Si’, Paus Fransiskus merilis lanjutan dari tulisan tersebut, yakni Laudate Deum, pada Oktober 2023, tak lama sebelum penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) COP28 di Dubai. Dokumen baru ini menekankan urgensi permintaan Paus Fransiskus agar para pemimpin dunia bertindak cepat dan tegas atas ancaman pemanasan global yang tengah dialami planet kita. Dalam ensiklik barunya itu, ia secara tajam mengkritik para pengambil keputusan internasional karena tidak memenuhi komitmen mereka sesuai dengan Kesepakatan Paris tahun 2015.
Dalam hal tersebut, Paus Fransiskus mengungkapkan semangat positif serta ketidakpuasan terkait kemajuan-kemajuan dari kesepakatan-kesepakatan internasional saat ini. Dia juga menyuarakan keprihatinan atas kelumpuhan sistem politik dunia yang dinilai kurang berhasil menerapkan Kesepakatan Paris dengan tujuan membatasi peningkatan temperatur global di bawah 2 derajat Celcius. Lebih lanjut lagi, dia menekankan pentingnya menggunakan sumber daya energi fosil secara bertanggung jawab karena menjadi faktor utama penyebab perubahan iklim.
Dalam pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) pada tahun 2024 di Azerbaijan, Paus Fransiskus turut menyampaikan beberapa tulisan penting tentang perlindungan alam dan lingkungan meski dalam situasi kesehatannya yang kurang baik. Dalam tulisannya tersebut ia membahas ancaman-ancaman lingkungan yang hadir serta mendorong negara-negara dengan emisi gas rumah kaca tertinggi untuk mengenali “hutang ekologis” mereka terhadap negara lain. Selain itu, dia juga mendesak pendirian struktur finansial global baru didasari oleh nilai-nilai kesamaan, keadilan, dan persaudaraan.
Di luar konsep-konsepnya yang memiliki dampak besar terhadap masalah lingkungan, Paus Fransiskus juga dengan tegas mendorong adanya tindakan atas nama ciptaan tersebut. Dia menetapkan Hari Doa Dunia untuk Pelestarian Ciptaan pada tanggal 1 September dalam kalender liturgis. Dalam kesempatan ini, dia mengajak jemaah Katolik untuk merayakan satu bulan Musim Kreativitas bersama komunitas Kristen global.
Di tahun 2019, Paus Fransiskus turut mensupport ajakan agar “kejahatan lingkungan” dikenali sebagai pelanggaran perdamaian kelima dalam pertemuan tentang perubahan iklim yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik. Ia menempatkan tindak pidana ini sejajar dengan genosida serta pemurniaan suku atau ras. Selain itu, dia mengklaim bahwa perilaku semacam itu merupakan sebuah dosa.
Paus Fransiskus dikenal sebagai seorang pahlawan lingkungan yang tekun selama menjabat selama 12 tahun. Di bawah kepemimpinannya, dia menghasilkan ide-ide brilian tentang konservasi alam, ekosistem, dan dampak perubahan iklim. Konsep-konsep ini bahkan berpengaruh pada banyak kebijakan global, termasuk diskusi di Forum Perjanjian Paris 2015.