- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, health, healthcare and medicine, insurance, newsbusiness, health, healthcare and medicine, insurance, news - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
4
,
Jakarta
– Pakar asuransi Irvan Rahardjo percaya bahwa peraturan bagi-bagi risiko akan menguntungkan masyarakat dan industri secara keseluruhan.
co-payment
tidak akan menurunkan antusiasme publik dalam pembelian
asuransi
Kesehatan menjadi masalah karena menurutnya, permintaan klaim asuransi kesehatan atau biaya medis semakin naik dan melampaui presentase pembayaran yang seharusnya diterima oleh para pemegang polis.
Penengahi dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengatakan penting adanya pendidikan bagi para nasabah untuk memperjelas bahwa mekanisme pembagian resiko sangat dibutuhkan guna mendukung kelangsungan operasional asuransi saat proses klaim. Dia menyebut opsi tersebut jauh lebih baik daripada situasi di mana nasabah harus membayar premi yang semakin naik.
Irvan menegaskan bahwa perusahaan asuransi perlu memperbaiki kualitas layanan dan tingkat efisiensinya sambil memberitahu para pemegang polis bahwa mereka bersama-sama dalam satu kapal. “Asuransi merupakan bentuk kerjasama antar sesama,” katanya.
Berbagi penderitaan, berbagi keuntungan
,” katanya saat dihubungi
Tempo
Pada Hari Minggu, 8 Juni 2025.
Menurut Irvan, peraturan ini juga bertujuan untuk mencegah
overutilization
atau penyalahgunaan keuntungan yang seringkali terjadi di lingkungan industri asuransi kesehatan. “Saat ini, di dunia asuransi kesehatan, telah menjadi hal biasa tingkatannya sebagai sebuah rahasia umum.”
moral hazard
atau
fraud
“diketahui sangat tinggi,” katanya.
Aturan
co-payment
tertuang dalam Surat Edaran dari Otoritas Jasa Keuangan (
OJK
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2025 mengenai Pelaksanaan Produk Asuransi Kesehatan. Di dalam rancangan tersebut,
co-payment
Pemegang polis wajib membayar setidaknya 10% dari jumlah seluruh klaim yang diajukan, dengan batasan tertinggi Rp 300.000 untuk biaya rawat jalan tiap kali mengajukan klaim. Sedangkan untuk biaya rawat inap, batas maksimal adalah Rp 3.000.000 per pengajuan klaim. Keputusan ini akan efektif pada tanggal 1 Januari 2026.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Ismail Riyadi menyampaikan bahwa Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) itu disahkan dengan memperhitungkan pertumbuhan laju inflasi sektor kesehatan yang semakin naik. “Dengan aturan ini, kami berharap dapat mendukung penghematan biaya pendanaan pelayanan perawatan kesehatan untuk periode waktu lama, sesuai dengan kondisi saat ini dimana tingkat inflasi bidang kedokteran sedang melonjak,” ungkap Ismail Riyadi dalam rilis formal pada hari Kamis, tanggal 5 Juni 2025.
Menurut laporan Global Medical Trend Rates 2025 dari Aon, laju inflasi kesehatan bruto di Indonesia untuk tahun ini diproyeksikan sebesar 16,2%. Sementara itu, estimasi inflasi medis bersihnya adalah 13,6%. Di sisi lain, tingkat inflasi keseluruhan di tanah air tercatat sekitar 2,6%.
Aturan Co-Payment Menuai Kritik
Forum Konsumen Terdidik Indonesia (FTKI) mengkritisi peraturan tersebut
co-payment
Justru hal ini bisa menurunkan antusiasme orang untuk bergabung dalam program asuransi. Seperti yang dikatakan oleh Ketua FKBI Tulus Abadi, citra sektor asuransi di pandangan publik tengah memburuk akibat beberapa skandal besar seperti kegagalan pembayaran kepada pelanggan serta tuduhan korupsi.
Tulus juga mencurigai bahwa OJK, yang bertindak sebagai pengawas, tidak mengikutsertakan lembaga konsumen ketika menyusun peraturan itu. “Peraturan ini mengecilkan hak-hak konsumen sebagai pemegang polis asuransi,” ungkap Ketua FKBI Tulus Abadi dalam sebuah pernyataan tertulis pada hari Kamis, tanggal 5 Juni 2025.
Kritikan juga datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Berdasarkan Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo, pihak yang berpartisipasi harus dilindungi sepenuhnya oleh perusahaan asuransi sebagai upaya perlindungan bagi para konsumen. Dia menambahkan bahwa hal tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab perusahaan asuransi.
“Di saat konsumen berada di pertengahan jalur, mereka terpaksa menghadapi modifikasi yang kurang memberi manfaat dan malah bisa membawa kerugian,” ungkap Rio ketika ditemui oleh Tempo pada hari Kamis, 5 Juni 2025. Lembaga YLBK juga telah menyarankan agar Otoritas Jasa Keuangan melakukan evaluasi kembali atas kebijakan tersebut.