- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
asia, controversies, islam, religionasia, controversies, islam, religion - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
2
Pejabat Pelaksana Ibadah Haji dari Arabia Saudita menemui serangkaian tantangan saat memposisikan para jamaah di tenda-tenda Arafah. Muchlis M Hanafi, ketua Pejabat Pelaksana Ibadah Haji Arabian Saudi tersebut, menyebut bahwa persoalan ini disebabkan oleh beberapa hal teknikal, sosial, dan budaya yang mengarah kepada kemacetan area tenda serta kesulitan dalam pendistribusian pasokan barang-barang penting.
Wukuf di Arafah, sebagai titik puncak dalam ibadah haji tahun tersebut, terjadi pada tanggal 9 Zulhijah 1446 Hijriyah atau tepatnya pada 5 Juni 2025. Para jemaah haji asal Indonesia direncanakan akan dipindahkan dari penginapan mereka di Mekkah ke area Arafah pada 4 Juni 2025. Namun demikian, beberapa calon jamaah menghadapi kendala dan tak dapat menemukan posisi untuk diri mereka sendiri di tenda-tenda yang disediakan di lokasi Wukuf.
“Menggantungkan nama Ketua PPIH Arab Saudi, saya ingin mengucapkan permintaan maaf kepada beberapa jemaah haji dari Indonesia karena telah merasakan ketidaknyamanan,” ujar Muchlis di Makkah, pada hari Sabtu, 7 Juni 2025.
Muchlis mengatakan bahwa beberapa faktor menjadi penyebab utama permasalahan dalam penempatan jemaah di Arafah. Faktanya, banyak tenda yang belum sepenuhnya dimanfaatkan meski masih memiliki ruang kosong dan hal ini disebabkan oleh beragam alasan sehingga tak dapat dioptimalkan untuk menampung lebih banyak jemaah.
“Sebagai contoh, jika ada sebuah tenda dengan kapasitas 350 orang, tetapi hanya ditempati oleh 325 jamaah dari satu grup saja, maka tenda tersebut tidak bisa digunakan lagi untuk jamaah lain, walaupun mereka berasal dari markaz yang sama,” katanya.
Kedua, sistem keberangkatan jamaah berdasarkan akomodasi hotel membuat perencanaan dan penempatan menjadi lebih rumit. Penyortiran jamaah di hotel-hotel Mekkah umumnya didasari oleh pusat aktivitas (markaz) dan kemitraan bisnis (syarikah). Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa jamaah yang memutuskan untuk mengubah tempat tinggal mereka ke hotel lain walaupun hal ini bisa saja melibatkan pergantian pusat aktivitas atau kemitraan, bukan hanya disebabkan gabungan pasangan.
“Karena metode keberangkatan dari Makkah menuju Arafah mengadopsi konsep perhotelan, bukan berdasarkan pusat atau persekutuan, sehingga beberapa tenda menjadi penuh lebih awal, bahkan sebelum para jemaah yang telah ditugaskan untuk tinggal di sana sampai di tempat,” katanya.
Ketiga, jumlah personel kurang seimbang dengan jumlah jamaah. Pihak berwenang Arab Saudi sudah menugaskan pelayanan ke tiga area operasional tersebut. Area operasional untuk bandara bertanggung jawab atas pelayanan jemaah di Arafah, sementara itu area operasional Mekkah yang ada di Muzdalifah dan area operasional Madinah yang terletak di Mina masing-masing memiliki tanggung jawabnya sendiri.
“Dengan jumlah personel terbatas, staf perlu menangani lebih dari 203 ribu jamaah yang tersebar di 60 markaz di Arafah. Hal ini membuat sulit untuk mendukung petugas markaz dalam menjaga ketertiban penempatan. Banyak anggota tim bahkan merasa lelah,” katanya.
Keempat, masalah mobilitas jemaah yang tak terkontrol. Menurut penjelasannya, banyak jemaah pindah tenda sendiri-sendiri agar bisa bertemu dengan keluarga atau teman sesama asal daerahnya. “Hal itu membuat pendistribusian beban di tenda menjadi lebih buruk dan mengganggu pengawasan layanan secara umum,” tambahnya.
Keadaan ini juga mempengaruhi sistem pendistribusian kebutuhan bagi para jemaah. Saat di Arafah, jemaah haji dari Indonesia diberikan lima kali makan antara tanggal 8 sampai 9 Zulhijah tahun 1446 Hijriyah. Halangan timbul akibat penempatan jemaah yang tak sejalan dengan perencanaan awal sehingga membuat pihak syarikah atau markaz menghadapi kesulitan dalam melakukan pembagian makanan dan logistik.
“Beberapa jamaah gagal mendapat porsi makan sesuai waktu karena informasi penyebaran yang ada di Markaz/Syarikah tak sejalan dengan situasi aktual,” kata Muchlis.