- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
diet and nutrition, eating habits, food and drink, health, nutritiondiet and nutrition, eating habits, food and drink, health, nutrition - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
8
–
Selama perayaan Idul Adha, pengonsumsian daging, terutama daging kambing dan sapi, biasanya naik secara signifikan di kalangan masyarakat.
Ritual makanan berbahan utama daging hewan korban seperti sate, gulai, serta tongseng telah menjadi bagian tak terpisahkan dari acara yang ditunggu-tunggu.
Akan tetapi, mengonsumsi daging dalam jumlah besar serta tidak mempertimbangkan metode pemrosesan bisa menaikkan kemungkinan terkena penyakit metabolik seperti kadar kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan masalah pada jantung.
Maka, berapakah jumlah tertinggi daging yang dapat dikonsumsi untuk menjaga kesehatan?
Ahli nutrisi menyarankan batas maksimum 50-70 gram setiap porsi dan hanya tiga kali seminggu.
Pakar nutrisi dari Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya, Lailatul Muniroh SKM MKes, menyarankan kepada publik untuk tetap berhati-hati saat memakan daging hewan qurban.
Dia menekankan bahwa inti dari pola makan yang sehat tidak terletak pada pembatasan, tetapi pada keseimbangan dan penyadaran diri.
“Bukan bermakna sama sekali tak boleh menyantap daging. Tetap bisa dilakukan, selama paham kapan harus berhenti serta cara memasak yang tepat,” tutur Lailatul di hari Kamis (5/6/2025), sebagaimana dirangkum dari sumber tersebut.
Antara.
Menurutnya, salah satu aspek krusial yang harus diwaspadai adalah jumlah tertentu dari daging merah matang yang dapat dikonsumsi tanpa membahayakan kesehatan seseorang.
“Jumlah yang aman untuk mengonsumsi daging merah setengah matang adalah antara 50-70 gram per porsinya, dengan batas maksimum dua sampai tiga kali dalam satu minggu,” jelasnya.
Singkatnya, masyarakat harus membatasi konsumsi daging merah agar tidak setiap hari dan dalam jumlah besar.
Dia juga menyatakan bahwa organ dalam hewan harus dikurangi karena memiliki kadar kolesterol yang lumayan tinggi.
Proses memasak daging pun harus menjadi perhatian.
Lailatul menekankan bahwa proses memasak dengan tepat dapat sangat mempengaruhi kadar lemak serta kemungkinan terbentuknya zat-zat berbahaya pada daging.
Teknik memasak dengan suhu tinggi, misalnya deep frying atau grilled sampai hangus, bisa menciptakan zat-zat tidak sehat semacam amina heterosiklik serta hidrokarbon aromatik polisiklik yang mungkin memiliki sifat karsinogenik.
“Teknik memasak dengan suhu rendah seperti pengukusan atau perebusan jauh lebih baik untuk kesehatan daripada menggoreng atau membakar sampai gosong,” ungkapnya.
Di samping itu, dia juga meniadakan kesalahpahaman yang tersebar di kalangan masyarakat tentang metode membersihkan daging.
Banyak orang meyakini bahwa membersihkan daging menggunakan air hangat atau limau nipis dapat mengurangi tingkat kolesterolnya. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa pandangan itu tidak benar.
“Kolesterol terdapat pada jaringan otot daging dan tidak dapat larut dalam air. Oleh karena itu, membasuh daging tidak akan menurunkan kadar kolesterolnya,” katanya.
Daging kambing tidak jauh berbeda dalam hal keberbahayanya dibandingkan dengan daging sapi.
Lailatul juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa daging kambing lebih ‘merbahaya’ daripada daging sapi.
Malahan dalam berbagai kejadian, daging kambing memiliki kadar lemak jenuh serta kalori yang lebih sedikit daripada daging sapi.
“Lebih utama adalah tentang kuantitas dan bagaimana memprosesnya, bukan tipe dagingnya,” katanya.
Untuk memastikan keuntungan dari mengonsumsi daging tetap maksimal, dia menyarankan kepada publik agar mencakup makanan kaya serat seperti sayuran dan buah pada tiap hidangan.
“Campuran daging bersama serat dan protein dari tumbuhan dapat mendukung sistem pencernaan serta mengatur tingkat kolesterol,” jelasnya.
Dengan memperhatikan jumlah sajian serta bagaimana proses pembuatannya, masyarakat masih dapat menyantap masakan spesial Lebaran Haji tanpa perlu mengorbankan kondisi kesehatan mereka.