- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, government, government regulations, indonesia, newsbusiness, government, government regulations, indonesia, news - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
5
JAKARTA
— Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari menyokong keputusan pemerintah untuk menangguhkan sementara aktivitas beberapa perusahaan pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, serupa dengan yang telah diterapkan pada PT Gag Nikel, bagian dari PT Antam Tbk.
Namun, dia menuntut agar beberapa perusahaan lain yang beraktifitas di area Raja Ampat pun diberhentikan.
Lebih lanjut, ditemukan adanya pelanggaran oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
“Tentu saja saya mengapresiasi kecepatan pemerintah dalam menangguhkan operasional PT Gag Nikel, walaupun hanya bersifat sementara. Namun, harapan saya adalah perusahaan-perusahaan lain juga segera ditangguhkannya aktivitas mereka dan beberapa bahkan patut mencabut izin yang dimiliki sesuai dengan laporan dari KLH,” jelas Ratna ketika ditemui oleh media pada hari Minggu tanggal 8 Juni 2025.
Ratna membongkar tiga perusahaan tambahan yang dicurigai erat telah melanggar aturan di Raja Ampat, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sebagai yang pertama.
Menurut dia, PT ASP menjalankan aktivitas penambangan di Pulau Manuran yang mencakup area sebesar 746 hektare tanpa adanya sistem manajemen lingkungan atau proses pengolahan air buangan.
“KLH telah menyampaikan hasil pemantauannya dan mengungkapkan adanya kebocoran di kolam settling pond disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Melalui gambar dari drone dapat diamati bahwa pantai menjadi keruh karena endapan sedimen. Hal ini lah yang menimbulkan kerusakan pada kawasan Raja Ampat,” ungkap Ratna.
Kedua, melanjutkan Ratna, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), sebuah perusahaan tambang nikel terbentuk pada bulan Agustus tahun 2023.
Perusahaan sudah memiliki Izin Usaha Pertambangan sejak tanggal 30 Desember 2013 dan akan berlaku selama dua puluh tahun dengan area izin mencapai 5.922 hektar.
Namun, permasalahan dimulai pada tahun 2024 ketika penambangan biji nikel akan dilakukan dengan area pertambangan mencapai 89,29 hektare. Tambang tersebut berada di luar batas izin lingkungan serta melebihi kawasan PPKH sebesar 5 hectare di Pulau Kawe dan sudah menyebabkan endapan sedimen hingga ke daerah tepian pantai termasuk akar dari vegetasi mangrove,” jelas Ratna.
Ketiga, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Menurut Ratna, MRP mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang meliputi lahan seluas 2.194 hektare, termasuk Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele di Distrik Waigeo Barat Kepulauan.
Namun dalam catatan KLH, perusahaan PT MRP tersebut tidak mempunyai PPKH. Justru mereka telah melakukan eksploitasi mulai 9 Mei 2025 di kawasan Pulau Batang Pele, yang berada di kabupaten Raja Ampat. Untuk mengumpulkan sampel inti, perusahaan ini menggunakan total 10 buah bor coring, demikian tutup Ratna. (m27)