- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
events and festivals, history, indonesia, islam, religionevents and festivals, history, indonesia, islam, religion - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
4
PERJALANAN
Menuju Mina tahun ini menghadirkan kisah penuh perjuangan dari para jemaah haji. Salah satunya adalah Rifqi Athallah (25), seorang jemaah asli Indonesia, yang berbagi tentang pengalamannya yang sarat dengan tantangan saat ia melakukan gerakannya menuju Mina, mulai dari Muzdalifah, Mekkah, Arab Saudi.
Pada pernyataannya Sabtu (7/6/2025) pagi waktu lokal, Rifqi menceritakan suasana yang ramai, kurang teratur, serta membuat banyak jemaah harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga 4 kilometer sambil menenteng beban bawaan mereka.
Rifqi menceritakan bahwa mereka dijemput dari Arafah pada waktu pukul setengah satu malam. Sesampainya di Muzdalifah, mereka mengumpulkan batu dan kemudian menunggu petunjuk dari pimpinan rombongan.
Dia menggambarkan situasi pada waktu itu sebagai sesuatu yang telah dipadati oleh banyak orang, dengan antrian untuk mencapai bis menjadi sangat panjang dan berantakan. Dia menambahkan bahwa “banyak jemaah sudah lelah, tertidur seperti ayam sejak semalam. Beberapa bahkan memaksakan diri melintasinya dengan menerobos pagar, melempar tas mereka di luar pagar, kemudian menyusul teman-temannya dengan merayap dibawahnya.”
Karena kemacetan parah dan kurangnya pemberitaan pasti, para peziarah pada akhirnya diperintahkan untuk siap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Mina. Rifqi menceritakan bahwa dia terpaksa membawa tasnya sendiri karena bobotnya yang cukup berat serta kondisinya yang telah rusak. Dia berkata, “Saya tutupi barang-barang itu menggunakan selimut yang saya dapat di pinggir jalan, lalu saya tarik sebab tas tersebut bolong. Bahkan sampai robek juga gara-gara terseret di atas aspal.”
Menurut dia, situasi di jalan raya cukup macet. Terdapat banyak jemaah berasal dari beragam negara yang menjejali trotoar. “Mereka yang tadinya naik bus kemudian memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Ada juga orang-orang dari Afrika dan negeri-negeri lain yang telah mulai bergerak sejak subuh. Akibatnya, seluruh jalanan menjadi sesak,” ungkap Rifqi.
Dia menunjukkan bahwa selama perjalanannya ada titik pemberian air minum gratis yang sangat bermanfaat, namun demikian kondisi fisik para peserta masih sangat terkuras. Walaupun dia tidak secara langsung melihat ada jamaah yang tertimpa atau cidera serius, Rifqi menceritakan bahwasanya banyak orang yang sempat terseret dan jatuh.
“Beberapa pengguna kursi roda ikut bergoyang-goyang di luar barisan, dan tak seorang pun menolong mereka. Saya percaya bahwa setiap orang sedang fokus untuk bertahan sendiri-sendirinya,” jelasnya.
Di Mina, kesulitan masih berlanjut. Ketika sampai, Rifqi dan kelompoknya menemukan bahwa semua tenda telah penuh. Sebagian jemaah lanjuk usia serta wanita tak memiliki tenda atau tempat tidur. Ada yang harus bergabung dalam satu tenda bersama lebih dari dua orang, bahkan beberapa tenda untuk wanita pun campur aduk dengan kaum lelaki. Begitu dia menjelaskan hal ini.
Dia menganggap penempatan tenda di Mina kurang efisien dibandingkan dengan Arafah. Dia menyebut bahwa mereka telah disesuaikan berdasarkan kelompok dan rombongan tetapi masih banyak yang belum mendapatkan tempat. Hasilnya, banyak orang akhirnya terpaksa tidur di luar atau mencoba memasuki tenda milik orang lain,” katanya.
Keadaan tersebut diperburuk oleh pendistribusian pangan yang terbatas. “Beberapa orang tidak memperoleh ransum harian lantaran metode pembagiannya didasarkan pada jumlah individu di tiap tenda,” imbuhnya.
Rifqi menyatakan apreasiasinya terhadap peningkatan pada aspek konsumsi sepanjang tahun ini. Meski demikian, dia mengkritisi ketidakjelasan tentang transportasi dan akomodasi. Dia menjelaskan, “Alhamdulillah, soal makanan sudah aman. Tetapi persoalan berkaitan dengan tenda dan transportasi memerlukan perhatian khusus. Diperlukan kerjasama yang lebih baik di antara pihak pemerintahan dan badan swasta.” Demikian katanya dengan tegas.
Menurut Rifqi, para jamaah mengeluhkan kurangnya informasi lengkap dan transparan. Sebagian besar dari mereka hanya dapat menerka-nerka waktu kedatangan bis atau tujuan berikutnya. Dia menambahkan, “Kita semua telah lelah namun masih perlu mempersiapkan diri untuk melempar jamuan pada sore hari. Bahkan banyak di antara kita yang belum sempat istirahat.”
Cerita Rifqi menunjukkan bahwa implementasi ibadah haji, terutama di sektor Mina, masih sangat memerlukan peningkatan besar-besaran dari segi manajemen persediaan, pengendalian kerumunan, serta sinkronisasi antara lembaga-lembaga yang terlibat. Dia mendoakan agar dievaluasi secara komprehensif sehingga insiden semacam itu tak akan terjadi lagi.
“Apa yang kita alami kemungkinan besar juga dialami oleh ribuan jemaah lainnya. Kami berharap akan ada tindakan konkret sebagai respon. Sebab ibadah ini bersifat suci, dan para jemaah membutuhkan perasaan aman serta kenyamanan saat melaksanakan rukun Islam kelima,” ungkap Rifqi.
cnnindonesia
)