- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
indonesia, investing business news, investing company news, metals, newsindonesia, investing business news, investing company news, metals, news - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
3
Berikut adalah peringkat 10 tambang nikel terbesar di planet bumi, dengan Indonesia menduduki posisi nomor satu.
Peta industri penambangan nikel dunia telah berubah secara dramatis dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan produksi kian mendominasi di area-area spesifik.
Di manakah lokasi penambangan nikel terbesar di dunia dan juga di Indonesia?
Indonesia sudah tampil sebagai sorotan utama dalam produksi nikel secara global, menguasai ladang nikel raksasa yang merupakan yang terbesar di dunia serta sejumlah proyek skala besar lainnya.
Ketersediaan deposit nikel laterit yang berlimpah di Indonesia serta kebijakan pemerintah yang mendorong pengolahan lokal telah mengundang investasi besar-besaran dari korporasi tambang global.
Sejak pelaksanaan pembatasan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, Indonesia sudah mendesak perusahaan tambang untuk meningkatkan kapabilitas pengolahan lokalnya.
Kebijakan strategis ini telah menarik lebih dari $30 miliar investasi asing langsung untuk fasilitas pengolahan nikel, yang pada gilirannya melipatgandakan kemampuan pencairan nikel di Indonesia dari tahun 2020 hingga 2023.
Beberapa negara lain pun ternama sebagai penghasil nikel utama.
Berikut adalah 10 tambang nikel terbesar di dunia menurut laporan dari discoveryalert.com.
1. Projek Weda Bay (Indonesia)
Produksi tahunan: 516.700 ton nikel (2023)
Pemilik: Tsingshan Holding Group
Jenis tambang: Permukaan (greenfield)
Lokasi: Maluku, Indonesia
Perkiraan penutupan: 2069
Proyek Weda Bay menonjol dengan kapasitas uniknya, menghasilkan lebih dari lima kali jumlah produksi tambang nikel terbesar kedua di planet ini.
Dengan perpanjangan masa berlaku hingga tahun 2069, proyek raksasa ini akan menjadi fondasi suplai nikel global untuk beberapa dasawarsa ke depan.
Proyek skala besar ini adalah buah dari sumber daya berlimpah dan visi strategis Tsingshan.
Perusahaan itu sudah menanamkan dana sebesar kira-kira $10 miliar sampai hari ini, membentuk sistem lengkap untuk pertambangan, pengolahan, serta pembuatan yang meliputi semua tahap nilai tambah mulai dari pengekstrakan hingga produksi besi tahan korosi dan material baterai.
Deposisi laterit dalam proses ini menunjukkan konsentrasi yang agak lebih tinggi (rata-rata 1,8 persen nikel) dibandingkan dengan sumber daya di Indonesia secara umum, sehingga menciptakan manfaat finansial.
Saat ini cadangannya diperhitungkan mencapai 9,3 juta ton nikel, sehingga mengukuhkannya sebagai salah satu dari yang terbesar dalam hal sumber daya nikel global.
Rbeklaring jejak lingkungan Wilayah Weda Bay masih cukup besar walaupun memiliki keuntungan dalam hal efisiensi, di mana proses operasionalnya membutuhkan sekitar 320 MW tenaga listrik, mayoritas berasal dari energi batubara.
Perusahaan sudah menyatakan niatnya memindahkan 40% dari kebutuhan tersebut menuju energi terbarukan sebelum mencapai tahun 2030, namun detail waktu implementasinya masih belum ditentukan.
2. Proyek PT Halmahera Persada Lynx (Indonesia)
Produksi tahunan: 95.180 ton nikel (2023)
Pemilik: Ningbo Lygend Mining
Lokasi: Maluku Utara, Indonesia
Proyeksi ini mencerminkan pertumbuhan cepat dari industri nikel di Indonesia, dimana kemampuan produksinya secara signifikan melebihi kebanyakan kompetitor internasional dan menjadikannya sebagai produsen nikel nomor dua terbesar di planet ini.
Investasi Ningbo Lygend sebesar $1,45 miliar pada teknologi HPAL membolehkan instalasi ini mengolah biji laterit bermutu rendah (umumnya 1,0-1,3 persen Ni) jadi bahan berkualitas tinggi untuk baterai.
Output hasil proyek ini difokuskan khususnya pada jaringan suplai kendaraan listrik, di mana adanya perjanjian pembelian awal telah menjamin sebagian besar produksinya sampai tahun 2030.
Fasilitas tersebut memproduksi lapisan hidroksida campur yang berisi kira-kira 37% nikel, menjadikannya salah satu hasil samping dengan tingkat kehalusan terbesar dalam industri tambang Indonesia.
Capaian tersebut sudah membuat Lygend menjadi pionir teknikal di bidang pengolahan laterit.
Semua tahap arus bahan dalam operasional sudah diubah ke format digital dengan memakai sensor Industri InternetThings (IIoT). Ini membentuk apa yang karyawan perusahaan sebut sebagai “twin digital” dari aktivitas nyata, sehingga bisa meningkatkan laju produksi serta peningkatan pengembalian secara langsung.
3. Tambang Taganito (Filipina)
Produksi tahunan: 70.410 ton nikel (2023)
Pemilik: Nickel Asia
Jenis tambang: Permukaan (greenfield)
Tempat: Surigao del Norte, Filipina
Perkiraan penutupan: 2049
Taganito Mine adalah tambang nikel yang paling besar di Filipina serta salah satu projek penggalian mineral utama di ASEAN, memiliki daya tampung produksi tinggi dan estimasi masa beroperasi lama.
Kerjasama antara Nickel Asia dan Sumitomo Metal Mining telah mendukung pembangunan pabrik pengolahan HPAL di dekatnya, sehingga menjadikan Taganito sebagai salah satu dari beberapa instalasi di Filipina yang menghasilkan produk berkualitas premium dibandingkan hanya mengeksport biji mentah.
Investasi senilai $1,7 miliar telah dialokasikan untuk fasilitas tersebut di bidang pengolahan downstream.
Area penambangan laterit di lokasi tersebut menjangkau kira-kira 4.376 hektar dengan konsentrasi nikel ratarata sebesar 1,44 persen.
Waktu penggunaan sisa yang mencapai lebih dari 25 tahun membuatnya menjadi aset berharga untuk industri pertambangan di Filipina, khususnya mengingat bahwa tambang-tambang utama lainnya seperti Rio Tuba akan segera tutup.
Taganito sudah mengimplementasikan pendekatan pemulihan baru, melibatkan penanaman jenis pohon lokal serta menggunakan teknologi biokimia yang berhasil mengekspansi kembali sekitar 300 hektar lahan bekas tambangan menjadi daerah dengan fungsi produksi.
4. Tambang Sorowako (Indonesia)
Produksi tahunan mencapai 64.100 ton nikel pada tahun 2023.
Pemilik: Vale
Jenis tambang: Permukaan (brownfield)
Lokasi: Sulawesi Selatan, Indonesia
Perkiraan penutupan: 2045
Dikuasai oleh perusahaan tambang internasional besar Vale, Tambang Sorowako adalah salah satu dari sedikit operasi penambangan nikel yang telah berjalan lama di Indonesia. Dengan kemampuan produksi yang cukup tinggi, tambang ini masih memiliki umur operasional sekitar dua puluh tahun lagi.
Sejak tahun 2018, Vale sudah menanamkan investasi lebih dari $600 juta guna mendigitalisasikan prosesnya, di mana prioritas utama adalah meningkatkan persentase pemulihan serta performa ramah lingkungan.
Formasi perusahaan terbaru yang bernilai US$4,5 miliar melalui kerja sama dengan CATL mencerminkan posisi penting Sorowako di dalam jaringan suplai material baterai.
Faktorya pengolahan ini menghasilkan nikel besi untuk keperluan baja antikarat konvensional serta deposito hidroksida campurannya yang semakin meningkat untuk industri baterai.
Model pasar ganda ini menawarkan kelincahan dalam menghadapi pergantian tren permintaan di antara berbagai macam aplikasi untuk industri transisi dan sumber daya energi.
Sorowako menyerap lebih dari 3.000 karyawan dan sudah mengadakan berbagai macam program pembangunan masyarakat yang telah jadi standar untuk industri tambang di Indonesia, seperti proyek pendidikan yang mendanai lebih dari 5.000 pelajar setempat.
5. Proyek PT Huayue Nickel Cobalt (Indonesia)
Produksi tahunan: 42.000 ton nikel (2023)
Pemilik: Huayou Cobalt
Tipe tambang: Greenfield
Lokasi: Sulawesi Tengah, Indonesia
Proyek ini menggarisbawahi betapa krusialnya pengembangan proyek nikel-kobalt untuk rantai pasokan bahan bakar baterai, menjadikan Indonesia sektor utama dalam suplai bahan untuk kendaraan berbasis elektrik.
Investasi senilai $1,2 miliar oleh Huayou Cobalt dalam proyek ini mencerminkan peralihan strategis ke arah produksi nikel berkualitas tinggi untuk baterai.
Proses ini ditujukan khususnya pada penghasilan endapan hidroksida campuran (MHP), yang merupakan bahan penting sebagai precursor untuk komponen katoda dalam kendaraan listrik dengan nilai jual lebih tinggi daripada produk feronikel konvensional.
Proyek ini adalah bagian dari strategi Huayou berbasis di Tiongkok untuk memastikan pasokan sumber daya awal dalam mendukung industri bahan baterainya. Perusahaan tersebut menyatakan, “Integrasi sektoral mulai dari pertambangan hingga ke materi katoda memberi kita kontrol penuh atas jalur pasokan vital saat persaingannya makin kompetitif.”
Hubungan yang dekat dengan Kawasan Industri Morowali Indonesia menghasilkan manfaat dalam hal distribusi dan kerjasama dengan berbagai instalasi pengolahan lainnya, sehingga meningkatkan posisi Sulteng menjadi sentra produksi material untuk baterai di kancah internasional.
6. Proyek Ambatovy (Madagaskar)
Produksi tahunan: 40.950 ton nikel (2023)
Pemilik: Sumitomo
Jenis tambang: Permukaan (brownfield)
Lokasi: Atsinanana, Madagaskar
Perkiraan penutupan: 2048
Proyek Ambatovy adalah penambangan nikel yang paling besar di benua Afrika serta menjadi pengembangan sektor industri penting untuk Madagaskar, dengan perkiraan masa hidup operasi yang bertahan lama sampai separuh dari abad ini.
Proyek ini menerapkan teknologi HPAL guna mengolah bijih laterit berisi konsentrasi ratarata sebesar 0,8% nikel, membuktikan bahwa terobosan dalam bidang teknologi bisa menjadikan deposito dengan tingkat kemurnian lebih rendah menjadi hemat biaya dari sudut pandang ekonomi.
Proyek bernilai $8 miliar ini termasuk ke dalam salah satu investasi industri paling besar dalam catatan sejarah Madagaskar.
Saluran pipa berukuran 185 kilometer dimiliki oleh Ambatovy dan digunakan untuk mentransportkan bahan galian menuju pabrik pengolahan di dekat dermaga Toamasina. Ini adalah jawaban kreatif terhadap tantangan infrastruktur transportasi di Madagaskar.
Proyek ini memproduksi briket nikel setengah jadi dengan tingkat kebersihan mencapai 99,9%, memberikan nilai lebih daripada pertambangan yang hanya menjual biji mineral tanpa proses pengolahan.
Operasi tersebut mendapat kritikan berdasarkan masalah lingkungannya, walaupun ada perencanaan manajemen biodiversitas yang ekstensif termasuk pelindungan 4.900 hektar area konservasi serta penetapan tempat pelestarian lainnya untuk menjaga sejumlah spesies yang terancam punah.
7. Penambangan Cerro Matoso (Kolombia)
Produksi tahunan: 40.800 ton nikel (2023)
Pemilik: South32
Jenis tambang: Permukaan
Lokasi: Cordoba, Kolombia
Perkiraan penutupan: 2036
Sebagai penambangan nikel terbesar di Amerika Selatan, Cerro Matoso menjadi representasi penting dari keragaman pasokan nikel global yang melampaui wilayah Asia-Pasifik, memiliki masa hidup operasional yang cukup panjang.
Proses ini mencakup pengolahan nikel-ferr menjadi produk dengan nilai tambah lebih besar dari bahan baku awalnya, menjadikannya unggul dalam persaingan dibandingkan instalasi lain yang perlu mengekspor materinya ke negara lain untuk mendapatkan pemrosesan lanjutan.
Integrasi vertikal ini sudah mendukung South32 dalam menjaga tingkat keuntungan walaupun pertambangan tersebut telah aktif secara kontinu selama lebih dari 35 tahun.
Cerro Matoso memiliki deposito geologis unik dengan sumber daya kira-kira 40 juta ton senilai 1,2% nikel, jumlah tersebut mencukupi untuk menjaga laju produksi saat ini sampai tahun 2036.
Operasi ini sudah berperan sebagai pendorong utama ekonomi untuk daerah Cordoba di Kolombia, memberikan kontribusi sebesar kira-kira $150 juta per tahun terhadap ekonomi setempat.
8. Lokasi Penambangan Rio Tuba ( Filipina )
Produksi tahunan: 39.200 ton nikel (2023)
Pemilik: Nickel Asia
Jenis tambang: Permukaan (greenfield)
Lokasi: Palawan, Filipina
Perkiraan penutupan: 2028
Operasi Tambang Rio Tuba adalah salah satu dari beberapa proyek pengolahan nikel terkemuka di Filipina. Meski demikian, dengan masa hidup operasinya yang singkat mengindikasikan bahwa diperlukan ekspansi pada cadangan sumberdayanya atau persiapan untuk penutupannya mendatangi.
Operasi ini mempekerjakan sekitar 1.800 pekerja, dengan penekanan kuat pada perekrutan lokal dari masyarakat sekitar Palawan.
Tempatnya berada di sebuah pulau dengan ekosistem yang peka dan membutuhkan manajemen lingkungan yang teliti, meliputi pedoman pemulihan menyeluruh bagi wilayah yang sudah dilakukan penambangan.
Rio Tuba secara khusus mengirim ekspor biji nikel bermutu sedang (1,5-1,8 persen Ni) ke arah Tiongkok, tempat bahan mentah itu menerima pengolahan tambahan.
Sisa waktu operasional selama lima tahun menggarisbawahi berbagai kesulitan yang dijumpai sektor pertambangan nikel di Filipina, lantaran cadangan yang masih bisa ditembus mulai menyusut sementara aturan pengelolaannya mencegah ekspansi penyelidikan tambahan.
9. Tambang Oktyabrsky (Rusia)
Produksi tahunan mencapai 36.180 ton nikel pada tahun 2023.
Pemilik: MMC Norilsk Nickel
Tipe tambang: Bawah tanah (brownfield)
Lokasi: Krasnoyarsk Krai, Rusia
Perkiraan penutupan: 2052
Ketinggian: 1.200 meter di bawah tanah, ini adalah tambang nikel yang menempati peringkat ke-4 sebagai yang paling dalam di seluruh dunia.
Logistik di Kutub Utara: Biaya Transportasi $220/Ton (Bandingkan dengan Rata-rata Global yang Hanya $80/Ton)
Sebagai penghasil nikel utama di Rusia, Tambang Oktyabrsky memiliki operasi penambangan bawah tanah besar dan mempunyai cadangan yang masih banyak. Ini ditunjukkan oleh estimasi bahwa tambang tersebut dapat beroperasi lebih dari 30 tahun ke depan.
Sulfide deposits pada tambang itu memproduksi nikel dengan tingkat kemurnian yang jauh lebih tinggi (sekitar 12-15%) dibandingkan deposit laterite (kira-kira 1,5%), yang biasanya ditemukan di wilayah Asia Tenggara.
Mengacu pada pendapat para insinyur Norilsk, “Sulfide deposit menyediakan materi dengan konsentrasi yang signifikan lebih tinggi; namun, hal ini memerlukan investasi modal yang lebih besar dalam operasi di bawah permukaan.”
Oktyabrsky sudah menerapkan otonomi untuk menangani kesulitan pertambangan di lingkungan Arktik, dimana hampir 70% dari proses pengeboran saat ini dilakukan secara otomatis setelah melalui serangkaian perbaikan besar pada tahun 2022.
Perkembangan teknologi ini sudah memperbaiki indikator keamanan dan kinerja operasional.
Proyek tersebut sudah menyelesaikan permasalahan pencemaran lingkungan dengan “Program Sulfur” berbiaya $3,6 miliar, di mana salah satunya adalah instalasi sistem penyikat modern sehingga memperkecil emisi SO₂ sebesar 45% mulai tahun 2021.
Walau telah terjadi peningkatan ini, tambang itu tetap mendapat pantauan lingkungan dari pihak berwenang setempat.
10. Pertambangan di Pulau Pakal (Indonesia)
Produksi tahunan: 35.970 ton nikel (2023)
Pemilik: Industri Pertambangan Indonesia
Jenis tambang: Permukaan (brownfield)
Lokasi: Maluku Utara, Indonesia
Tenaga Kerja: 2.100 karyawan, 85% di antaranya adalah tenaga kerja lokal.
Nilai ekspor: $720 juta per tahun
Tambang Pulau Pakal merupakan gambaran semakin pentingnya posisi Indonesia di pasar nikel dunia, beroperasi sebagai operasi penambangan permukaan yang memberikan kontribusi signifikan terhadap hasil nikel negara ini.
Proses ini menunjukkan rasio tailing ke biji mineral yang mencolok, yakni 1,5:1, di bawah purata sektor industri, sehingga memperbaiki produktivitas kerjanya.
Rencana pengembangan area yang tidak terpakai sudah mengurangi dampak lingkungan sambil meningkatkan produktivitas, sesuai dengan laporan tentang keberlanjutan industri pertambangan di Indonesia.
Pulau Pakal mencolok di antara proyek-proyek yang ada di Indonesia dikarenakan penggunaan sumber daya energi baru dan terbarukan, dimana lebih dari separuh kegiatannya didukung oleh pembangkit listrik tenaga surya dengan kapasitas 15 MW.
Inovasi ini memperkecil jejak karbon serta menekan biaya operasional di daerah yang memiliki jaringan listrik kurang stabil.
Perusahaan pertambangan itu baru saja mengadakan kerja sama dengan Siemens guna mewujudkan teknologi twin digital yang akan memperbaiki efisiensi proses operasionalnya. Kerjasama ini ditargetkan bisa menambah tingkat peningkatan recovery sebesar 8-12% lebih banyak saat mencapai kapasitas produksi maksimal di akhir tahun 2024 nanti.
(Tribunnews.com/Nuryanti)