- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
controversies, politics, politics and government, politics and law, societycontroversies, politics, politics and government, politics and law, society - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
6
Pada Senin, 26 Maret kemarin, saya hadir dalam acara doa bersama bagi Argo di Taman Keadilan Fakultan Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya hanya membawa kesedihan mendalam atas hilangnya Argo. Hal tak terduga saat tiba adalah pemandangan lautan manusia yang padat merapat di tempat tersebut. Saat itu baru kurasakan betapa kesedihan bersama bisa menarik begitu banyak orang untuk berkumpul di lokasi itu.
Namun, hanya dorongan dari emosi saja ternyata belum mencukupi. Diperlukan suatu bentuk emosi tambahan untuk menyatukan perasaan kesedihan dalam wujud kolaborasi atau kelompok. Refleksi membimbingku kepada solusi, yaitu rasa kangen kita semua terhadap keadilan di tanah air ini.
Argo Ericko Achfandi, siswa baru Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), meninggal dunia ketika membonceng sepeda motor dari selatan ke utara karena bertabrakan dengan mobil cepat milik Christiano Tarigan. Kejadian tabrak lari itu berlangsung pada Sabtu, 24 Mei dini hari, di jalanan Palagan, Yogyakarta.
Insiden itu menimbulkan amarah hebat. Berbagai kalangan pengguna media sosial mengarahkan kemarahan mereka kepada keluarga si pelaku, yang diyakini sebagai figur senior dalam sebuah perusahaan terkemuka. Aksi protes ini juga dialihkan ke Hipmi cabang PT UGM serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan tuduhan bahwa organisasi-organisasi tersebut “menyokong pelaku,” “berlaku tidak jelas,” atau “mengabaikan penderitaan korban.”
Tak hanya itu saja, protes terhadap FH UGM pun bermunculan karena dinilai tidak berhasil secara lembaga dalam “menyediakan dukungan bagi keluarga para korban” atau “memfasilitasi jalannya proses hukum.”
Terbaru, tersangka telah secara resmi menjadi tahanan. Dia menghadapi pasal 310 ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 karena dianggap kelalaian dalam berkendara.
Dari sana, timbul pertanyaan klasik: Mengapa sebuah kejadian lalu lintas di jalanan sempit Yogyakarta bisa melahirkan kampanye besar bernama #JusticeForArgo dan menimbulkan amarah yang setara kuatnya dengan pergerakan tersebut?
Tidak Percaya yang Rasional
Hasilnya memang sangat simpel dan gampang diduga untuk menyingkirkan keraguan itu. Masyarakat pun mulai merasa cemas ketika hal tersebut terjadi.
due process of law
Kasus itu tidak akan menghasilkan keadilan substansial bagi para korban di bawah hukum. Beberapa argumen umum dan utama meliputi fakta bahwa pelaku merupakan anak dari seseorang dengan pengaruh besar; oleh karena itu, terdapat persepsi “bahwa hukum bisa dibeli.”
Namun, kenapa kejadian menyedihkan itu bisa membesar hingga berskala nasional? Berikut adalah beberapa alasannya.
Pertama
, adanya kenangan pribadi mengenai sistem perundang-undangan yang keras dan akhirnya menjadi bagian dari kesengsaraan batin seseorang. Misalnya saja bertarung melawan birokrasi panjang dalam penyelesaian masalah hukum atau diharuskan merogoh kocek untuk melenyapan rintangan dalam jalannya persidangan, hal ini menciptakan persepsi tentang ketidakadilan terhadap hukum.
Kedua
, persepsi masyarakat tentang keyakinan dalam penegakkan hukum serta negara hukum setelah Reformasi dinilai tidak baik. Hal ini ditunjukkan melalui Survei Indikator Politik Indonesia yang menyatakan bahwa 33,8% peserta survei merasa penegakan hukum di Indonesia kurang memuaskan dan bahkan sangat buruk.
Selain itu, terdapat aspek penting lainnya: tagar #JusticeForArgo muncul akibat ketidakmampuan negara dalam melaksanakan reformasi hukum secara efektif. Tidak bisa dipungkiri memang, di era Reformasi awal ini, reformasi hukum mendapatkan fokus besar seperti ditunjukkan oleh berbagai upaya yang dilakukan.
letter of intents
dari Dana Moneter Internasional beserta perubahannya dalam struktur institusi (Linnan, 1999).
Akan tetapi, jika reformasi hukum yang kita miliki berlangsung, maka gerakan #JusticeForArgo—which was followed up in cases of injustice like the deaths of Akseyna and Hasya Atallah—tidak akan muncul dan dapat diselesaikan dengan cepat melalui penegakan keadilan substansial. Faktanya, reformasi hukum belum pernah benar-benar diprioritaskan oleh negara karena dilakukan dalam situasi ketidaksetARAan struktURAL dalam bidang ekonomi-politis.
Dari teori singkat tentang hubungan antara hukum dan ekonomi-politik (
law and political economy
Pembajakan mengenai reformasi hukum telah dimulai dari awal masa Reformasi akibat perselisihan antara elit penguasa dan kelompok otoriter. Proses demokratisasi di Indonesia pada dasarnya membuka jalan untuk oligarki yang selama ini tumbuh dalam sistem klienelisme pusat tanpa benar-benar “merekam” perubahan signifikan pada struktur ekonomi sosial-politik tersebut (Hadiz dan Robison, 2013). Oleh karena itu, undang-undang malah digunakan untuk memperteguh atau merombak ulang situasi yang bersifat pemangsa tersebut menjadi lebih kuat lagi.
Misalnya saja tentang program perbaikan institusi kepolisan. Undang-Undang No. 2 tahun 2002 menetapkan dasar hukum atas pemberian 36 wewenang signifikan kepada polisi, hal ini membuka peluang potensial untuk penyelewengan kuasa. Pertanyaannya adalah mengapa begitu banyak otoritas diturunkan? Seperti yang dicatat oleh Althusser (1970), demokrasi Indonesia pun telah diserap, dan lembaga kepolisian termasuk dalam kelompok alat pemaksa negara; mereka menjadi bagian dari struktur kontrol negara tersebut.
mempertahankan kontrol otoriter
Selain itu, jaringan birokrasi berkekuatan predatorial dalam tubuh kepolisian memperkuat dominasi praktik suap dari pihak berpengaruh serta meredupkannya tingkat keterbukaan terhadap kasus-kasus yang sedang mereka tangani.
Akhirnya menjadi mudah bagi orang untuk enggan mempercayai secara logis semua lembaga hukum yang sedang dipercaya mengalami perubahan tersebut. Sistem hukum kita sudah sangat lama dikendalikan oleh konsep keadilan substansial. Oleh karena itu, dalam kasus #JusticeForArgo, marah publik wajar dan sah terarah kepada instansi hukum yang cenderung melindungi penjahat daripada pihak yang dirugikan. Sebaliknya, gambaran dari #JusticeForArgo tak bisa hanya diartikan sebagai sebuah insiden mikro tunggal. Ini seharusnya dilihat sebagai bagian integral dari skenario lebih luas: upaya reformasi sistem hokum nasional kita benar-benar mandek saat menciptakan keadilan.
Memelihara Mobilisasi Masyarakat Sipil
Jika tidak memiliki keyakinan rasional terhadap lembaga hukum, maka kepada siapa kita bisa mempercayai? Gerakan masyarakat sipil menjadi jawabannya. Kebencian publik atas ketidakefektifan penegakan hukum dalam kasus #JusticeForArgo serta sejumlah kasus lainnya mestinya diarahkan sebagai dorongan bagi upaya pengawasan oleh masyarakat sipil. Ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi dalam lingkungan sosial harus siap mendengarkan dan menyikapi keprihatinan warga tentang ketidakadilan substansial yang ada dalam sistem, bukan sekadar ketidakadilan formal maupun procedur (Gellert, 2025).
Mobilisasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil bisa terwujud melalui gerakan bersama untuk senantiasa memantaunya pelaksanaan hukum di tanah air ini. Menurut Gilbert (2024), mobilisasi yang kuat serta kolaboratif dari masyarakat sipil di daerah Casiavera, Sumatera Barat, membuktikan bahwa implementasi hukum memiliki dampak apabila diselaraskan dan dipraktekkan sesuai urutan usai pembentukan energi kolektif.
Melalui pengembangan partisipasi masyarakat umum, penegakan hukum memperoleh tenaga agar dapat menciptakan keadilan yang substantif.