- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
government, news, politics, politics and government, politics and lawgovernment, news, politics, politics and government, politics and law - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
7
, JAKARTA – Professor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Heru Susetyo, tampil sebagai pakar saksi dalam persidangan kasus yang diajukan oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (
KTKI
Terkait dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 69/M tahun 2024.
Sidang dilaksanakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada hari Kamis, tanggal 30 Mei, dan tercatat sebagai kasus bernomor 7/G/2025/PTUN-JKT.
Menurut pernyataan dari Prof. Heru, penghentian anggota KTKI sebelum berakhirnya periode jabatannya tanpa adanya fase transisi merupakan suatu tindakan yang tidak adil.
Menurutnya, terbitnya Peraturan Presiden itu bertentangan dengan prinsip keadilan substantiel serta hak-hak dasar manusia.
“Hukuman dirancang bukan semata-mata bagi segelintir orang, melainkan sebanyak mungkin individu. Jangan sampai merugikan mereka yang telah dengan tulus menyembah negara,” katanya.
Keputusan Presiden Nomor 69/M/2024 yang dirilis tanggal 11 Oktober 2024 telah menunjuk kembali anggota Komisi Tk TKI dalam rangka penerapan UU Kesehatan terbaru.
Namun, sesuai dengan argumen pemohon, Keputusan Presiden tersebut diimplementasikan sebelum ada ketentuan transisi untuk menghapuskan keputusan presiden sebelumnya yaitu 31/M/2022.
Mereka menganggap keputusan tersebut tidak sah secara hukum sebab bertentangan dengan Pasal 450 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 yang membahas periode transisi.
Rachma Fitriati, salah satu komisaris KTKI, menggarisbawahi bahwa kementerian tersebut telah mencabut wewenang anggotanya dengan cara yang tidak adil dan tanpa menyediakan periode adaptasi.
“Ini merupakan pengambilan kembali hak fundamental kita. Pasal 50 dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 12 Tahun 2024 yang digunakan sebagai alasan untuk mencopot posisi kami melebihi batas Undang-Undang,” terangkan dia.
Prof. Heru menyebutkan pula bahwa kebijakan publik idealnya harus memprioritaskan penghargaan atas martabat serta hak-hak warga negara, daripada hanya ditentukan oleh aspek-aspek teknis legal saja.
Menurutnya, di luar kelalaian dalam hal prosedur, keputusan itu juga tidak memperhatikan aspek pemberdayaan bagi dedikasi para anggota KTKI yang sudah berjuang.
Selain Prof. Heru, persidangan ini turut mendatangkan saksi ahli Dr. Khairul Fahmi, seorang spesialis dalam ilmu hukum pemerintahan dari Universitas Andalas.
Kedua pihak menggarisbawahi bahwa tuntutan yang disampaikan oleh KTKI merupakan jalur hukum yang valid dan perlu diperhitungkan oleh PTUN untuk melindungi asas keadilan serta konstitusi dalam urusan kebijakan masyarakat.
(jo/jpnn)