- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
business, indonesia, local news, news, politicsbusiness, indonesia, local news, news, politics - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
7
, AIMAS –
Wirausaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Papua menyuarakan keluhan mereka terkait dengan peningkatan kegiatan pembersihan hutan untuk membuka lahan serta perluasan izin usaha perkebunan sawit yang semakin marak di wilayah Papua Barat Daya.
Jhony Weinand Dawan (51), yang merupakan Ketua Asosiasi Nusantara UMK-UMKM Papua Barat Daya, mengungkapkan keprihatinannya tentang pengaruh perluasan tanaman kelapa sawit terhadap perkembangan bisnis lokal di daerah tersebut.
“Kemajuan cepat dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat Daya membuat kami cemas, sebab hal ini dapat secara langsung mempengaruhi operasional Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) milik kami,” ungkap Jhony kepada
di Aimas, Sorong, pada Jumat (30/5/2025).
Dia menyebutkan bahwa kurang lebih 100 produksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang dihasilkan oleh anggota asosiasinya mengandung bahan utama sagu alami Sorong Selatan sebesar kira-kira 30%.
Akan tetapi, habitat sagu di wilayah itu semakin tersingkir akibat perluasan perkebunan kelapa sawit.
“Kami yang merupakan bagian dari asosiasi anak-anak Papua merasa sangat kecewa melihat kondisi hutan sagu di wilayah Sorong Selatan saat ini yang semakin terjepit dan berisiko musnah,” katanya.
Jhony menggarisbawahi, bahwa komunitas setempat tak pernah membudidayakan sagu sebab tumbuhan tersebut merupakan karunia Tuhan yang patut dilindungi.
Dia menentang perubahan hutan sagu menjadi area kelapa sawit.
“Bila sagu digantikan oleh kelapa sawit, secara tidak langsung bisnis-bisnis seperti papeda, mi sagu, dodol sagu, serta produk-produk lainnya akan hilang dari Papua,” ujarnya.
Selain itu, Jhony juga mengekspresikan keprihatinannya bahwa pengaruh kelapa sawit dapat merubah ciri khas budaya masyarakat Papua, bahkan kebiasaan memakan papeda berpotensi hanya tinggal sebagai masa lalu.
“Sering kali kita sebagai penduduk asli Papua tidak cukup mensyukuri apa yang telah disediakan oleh Tuhan berupa sumber daya alam yang melimpah. Padahal, seharusnya kami mengelolanya dengan baik namun justru hak tersebut diberikan kepada perusahaan-perusahaan penghasil kelapa sawit.” katanya.
Dia berharap situasi saat ini dapat membangunkan kesadaran masyarakat Papua secara menyeluruh untuk tidak dengan mudah memberi tempat kepada kelapa sawit yang bisa jadi ancaman terhadap keberadaan tanaman sagu.
Dusun Sagu Terancam
Terpisah, Adrianus Kemeray (52), kepala kampung Bariat, mengemukakan protesnya tentangrencana pembuatan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kampung Bariat, yang berada di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan.
“Konda merupakan habitat bagi berbagai macam spesies unik yang hanya ditemukan di daerah tersebut serta menjadi tempat terakhir untuk hutan sagu dengan luas sekitar 2.500 hektar,” demikian disampaikan oleh Adrianus.
Sejak 2013, dua badan usaha yaitu PT Persada Utama Agro Mulyo serta PT Anugrah Sakti Internusa sudah mencoba untuk mengembangkan konsesi kelapa sawit dalam area itu.
“Telah terjadi dua percobaan pada tahun 2013 dan 2020 ketika mereka berupaya memasuki wilayah tersebut. Mereka bahkan telah mengambil ukurannya dengan tujuan merubah tanah adat Apsya menjadi perkebunan kelapa sawit,” paparnya.
Akan tetapi, masyarakat dengan tegas menentang dan berupaya keras untuk mempertahankan area itu agar tetap hijau sebagai kawasan dusun sagu.
Menurut penelitian oleh Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. MH Bintoro, dari seluruh luasan 5,5 juta hektare lahan sagu yang ada di Indonesia, kira-kira 5,2 juta hektarnya terletak di wilayah Papua, mencakup juga Papua Barat Daya.
Berdasarkan ukuran itu, kemungkinan produksi tepung sagu dapat mencapai sekitar 15,6 juta ton setiap tahunnya.
(/safwan ashari)