- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
electric power, government, news, politics, politics and governmentelectric power, government, news, politics, politics and government - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
10
lowongankerja.asia
,
Jakarta
–
Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi (Sulosi), Muhammad Al Amin, mengajak supaya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang berjudul Peningkatan Pembangunan Energi Terbaharui untuk Ketersediaan Daya Listrik seharusnya diubah kembali. Sebab, aturan tersebut masih membebaskan pembangkit listrik dengan energi uap dari regulasi terkait.
PLTU
) penangkapan dari tipe PLTU yang tidak boleh diproduksi di Indonesia.
“Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan cepat hanya dengan mencabut pasal yang memberikan dispensasi untuk membangun PLTU industri di Indonesia,” kata Amin saat menyampaikan keterangan pada konferensi pers di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Walhi
), Jakarta, Kamis, 22 Mei 2025. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive atau PLTU industri adalah sumber energi yang dirancang khusus untuk mendukung proses produksi dalam suatu perusahaan dan tidak ditujukan bagi masyarakat umum.
Yang dimaksud oleh Amin adalah Pasal 3 Angka (4). Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dilarang kecuali bagi PLTU yang sudah dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik serta PLTU yang mematuhi sejumlah syarat. Syarat-syarat ini meliputi integrasi dengan industri yang dikembangkan guna meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam lokal atau masuk kategori sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Bahkan demikian, Amin menjelaskan bahwa Koalisi sedang mempertimbangkan untuk melakukan judicial review terhadap Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tersebut. Menurutnya, peraturan ini menjadi sumber utama dari berbagai kebijakan pengembangan PLTU captive di Indonesia.
Amin menyatakan bahwa operasi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive tidak dicatat oleh PT PLN. Akibatnya, informasi mengenai daya mampu, satuan, serta total jumlah PLTU captive itu sendiri tidak terpantau oleh pemerintah. Begitu juga dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Menurut Amin, semua kementerian tersebut serupa dalam hal penolakan untuk bertanggung jawab atas pemantauan emisi karbon dari PLTU captive. Dia pun bertanya, “Lalu, siapa sebenarnya yang melakukan monitoring pada PLTU di perusahaan-industri ini?”
Menurut Amin, Kementerian Lingkungan Hidup lah yang harusnya memiliki wewenang untuk mengumpulkan dan mencatat emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU captive.