- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
government, laws and regulations, news, politics, politics and governmentgovernment, laws and regulations, news, politics, politics and government - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
3
lowongankerja.asia
,
Jakarta
– Menteri Koordinator untuk Urusan Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
Yusril Ihza
Mahendra menyebut belum adanya dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu tentang Penyitaan Aset.
“Sampai saat ini, kita belum menemukan alasan mendesak yang mengharuskan pengambilalihan harta tersebut,” ujar Yusril usai rapat kabinet di Istana Negara, Jakarta, pada hari Senin, tanggal 5 Mei 2025.
Menurut Yusril, UU Tipikor serta kebijakan sejenis yang ada di Kejaksaan, Polri, dan KPK telah terbukti cukup berhasil dalam mengatasi penyerahan aset.
“Saya rasa belum pentingnya menerbitkan peraturan pemerintahan sebagai gantian dari undang-undang, tetapi semua itu tergantung pada keputusan Presiden,” ungkap Yusril.
Yusril pun menyebut kemajuan dalam pembahasan RUU tersebut.
RUU Perampasan Aset
Masih terhenti di DPR RI. Menurutnya, Rancangan Undang-Undang itu telah termasuk dalam Program legislasi nasional untuk periode 2024-2029. Dia mengatakan bahwa pemerintah sedang menantikan keputusan dari DPR tentang kesamaan draf yang akan dipakai dengan draf yang sebelumnya diserahkan oleh parlemen pada tahun 2023.
Maka, sebut Yusril, Pemerintah hanya perlu menantikan waktu yang tepat ketika DPR berencana untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penyitaan Aset atau mungkin melakukan revisi terhadap rancangan tersebut dan menyempurnakan teks akrualnya. “Oleh karena itu pemerintah cukup menunggu saja karena ide ini berasal dari DPR, tidak dari pihak pemerintahan,” jelas Yusril.
Aturan Penerbitan Perppu
Dilansir dari laman
Mkri.id
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau
Perppu
Atau Perpu adalah aturan yang dikeluarkan oleh Presiden terkait situasi darurat. Jenis regulasi ini termasuk dalam sistem hukum Indonesia dan dipaparkan dalam Pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Persyaratan untuk mengeluarkan Perpu ditetapkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 138/PUU-VII/2009. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) dari keputusan itu, wewenang merilis perpu adalah milik Presiden secara subjektif; namun, ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk membuatnya termasuk dalam wilayah publik.
Karena itu, ketika presiden meresmikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), hal tersebut secara otomatis menjadi kewajiban yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat dan berakibat pada mereka. Adapun ada tiga persyaratan penting untuk mengeluarkan Perpu ini dalam situasi darurat.
Pertama, kondisi ini melibatkan keharusan mendesak dalam mengatasi permasalahan hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang. Kedua, undang-undang yang diperlukan masih belum tersedia, menyebabkan celah hukum, atau mungkin sudah ada namun kurang lengkap. Ketiga, situasi kesenjangan hukum itu tak bisa diselesaikan lewat pembuatan undang-undang seperti prosedur standar dikarenakan hal tersebut membutuhkan masa yang cukup panjang.
Meskipun begitu, dalam pelaksanaan nyatanya, dikeluarkannya sebuah Peraturan Presiden Pengganti (Perpres) tak selamanya berarti situasi sedang genting. Seperti dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat menjadi pembicara dalam diskusi di Universitas Kristen Maranatha Bandung tahun 2023, umumnya agar suatu Undang-Undang dapat diloloskan, DPR juga memiliki peranan penting dengan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap penyusunan undang tersebut.
Pada saat yang sama, di bawah kondisi darurat, Pasal 12 UUD 1945 menggabungkan situasi “kepontaran” dan Pasal 22 UUD 1945 merujuk kepada “dalam hal kecemasan paksa” untuk menjelaskan munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dikeluarkan oleh presiden.
Bila ditinjau dari aspek undang-undang administrasi negara dalam situasi darurat, maka rancangan peraturan pemerintah bisa dibuat jika memenuhi beberapa kriteria termasuk adanya kebutuhan utama bagi negara. Keperluan-keperluan ini meliputi pemeliharan eksistensi negara, ketentuan tersebut mesti menjadi prioritas absolut atau amat penting, bersifat sementara hanya saat kondisi sedang mengalami masalah besar, kemudian setelahnya akan digantikan oleh regulasi reguler dan bukan lagi aturan darurat.
Saat aturan darurat itu ditetapkan, DPR tak bisa melangsungkan sidang atau pertemuan fisik yang disebut juga sebagai reses.
Eka Yudha Saputra
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini