- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
culture, ecology, geology, politics, urban and regional planningculture, ecology, geology, politics, urban and regional planning - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
12
Oleh: Agus Santoso Budiharso*
Dalam kesibukan pembangunan perkotaan yang sedang berlangsung di Indonesia, suatu elemen penting acapkali dilupakan: ilmu geologi. Bidang studi yang mengupas tentang struktur serta dinamika bumi ini cenderung disederhanakan hanya sebagai basa-basi Administratif pada Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sebenarnya, ilmu geologi haruslah menjadi dasar utama dalam merancang tatanan wilayah dan menyusun keputusan pembangunan. Ini merupakan pemelihara akal sehat serta panduan etis—pengingat bahwa Bumi memiliki aturan alaminya sendiri, yang tidak dapat dikuasai oleh pertimbangan politik saja atau logistik bisnis belaka.
Kota merupakan bentuk nyata dari peradaban. Mereka mencerminkan cara manusia mengartikan masa depan serta merawat lingkungan tempat tinggal mereka. Akan tetapi, bila tidak memiliki pengetahuan tentang sejarah geologi, kapasitas lahan, dan sistem ekosistem, kota dapat berubah menjadi simbol kebanggaan diri yang kosong.
Perhatikan Jakarta yang setiap tahun tergenang air banjir, Semarang dengan masalah keruntuhan tanahnya (subsiden lahan), serta Yogyakarta dengan ancaman gempa bumi yang selalu ada. Kondisi-kondisi tersebut tidak hanya disebabkan oleh fenomena alam, melainkan juga dampak dari keputusan pengembangan yang menyepelekan “pesan bumi”.
Misalnya saja, Jakarta menderita penurunan permukaan tanah sebanyak 10 sentimeter setiap tahun, khususnya di daerah Jakarta Utara. Hal ini disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan serta bobot infrastuktur besar yang menindiskan tanah alluvial lembut tersebut.
Di Palu, gempa 2018 dan likuefaksi menelan ribuan korban, sebagian besar karena permukiman dibangun di atas endapan lempung jenuh air tanpa mitigasi geoteknik memadai. Tragedi ini menunjukkan bahwa kelalaian terhadap data geologi bukan hanya kesalahan teknis, tetapi kealpaan moral dan politik.
Misalnya saja Manado, yang dari sudut pandang geoteknologi, berlokasi di wilayah dengan aktivitas seismik yang tinggi. Kota tersebut ditemukan pada titik temu antara lempengan Samudera Pasifik dan Filipina yang bergeser kearah barat daya dengan laju kira-kira 7 sampai 10 sentimeter setiap tahun, bersama-sama dengan lempengan Indo-Australia yang bergerak menuju utara dengan kelajuan sekitar 5 hingga 7 centimeter tiap tahunnya (Hamilton, 1979; van Bemmelen, 1949).
Perbedaan dalam arah dan kelajuan gerakannya menghasilkan tekanan tectonik yang signifikan di daerah Sulawesi Utara, sehingga membuat kota-kota semisal Manado amat rawan terhadap guncangan bumi dan gelombang tsunami. Akan tetapi, konstruksi di area ini kerapkali masih dilakukan tanpa memperhitungkan bahaya tersebut.
Geologi tak hanya berkutat dengan batu-batu dan plat tektonik. Ilmu ini membimbing kita memahami kepekaan serta dinamika Bumi. Menurut sudut pandang etika lingkungan, Bumi memiliki nilai tersendiri — bukan cuma sebagai aset ekonomi.
Apabila proses pembangunan tak memperhatikan nilai-nilai tersebut, maka hasilnya akan menjadi eksploitasi serta kerusakan secara bertahap. Oleh karena itu, etika dalam bidang geologi menentang jenis konstruksi tanpa pertimbangan dan mendukung metode yang didasarkan pada ketahanan dan ketersediaan jangka panjang.
Paradigma pengembangan yang peka terhadap risiko saat ini menjadi semakin penting untuk diimplementasikan, mengikuti peningkatan kompleksitas dari berbagai jenis bahaya geologi dan hidrometeorologi.
Menurut hasil dari Penilaian Dasar Nasional tentang Kesiapsiagaan Bencana (National Disaster Preparedness Baseline Assessment/NDPBA), Indonesia berlokasi di zona seisme yang sangat aktif secara global, mengalami risiko tinggi terkait guncangan tanah, tsunami, serta kegiatan gunung api.
Ancaman tersebut diperburuk oleh efek perubahan iklim yang mengarah pada terjadinya bencana alam seperti banjir, kemarau berkepanjangan, serta longsoran tanah. Melalui perspektif penilaian Risiko dan Kerentanan (Risk and Vulnerability Assessment / RVA), wilayah perkotaan semacam Jakarta, Manado, ataupun Padang tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik geologi mereka, namun juga disebabkan oleh kurangnya ketahanan infrastruktur dan adanya tingkat vulnerabilitas sosio-ekonomi yang cukup tinggi di kalangan penduduk setempat.
Selain itu, NDPBA menggarisbawahi kepentingan menciptakan kota yang tahan bantuan melalui metode data terbuka serta berbasis bukti. Menurut analisis Manajemen Resiko Bencana (DMR) pada dokumen tersebut, langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan dan koordinasi antar departemen—including pengintegrasian data spasial, partisipasi masyarakat setempat, serta pembenahan sistem alarm dini—sudah membuktikan efektivitasnya dalam memperkokoh respons siaga bencana.
Ini menunjukkan bahwa teknologi partisipatif seperti Geographic Information System (GIS) berbasis masyarakat, yang telah dibahas di artikel sebelumnya, tidak hanya merupakan pilihan tambahan, tetapi menjadi suatu keharusan dalam mengembangkan sistem perencanaan ruang yang adil serta tangguh terhadap bencana.
Akan tetapi, tantangan signifikan masih mendominasi. Mengingat Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, standarisasi kurikulum pendidikan tentang penanggulangan bencana serta pembentukan lembaga menjadi hal krusial. Menurut laporan NDPBA, ketahanan menghadapi bencana dipengaruhi bukan saja oleh ancaman alamiah, melainkan juga oleh kesenjangan dalam pengelolaan dan kemampuan instansi pemerintah setempat.
Maka dibutuhkannya pembuatan kota yang mengerti tentang bumi ini tidak sekadar menjadi tanggung jawab engineer dan pakar geologi saja, tetapi merupakan upaya bersama semua pihak terkait — mulai dari pemerintahan nasional, otoritas lokal, kalangan pendidikan, sampai masyarakat perkotaan.
Ketidakseimbangan sosial merupakan aspek utama lainnya yang harus ditekankan dalam dialog mengenai pengembangan perkotaan. Di berbagai kesempatan, kelompok kurang mampu sering dipaksa menempati wilayah dengan resiko geografis besar seperti tepi sungai, tebing bukit rentan longsor, atau daerah bekas lahar dingin.
Ini tidak hanya disebabkan oleh pilihan mereka, tetapi juga dikarenakan keharusan akibat biaya lahan yang rendah dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik. Sebaliknya, proyek-proyek bertaraf internasional seperti reklamasi pantai ataupun pengembangan pemukiman mewah malah meniadakan area terbuka hijau serta merusak zona perlindungan yang berperan penting dalam menjaga ekosistem perkotaan.
Pada situasi ini, konsep keadilan spasial (spatial justice), seperti yang dirumuskan oleh Edward Soja, menjadi amat penting. Konsep tersebut menggarisbawahi bahwa penyebaran ruang selalu memiliki aspek politik dan tak mungkin bersifat netral. Kemampuan setiap individu untuk mencapai area yang aman serta kondusif merupakan salah satu elemen esensial dalam hak-hak fundamental warganya.
Saat desain atau pengelolaan ruang perkotaan didasari oleh prinsip-prinsip finansial dan pengecualian sosial saja, hal ini dapat memperkuat kesenjangan dalam arsitektur fisik kota tersebut. Akibatnya, kelompok masyarakat yang rawan cenderung menempati area dengan kondisi geologi dan ekologi yang tidak stabil pula, sehingga terjadi persimpangan antara disparitas sosial dan ancaman bencana alam.
David Harvey menguatkan pendapat tersebut dengan menekankan bahwa kota menjadi medan pertarungan di antara minat modal dan kebutuhan masyarakat. Menurut pandangan ini, perencanaan wilayah tidak hanya bersifat teknis melainkan juga memiliki aspek politik.
Maka dari itu, untuk menciptakan pengembangan perkotaan yang adil perlu dilakukan integrasi antara pengetahuan geologi dengan analisis aspek sosio-politis. Pengetahuan geologi sangat berguna dalam menunjukkan daerah-daerah rawan secara fisik, sedangkan studi sosial dapat mengidentifikasi pola ketidakseimbangan. Kerjasama kedua disiplin ini mutlak diperlukan supaya keputusan pembangunan bukan saja didasarkan pada pertimbangan teknis namun juga fokus pada prinsip-prinsip keadilan lingkungan serta masyarakat.
Sekitar ini, sejumlah besar regulasi pengaturan wilayah di Indonesia belum benar-benar memadukan informasi tentang geologi serta bencana alam saat merumuskan strategi. Gambar zona mikroseismik, catatan masa lalu terkait dengan banjir, juga peta potensi ancaman longsoran tanah umumnya cuma berfungsi sebagai tambahan pada dokumen-dokumen teknikal, tidak menjadi rujukan pokok untuk menetapkan batasan fungsi area.
Sehingga, upaya pembangunan malah meningkatkan risiko kerugian ketika suatu bencana terjadi. Misalnya saja Kota Bandung, yang terus menerus mengalami perubahan fungsi lahan di wilayah Cekungan Bandung – daerah dengan karakteristik geologis rawan gempa karena adanya Sesar Lembang. Meskipun demikian, pemerintah masih memberikan izin untuk pengembangan permukiman serta proyek-proyek infrastruktur skala besar di area tersebut.
Di Padang, tempat yang sudah merasakan guncangan gempa hebat pada tahun 2009, pihak pemerintahan setempat mencoba membuat rancangan peta zona-getaran detil. Akan tetapi, pelaksanaannya belum sepenuhnya seragam, seperti ditunjukkan oleh masih banyak dibangunannya gedung-gedung baru di wilayah pantai yang sejarahnya menandaskan kerapian menderita dampak tsunami.
Peristiwa mirip juga terjadi di Manado, dimana upaya membangun zona reklamasi serta permukiman baru tak selalu mengacu pada peta ancaman geologi dan pantai. Ini membuktikan bahwa bidang geologi lebih banyak berperan sebagai penambah informasi daripada menjadi fondasi utama dalam penyusunan kebijakan perencanaan wilayah.
Solusi yang dibutuhkan adalah adanya paradigma baru dalam membangun kota. Yang pertama, integrasi geologi ke dalam RTRW dan RDTR mesti dilakukan dengan mengeluarkan regulasi baik tingkat nasional maupun lokal. Selain itu, peta risiko bencana wajib dipertimbangkan sebagai salah satu persyaratan utama untuk mendapatkan izin proyek apa pun.
Kedua, sangat vital untuk mengembangkan pemahaman awal tentang ilmu bumi dan penanggulangan bencana, entah itu melalui sistem pembelajaran formal atau pun gerakan sosial. Rencana studi di tingkat sekolah dasar hingga menengah harus mencakup topik-topik seperti sifat tanah setempat, ancaman guncangan bumi, serta strategi pengurangan dampak bencana yang disesuaikan dengan lokasi spesifiknya. Langkah-langkah tersebut bakal meningkatkan kesadaran anak-anak muda soal potensi bahaya alami dan mendukung persiapan bersama dalam menghadapi situasi darurat.
Ketiga, keterlibatan publik dalam mengidentifikasi risiko serta memantau proyek pembangunan harus ditingkatkan. Penerapan teknologi yang melibatkan masyarakat seperti sistem informasi geografis (GIS) berdasarkan komunitas dapat menjembatani keahlian akademik dengan wawasan setempat.
Sejumlah organisasi non-pemerintah dan institusi pendidikan, misalnya proyek pemetaan risiko yang didasarkan pada masyarakat dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, sudah menunjukkan kemanjuran metode tersebut untuk menciptakan pengetahuan bersama serta pengambilan kebijaksanaan berdasarkan fakta.
Keempat, keadilan spasial perlu dijamin. Pemerintah harus menangani perlindungan kelompok yang rawan terhadap bahaya bencana dengan menerbitkan kebijakan relokasi yang didasari oleh evaluasi risiko, tidak hanya karena nilai lahan saja.
Kelima, badan pengawas seperti KPK dan BPK harus mengikutsertakan para ahli geologi serta perancangan kota saat melakukan_audit terhadap proyek-proyek infrastruktur. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelaksanaan pembangunan dapat secara efektif menurunkan risiko bencana alam dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kelestarian lingkungan.
Di penghujung hari, mendirikan sebuah kota tidak sekadar tentang pembangunan materinya saja, melainkan juga merumuskan kebijaksanaannya. Ilmu bumi mengajar kita untuk bersahaja — bahwa kita tinggal bersebelahan dengan tenaga semesta yang jauh melebihi kemampuan diri kita sendiri.
Sebuah kota yang ambisius adalah kota yang menyayangi bumi, menghargai lingkungan, dan menjadikan manusia serta ketelitian terhadap kesejahteraan sosial sebagai inti dari perencanaannya. Tanpa itu semua, sebuah kota hanyalah monumen sombong yang siap menuju kebinasaaanya sendiri.
Ayo kita raih visi membangun kota dengan bangunan setinggi langit namun penuh pengertian akan kebutuhan planet ini. ***
*Penulis merupakan Kepala Pusat Studi Bencana dan Pembangunan Sumber Daya Alam Universitas Prisma Manado. Ia pernah menempuh pendidikan dalam bidang Perencanaan Kota di Universitas South Australia Adelaide dari tahun 1999 hingga 2001.*