- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
children and families, education, family relationships and dynamics, parenting, teachingchildren and families, education, family relationships and dynamics, parenting, teaching - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
23
Saya tetap mengingat momen tersebut dengan jelas. Meja makan, biasanya menjadi area untuk tawa dan canda bersama keluarga, malah berubah menjadi teater bagi pertunjukan dramatis setiap hari. Anak saya duduk sambil menundukkan kepala, bukunya terbuka namun fokusnya sudah luntur. Saya pun berkata perlahan, “Mari kita cari waktu singkat untuk mempelajari ini.” Namun balasan dari dia menusuk hatiku: “Untuk apa, Ayah? Memikirkannya saja tidak akan merubah apapun dalam kehidupanku.”
Pada saat tersebut, selain menemukan penolakan terhadap pembelajaran, saya juga mendeteksi nada kecil dari seorang anak yang tengah bimbang, mungkin jenuh, atau kemungkinan besar merasa diabaikan.
ternyata, kisah semacam ini tidak hanya menimpa saya seorang. Dalam banyak keluarga, kita sering kali mendapati diri kita duduk di posisi tersebut: menghadapi anak-anak yang tampak sebagai ‘pemalas dalam belajar’ tetapi pada hakikatnya membutuhkan pendekatan segar agar dapat dipahami, didengarkan, serta diasih-asihan.
Menjelajahi Lebih Jauh: Apakah Itu Malasan atau Kehilangan Arah?
Sering kali kita terlalu cepat menandai mereka. Malas. Nakal. Kurang bertanggung jawab. Namun sebenarnya, perasaan malas pada anak mungkin bukan masalah tentang ketidaksukaannya bekerja, melainkan suara peringatan bahwa ada hal-hal yang kurang tepat dalam situasi tersebut.
Mereka mungkin mengalami kelelahan, merasa tidak terhubung dengan materi pembelajaran, atau justru membutuhkan pendekatan yang lebih humanis daripada hanya fokus pada target dan tenggat waktu.
Anak-anak bukanlah mesin. Mereka memiliki perasaan, pola perkembangan, serta keperluan yang terkadang luput dari pandangan sistem pendidikan ataupun diri kita sendiri selaku orangtua. Ketika kita cuma menekankan pencapaian akademis, kita cenderung mengabaikan pertumbuhan mereka secara menyeluruh sebagai individu penuh.
Akan tetapi, agar pemahaman kami menjadi lebih menyeluruh, kita harus berkolaborasi dengan institusi pendidikan tersebut. Berbicara dengan para pengajar akan memberi kita sudut pandang tambahan mengenai si kecil. Mungkin saja ada hambatan tertentu yang belum diketahui oleh orang tua, misalnya kesulitan bergaul dengan sesama murid atau persoalan-persoalan lain yang muncul di lingkungan belajar. Melalui pembicaraan bersama, kita bisa merumuskan strategi optimal guna mendampingi dan membimbing mereka.
Selanjutnya, apa yang harus kita lakukan? Dengar Dahulu Sebelum Meminta
Seringkali, anak-anak cuma mengharapkan untuk dipahami. Cobalah duduk bersama mereka lalu tanyakan tentang perasaaan mereka, tidak harus soal pekerjaan rumah yang tertunda saja. Hindari menawarkan solusi secara instan; cukup jadilah pendengar yang baik. Ketika anak merasa bahwa orang tua atau pengasuh memahaminya, dia akan menjadi lebih terbuka serta responsif pada masukanmu. Buat lingkungan belajar yang mendukung emosionalmente.
Lingkungan petualangan tidak selalu tentang meja rapi dan cahaya terang. Yang paling utama adalah suasana tempat itu: apakah anak merasa aman untuk melakukan kesalahan? Apakah mereka merasakan beban atau dukungan? Bantulah anak mempersiapkan area khusus yang mencerminkan kepribadian mereka sendiri. Area ini bisa digunakan untuk melukis, mendengarkan musik, atau bahkan belajar sambil aktif bergerak.
Anak-anak cenderung lebih tertarik ketika mereka menganggap pembelajaran memiliki makna dan kesenangan. Nontonlah dokumenter bersama-sama, diskusikan dengan mereka tentang minatnya, atau izinkan mereka untuk menentukan subjek apa pun yang mau dipelajari. Ketika studi tidak dirasakan seolah-olah menjadi beban, motivasi dapat tumbuh secara lebih organik. Fokuskan pada proses daripada hasil nilai.
Hentikan pertanyaan seperti “Nilainya berapa?”. Alih-alih, coba tanyakan “Pelajaran apa yang kau dapat hari ini?” atau “Mana saja bagian yang paling menyenangkan untukmu?”. Ini akan membuat anak memandang pembelajaran lebih sebagai proses perkembangan diri daripada sekadar pencarian skor. Jadilah teladan, bukan instruksi.
Anak-anak mendapatkan ilmu terutama dari apa yang mereka amati, tidak semata-mata dari apa yang didengarnya. Tunjukkan kepada mereka bahwa proses pembelajaran berlanjut seiring bertambahnya usia. Apakah dengan membaca buku-buku, mendaftar ke kursus daring, atau bahkan mempraktikkan kemampuan baru. Gairah untuk selalu belajar pada orang tua dapat merasuki anak dengan cara yang jauh lebih efektif dibanding ribuan kali bicara. Berikan pilihan, bukannya memberi paksaan.
Anak-anak perlu merasa menguasai kehidupannya, bahkan ketika belajar. Berikan opsi seperti ini: “Apakah kamu ingin belajar sekarang atau sesudah makan malam?” atau “Matematika duluan atau kita awali dengan pelajaran Bahasa?”. Ketika anak merasa mempunyai kontrol, maka dia cenderung akan lebih bertanggung jawab. Sadari juga tanda-tanda lelah yang tak terlihat pada diri mereka.
Terkadang, buah hati tampaknya tidak bersemangat namun sesungguhnya sedang menghadapi kelelahan batin atau psikis. Hal ini mungkin disebabkan oleh permasalahan persahabatan, beban dari pendidikan, atau bahkan akibat harapan kita yang terlampau besar. Berilah waktu untuk memeriksa kondisi jiwa mereka karena tidak seluruh rasa sakit dapat dilihat dengan mata kasar. Ayo jadilah teman dalam petualangan, bukannya penjaga pengawal.
Sebagai orangtua ataupun pembimbing belajar, kita kerap kali menjadi seperti penegak aturan. Namun, anak-anak tak membutuhkan polisi. Yang mereka perlukan adalah sahabat yang mendampingi dari samping, bukannya mengikuti dengan cambuk dari belakang, atau merentangi hadangan dengan ancaman dari depan. Kehidupan mereka tengah bergerak pesat. Persyaratan semakin meningkat, namun tujuan serta nilai-nilainya malah tampak kian samar.
Selain itu, menjadi tugas utama bagi para orangtua untuk mengontrol ekspektasi kita pada anak-anak. Penting untuk diingat bahwa kesuksesan sesungguhnya tidak melulu ditentukan oleh prestasi akademik ataupun peringkat tertentu, namun lebih kepada memiliki seorang anak yang selalu percaya diri, senantiasa berbahagia, serta merasa dikelilingi kasih sayang walaupun mereka belum mencapai target yang telah kita tentukan.
Ketika si kecil tampak enggan melanjutkan aktivitas, bisa jadi apa yang dibutuhkan tak selalu menjadi pekerjaan ekstra, tetapi lebih dari sekadar pelukan serta kata-kata ringkas: “Aku paham kau lelah, namun ingatlah bahwa tidak ada yang harus menghadapinya seorang diri.”
Renungan Sederhana untuk Para Orang Tua Luar Biasa
Dalam keraguan akan masa depan, kami semua berharap agar anak-anak mencapai kesuksesan. Namun, penting untuk tidak melupakan bahwa sukses sesungguhnya tak sekadar ditentukan oleh prestasi akademik ataupun peringkat tertinggi. Lebih dari itu, ini adalah tentang memiliki seorang anak yang selalu merasa yakin dengan kemampuannya sendiri, senantiasa bahagia, serta terus menerimanya meski belum dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Oleh karena itu pada hari ini, mari kita memulai kembali dari awal. Berduduklah di sebelah mereka, bukan berada di atas mereka. Dengarkan tanpa bersikap menjatuhkan kesimpulan. Yakinkan pula bahwa dalam tiap gerakan kecil yang mereka lakukan, kita senantiasa hadir tidak untuk mendorong ataupun menarik, tetapi hanya untuk mendampingi.