- Diposting oleh:
- Diposting pada:
- Kategori:
culture, family relationships and dynamics, father child relationship, parenting, relationshipsculture, family relationships and dynamics, father child relationship, parenting, relationships - Sistem:
Tidak diketahui - Harga:
USD 0 - Dilihat:
4
lowongankerja.asia
– Ikatan di antara kakek nenek dan cucunya biasanya dimeriahkan oleh cinta yang hangat dan memori indah yang abadi. Akan tetapi, kadang-kadang dapat timbul sedikit jarak walaupun tidak sengaja pada hubungan mereka sehari-hari.
Beberapa kata-kata yang tampaknya umum didengar oleh orang-orang berusia lebih tinggi mungkin menjadi hal yang menyinggung atau memusingkan untuk anak-anak cucu pada masa kini. Komentar tersebut kerapkali datang dari sudut pandang atau norma lama yang masih dipertahankan meski telah usang.
Menurut laporan dari Geediting.com pada hari Kamis (08/05), berikut ini merupakan sejumlah ungkapan yang mungkin dikatakan oleh orang tua tanpa bermaksud untuk menyakitkan perasaan para cucunya yang tersayang.
1. “Dahulu Kala Zaman Kakek nenek…”
Peribahasa ini kerap dipakai untuk menggambarkan bagaimana orang cenderung menilai bahwa zaman dahulu jauh lebih baik daripada situasi pada masa kini yang mungkin dirasakan sebagai kurang sempurna. Kepala keluarga dapat merasa seperti jika kesulitan dan tugas yang sedang dialami sekarang diabaikan atau dinilai kurang bermakna ketimbang era lampau.
2. “Mengapa Tidak Bisa Sama Sekali Seperti…?”
Pernyataan komparasi semacam itu biasa dialamatkan kepada saudara kandung, sepupu, atau bahkan teman-teman yang dianggap mempunyai kelebihan tertentu. Menerima frasa seperti ini dapat menyebabkan seorang cucu merasa terabaikan dan dirasakan sebagai pribadi yang tak cukup baik dalam kondisi apapun dibandingkan dengan orang lain.
3. “Uang Tak Bisa Datang Sendiri”
Ungkapan tradisional ini kerap dikemukakan ketika cucu memohon sesuatu yang dianggap mewah atau kurang penting dan harus segera dipenuhi. Walaupun tujuannya adalah untuk menyampaikan pengertian tentang nilai finansial, cara penyampaiannya yang keras dapat membawa dampak negatif dengan membuat anak merasa bersalah atau enggan dalam mengekspresikan keperluan mereka pada waktu berikutnya.
4. “Bolehkah Anak Laki-laki Menangis?”
Presepsi kuno tentang stereotip gender ini masih acapkali terdengar dan dapat membatasinya ketika seorang bocah tengah merasa murung atau kecewa. Ungkapan tersebut memberi pengertian bahwa ekspresi fragilitas emosional dianggap sebagai tanda kelemahan yang perlu ditutup-tutupi dari pandangan orang lain.
5. “Kamu terlalu muda untuk memahami”
Pernyataan tersebut kerap dipakai untuk menyingkirkan pertanyaan dari sang cucu mengenai subjek yang dianggap kompleks atau tak sesuai dengan umurnya. Hal itu dapat mematikan rasa ingin tahu dan kreativitas alamiah si cucu sekaligus menjadikan mereka merasa kurang diperhitungkan saat membahas hal-hal penting.
6. “Jangan Berani Menjawab”
Peribahasa otoriter semacam itu sering kali keluar saat seorang cucu berusaha mempresentasikan argumentasi atau sudut pandang lain dengan cara yang santun. Mencegah sang cucu dari ‘membalas’ dapat menahan perkembangan kecakapan mereka dalam hal pemikiran kritis, negosiasi, ataupun penyampaian opini personal yang unik.
7. “Sebab Kakek dan Nenek Mengatakan Demikian”
Salah satu contoh dari tindakan otoriter yang mengakhiri seluruh kesempatan untuk berdiskusi atau mendapatkan klarifikasi tambahan. Ungkapan ini memberi pelajaran kepada cucu agar tetap mentaati suatu keputusan tanpa bertanya tentang dasarnya, meskipun pemahaman terhadap rasionale tersebut amat krusial bagi perkembangan pembelajaran mereka.
Memahami kata-kata yang tampaknya ringan tetapi dapat menyakitkan hati dapat mendukung dialog yang lebih positif di kalangan anggota keluarga dari segala usia. Percakapan jujur serta kemauan untuk menghargai perspektif satu sama lain sangat penting agar ikatan antara kakek nenek dengan cucunya tetap harmonis.
(*)